Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Rencana dan Keputusan

Manusia dapat membuat/merancang rencana, tapi Allah yang menentukan. Allah yang berkehendak. 

Baru saja merencanakan untuk pergi berziarah, berwisata ke Banten, lalu bersilaturahmi ke rumah teman di Lampung, sekalian mampir sowan ke rumah guruku di sana, tapi ternyata belum diberi kesempatan. 

"Madin ziarah ke makam Kramat, Cigundul, dan wisata ke Taman Cibodas." begitulah keputusan ketua rihlah Madin aka Madrasah Diniyah. 

"Mba Anis, aku kayaknya gak tahu ini jadi pulang atau enggak, soalnya lautnya lagi naik airnya." chat Laila, mengabarkan berita yang bisa dibilang berita duka. 

"Yah..., serem yah?"

"Iya, cuma belum ngomong lagi sama bapak, lagi pergi, di rumah ada mbak doang,  tapi kayaknya sih, nggak boleh." serasa berat, tapi inilah kenyataan (alay mode on).

"Lagi rame juga di pengurus Madin tentang Anyer. Rencana besok, ziarah dialihkan ke Bogor," jawabku memberikan info terbaru. 

"Mbakku yang rencana kita kunjungi rumahnya di depan laut juga ngungsi. Air masuk, pintu-pintu jebol."

"Ya Allah, semoga aman ya saudara kita di sana."

"Amiiin. Rumahku juga depan laut Mba Anis." 

Sabar. Semoga kita semua senantiasa dilindungi Allah. Amin ya Allah. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Anti Tikus, Anti Banget

Well, ini bukan sekadar iseng, melainkan berbagi kesenangan belaka. 

Alkisah, hiduplah manusia-manusia yang terganggu oleh tikus yang merajalela. 

Jadi begini pemirsa, berhubung gue tinggal di asrama, dan liburan pun telah tiba, otomatis kita-kita (manusia) pada mudik ke desa dan kotanya masing-masing. Lalu, asrama kosong melompong begitu saja? Tidak. Waktunya para tikus unjuk gigi dan berpesta, plus buang hajat mereka dengan jahatnya (seenaknya udel, dan di mana saja, semaunya, sekeluarnya).

Fix, liburan dimulai pada tanggal 22 Desember, otomatis gue pulang ke kota gue, di Bekasi (asrama gue di Jakarta, Kebon Jeruk, tepatnya). Rencananya balik ke asrama lagi tanggal 23, (cepat amat?) orang pulang buat pembekalan doang (bekal jajan dan sebagainya). Tanggal 24 mau ziarah ke Banten lalu refreshing ke pantai, tanggal 25 langsung berlayar ke Lampung (asyik bener dah, trepeling). Semuanya baru rencana, entah bagaimana nantinya, semuanya kehendak Allah. 

"Mah, kok pas Mba Anis goreng nasi kayak ada yg lompat ya, hitam dan kecil," tanya gue ke nyokap

"Jangan-jangan tikus kecil kali, di bawah wastafel, ya?"

"Eh, iya bener, di sekitaran situ, tadi."

"Padahal sudah mamah taruh mengkudu di bawah wastafel," eh, mengapa gerangan si mengkudu diletakan di situ?

"Kok dikasih mengkudu, Mah?"

"Iya, dikasih Mpok Titi biar tikusnya kabur. Bau mengkudu kan nggak enak." Dari situ gue punya ide. 

"Mamah, Mba Anis juga mau dong mengkudunya, buat ngusir tikus."

"Ya udah ambil aja. Emang di asrama ada tikus?"

Yak elah, nyokap gue tahu aja, "Banyak malah Mah, apalagi kalau wayah liburan."

Malam pun berganti pagi, dan Mpok Titi pun belanja lagi di toko nyokap gue lagi
"Nis, nih lihat mengkudunya, dicium dulu," nyokap seraya menyodorkan buah berkhasiat itu ke, gue. "Mau dicariin lagi sama Mpok Titi, tuh." 

"Kok udah matang, mengkudunya? Memang manjur?"

"Yang masih muda malah, nggak bau. Nih, coba cium dulu, yang ini."

Dengan berpose manis, gue mengendus aroma mengkudu yang pahit.


"Alah, mak. Baunya nggak banget, Mah," aroma yang sekali endus, serasa mau mampus.

Beberapa menit kemudian, sekantung keresek hitam kecil mengkudu pun tiba.

"Nih, dari Mpok Titi."

"Ini yang muda, Mah?" gue endus, tapi nggak bikin mampus yang ini, mah. Nggak berbau.

"Udah bawa aja, nanti juga matang."

"Ya udah. Makasih ya, Mah. Nanti Mba Anis taruh di depan pintu deket balkon kamar asrama. Ew, semoga manjur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nenek Daun

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan (Book 2)

Sepertinya Salza terlampau lelah. Seharian ia mengerjakan laporan untuk dua instansi. 

"Teh Mita, Salza minta dibangunin jam empat katanya kalau tidur-tidurannya jadi tidur beneran." Semoga setengah jam cukup buat dia istirahat. 

"Iya Ki, nanti aku bangunin." Semilir angin merembes masuk melalui pintu balkon kamarku, sore ini sepertinya akan turun hujan. 

Sejak seminggu lalu ia sering mengigau, sesekali merintih. Badannya pasti kelelahan, biasanya begitu. 

Aku teringat mimpinya, tumben-tumbenan ia bercerita. 

"Teh, aku mimpi, tapi jelas, padahal biasanya setting dalam mimpiku itu berantakan. Pindah-pindah gitu, Teh."

"Eh, mimpi apa kamu, Sa?"

"Mimpi nenek di masjid," wajahnya masih polos seperti biasanya. 

"Nenekmu, Sal? ia menggeleng lalu tersenyum. 

"Bukan, Teh. Nenek nggak dikenal." Ah, beruntung sekali, pantas saja kamu beberapa kali dipanggil "dek", coba mereka tahu berapa usiamu. "Teteh, dengerin ceritaku, ya?"

"Sok, atuh."

"Sepertinya waktu itu siang hari. Nggak tahu kenapa tiba-tiba aku masuk ke pekarangan masjid yang sepi dan hanya dipenuhi dedaunan di tanah."

"Kamu sendirian, Sa?"

"Ada nenek nggak dikenal. Nenek itu mungutin dedaunan, padahal jumlahnya banyak dan berserakan di pekarangan."

"Cuma berdua berarti?"

"Sepertinya begitu, nggak ada orang lain soalnya," ia menghela napas sejenak, "Lihat daunnya, aku males banget Teh, tapi nenek itu mungutin satu-satu, mulutnya komat-kamit apa gitu, nggak kedengaran, posisi kami masih berjauhan. Lalu daun yang diambilnya dari tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik besar."

Salza mencari sapu, setelah menemukannya di pojokan gudang, ia menghampiri nenek tadi.

"Jangan, jangan pakai sapu lidi!" 

"Tapi dedaunannya banyak sekali, Nek. Lebih cepat pakai ini," sembari melakukan gerakan menyapu. 

"Nak, biarkan saya melakukan ini sendiri."

"Tapi nanti Nenek capek, Nek."

"Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?" tanya si nenek sambil merebut pelan sapu lidi itu dari tangan Salza. 

Katanya, mendengar ucapan nenek itu, seperti ada yang menusuk di sanubarinya. Bukan hanya Salza, aku yang mendengar ceritanya pun merasakan hal yang sama. 

Salza terdiam cukup lama setelah mendengar perkataan si nenek, tubuhnya terasa kaku. Ia hanya bisa memandangi nenek tua yang memungut daun seraya mengucapkan "Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa 'ala ali sayyidina Muhammad," lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik besar. 


Inspirated by: 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

49 Hari

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan 
(Book 1)

Layar komputerku masih menyala. Ah, sedikit lagi. 

"Saya sangat senang karena kamu nggak kabur, panik, atau punya permintaan yang aneh-aneh, tapi...," diam, aku memerhatikan sosok berjubah hitam di hadapanku, "Kamu sadar kan, setiap kali saya ingatkan kalau waktumu terus berkurang?"

"Saya ingat kok, tinggal 49 hari lagi Tuan Malaikat."

"Karena itu saya harap kamu berpikir untuk terus berbuat baik, tanpa memusingkan perkara yang kurang perlu."

"Baik. Saya mengerti." Kok duduknya jadi formal begini, biasanya juga santai. Ah..., ini canggung atau sikap siap siaga, ya? 

"Kamu ingat, kapan terakhir kali benar-benar berniat untuk berbuat kebaikan?"

Aku malu, "Ah, itu nggak..."

"Itu maksud saya."

"Siap. Saya mengerti, Tuan Malaikat."

Aku tidak tahu mengapa memanggilnya dengan sebutan itu, sepertinya karena suara Tuan Malaikat terdengar agak berat. Sudah menjadi kebiasaan dan ia tidak mempermasalahkannya. 

"Maaf ya Sa, saya nggak mau waktumu sia-sia begitu saja."

"Nggak apa-apa. Saya yang membuat kamu kesulitan ya, Tuan Malaikat?"

"Eh, saya sih nggak, tapi..." dia menunjukkan sesuatu di telapak tangannya, "Si Shahih jadi buncit karena tidak ada kerjaan. Kamu nggak berbuat baik, dia jadi gabut." 

Kaget, "Hah, memang dia bisa buncit juga? 

Makhluk kecil berjubah merah memandangi teman di sampingnya yang mengeluarkan sesuatu dari balik jubah putihnya. 

"Nggak ding, itu kertas dari buku catatannya yang dia sumpal ke perutnya," bisa-bisanya bercanda seperti itu. Kok, kesal yah? "Jangan salahkan saya, habis kamu nggak memberinya sesuatu untuk dicatat, sih."

Makhluk itu disebut Shahih yang artinya benar karena tugasnya mencatat kebaikan, perbuatan baik yang aku lakukan. Sedangkan yang berjubah merah di sampingnya bernama Khata yang berarti salah, ia memiliki tugas kebalikan dari apa yang Shahih lakukan. Mereka sama-sama mengenakan jubah, hanya saja berbeda warna dan ukuran. Shahih dan Khata berukuran kecil, sedangkan Tuan Malaikat berukuran tinggi dan besar. Aku tak dapat melihat bagaimana wajah di balik jubah tersebut, yang dapat kusaksikan hanya jubah dengan tudung kepala, itu saja.


Inspirated by: 90 Days

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kekhilafan yang Nyata

Rasa sesak ini nyata,
tapi bukan asma.
Rasa sakit ini pun nyata,
tapi tak berdarah.
Aku masih menyimpan plestermu,
tapi entah akan kutempelkan di mana. 

Apa aku merindukan masa-masa itu?
Ketika bersama mereka?
Berada di tempat yang berjauhan,
tapi masih di bawah naungan langit yang sama. 

Mengingatkanmu akan hari itu memang sebuah kekhilafan,
tapi aku menyukainya.
Membaca apa yang kutulis kala itu,
apakah kau menyukainya?
Sudikah dia mengenangnya?
Tapi jelas itu adalah kekhilafan. 

Apa aku menyukai dan merindukan kekhilafan itu?
Buat apa?
Apa itu berguna? 

Ketika Mentari menampakkan sinarnya, 
kau pun menampakkan sinarmu kepadaku.
Apa boleh, aku menyukai itu?
Ketika Rembulan memanjakanku dengan keindahan malamnya,
pantaskah aku bahagia karenanya?
Ketika gemintang berkelip cantik,
layakkah aku memandangnya seraya tersenyum? 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Karena Itu



Ketika awan bergumpal-gumpal membentuk serangkaian perahu rakit,
dinding keegoisan mulai memudar.
Mencoba sekali lagi menyingkirkannya,
tapi ia hanya berubah menjadi transparan.

Langit makarel menyapaku,
tapi yang terdengar hanyalah sayup-sayup birunya melankoli sendu.

Karena itu, kututup mataku tentang hal yang telah berlalu,
karena itu, aku merentangkan tanganku,
memeluk wanginya angin masa depan,
dan membuka hatiku,
terhadap hal yang akan datang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menembus Puzzle

Katanya, setiap orang adalah teka-teki.
Kita adalah sebuah puzzle, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Misteri terbesarnya adalah, bagaimana kita menembus puzzle (teka-teki) ini?


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mentari Setengah Lingkar


Apa yang terjadi? Mentari, apakah aku merindukanmu karena mendung yang tak berkesudahan ini? Meskipun di malam hari bulan dan bintang menemaniku sesekali?

Mentari, kemana perginya kehangatan dan sinarmu? Dapatkah aku dipertemukan kembali dengan semua itu? Atau sosokmu yang terlampau jauh dan entah dapat terjangkau lagi atau tidak?

Setengah lingkarmu saja aku belum dapat melihatnya, hari ini hanya ada burung yang berkicau. Kicauan indah yang mengingatkanku akan sesuatu.

~Mentari Setengah Lingkar~

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pentingnya Interaksi Sosial bagi Kehidupan Manusia


Sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Entah itu keluarga, teman, maupun yang lainnya. Dalam sebuah organisasi contohnya, untuk menghidupkan suasana, mengakrabkan anggota baru, terlebih dalam mensukseskan sebuah program kerja, peranan orang lain itu sangat penting agar terjadi kesinambungan antara satu dengan yang lain. Dari contoh di atas dapat diambil pemahaman bahwa, manusia sebagai makhluk sosial dalam hidupnya pastilah memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berinteraksi, yang mana membuat mereka membutuhkan orang lain agar dapat saling melengkapi. Interaksi menjadikan manusia untuk hidup saling berkelompok.

Sebelum beranjak lebih jauh, perlu kita ketahui bahwa syarat dari sebuah interaksi sosial adalah :
  1. Adanya dua orang atau lebih
  2. Adanya tujuan yang sama
  3. Adanya kesamaan konsep
  4. Kontak sosial
  5. Komunikasi

Selain dari kelima syarat di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain sebuah perkenalan. Semakin kuat pengenalan satu orang dengan yang lain, maka semakin terbuka peluang untuk saling memberikan manfaat. Jika ada sekelompok orang yang sedang berkelompok namun mereka tidak melakukan hubungan timbal balik, berarti di antara mereka tidak ada interaksi sosial. Di stasiun misalnya, ketika melihat banyak sekali gerombolan orang tetapi mereka tidak saling melakukan hubungan timbal balik, berbedanya tujuan maupun konsep, serta sebagian besar dari mereka yang belum saling mengenal menjadi faktor tidak adanya interaksi sosial.

Di tempat-tempat umum seperti; bandara, terminal bus, maupun ruang terbuka lainnya, hubungan timbal balik antara informasi dan komunikasi yang sesuai memang ada, ketika hendak bertanya sesuatu yang urgen kepada petugas maupun orang yang ditemui misalnya, tapi hal tersebut bisa dibilang jarang dilakukan. Mungkin karena malu atau malas berbicara, jadi mereka lebih memilih mencari tahu apa yang dibutuhkan melaui pencarian di internet.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisah Ekstase Pengalaman Mistik Kupu-Kupu dan Laron


Metamorfosis merupakan proses sejarah hidup yang dilalui oleh seekor kupu-kupu sebelum menjadi bentuk kupu-kupu yang sempurna. Sebelum berbentuk indah sebagai kupu-kupu, ia melalui beberapa fase perubahan dari ulat menjadi kepompong. Perubahan bentuk pada diri kupu-kupu inilah yang menjadi esensi religius (hal yang berkaitan dengan keagamaan) orang Jawa yang melalui sebuah perjalanan panjang disertai metamorfosa budaya.

Pengalaman mistik kupu-kupu dengan laron agak sedikit berbeda. Keduanya sama-sama hidup dalam proses metafisik. Salah satu keunikan dari laron adalah selalu terpesona ketika melihat cahaya terang seperti lampu. Karena ketika ia keluar dari sarangnya, tujuan pencariannya adalah cahaya. Hal ini menjadi ilustrasi kehidupan bagi orang Jawa yang selalu sibuk menemukan cahaya Tuhan, dan sinar terang adalah gambaran sinar ketuhanan. Pada proses ini laron rela membenturkan sayap dan dirinya pada lampu hanya untuk berjuang memperoleh cahaya.
 Simak kisahnya lebih lanjut di Religi Jawa pada Metamorfosis Kupu-kupu dan Laron

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tunggu Sebentar Lagi

Saat kau menemukan ketenangan di dalam kepanikanmu, di setiap kegelisahanmu, di ambang emosi dan kebingungan. Kau masih dapat mengendalikannya. Kau masih menunggu demi sebuah kebaikan. Kau bertahan di dalamnya. 

Katanya, menunggu bukanlah sekadar perihal waktu, penantian, maupun kemampuan menahan apa yang ditunggu. Tapi, ia bermakna tentang bagaimana kita mengisi masa itu dengan banyak hal yang bermanfaat.

Kalau begitu, tunggu saja dulu. Tunggu sebentar lagi. Buang segala risau di ruang itu dengan melakukan apa yang dapat dilakuan. Apa yang dapat berbuah kebaikan, keberkahan. Tidak apa-apa, tunggu dulu, sebentar lagi. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perlahan

Apa itu?
Rasanya benar-benar menysakkan dada.
Apa? 

Mengapa kau yang mengemban itu lagi?
Apa kau merasa hanya seorang diri?
Atau hanya perasaanmu saja? 

Aku memerhatikanmu dari kejauhan.
Kau ingin menceritakan apa yang kau hadapi sekarang?
Kau tak tahu harus berkata kepada siapa, 
apa yang akan dikatakan? 

Apa sesulit itu?
Matamu berkaca-kaca.
Apakah sebegitu gelap awan di sana, 
hingga akan turun hujan? 

Hela napas perlahan.
Sebut nama-Nya perlahan.
Perlahan-lahan saja.
Perlahan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bagaimana?

Sakura di kananmu,
debu Bintang di kirimu.

Langit berwarna-warni dan gemintang tersenyum,
pada hari di mana kau bersinar,
pada hari kita berjumpa lagi.

Dandelion di kananmu,
pasir Alexandria di kirimu. 
Pasir Mukalla di hadapanku. 

Beri tahu aku,
bagaimana tawa itu muncul dalam sepi?

Suara hati ini pun tak dapat diperdengarkan.
Bagaimana aku merindukanmu tanpa suara?
Bagaimana aku menceritakannya kepadamu tanpa kata-kata?
Bagaimana?



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pada Akhirnya

Semua yang nyata terkadang membuatmu takut.
Kau ingin menceritakan sesuatu kepadanya, meringankan pikiranmu. 

Pada akhirnya, 
kau mengurungkannya, memendamnya.
Pada akhirnya, 
kau hanya lari dari kenyataan.
Pada akhirnya, 
kau mencoba melupakannya. 

Mencoba untuk tidak merasakan apapun.
Lagi-lagi, membuang rasamu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Battle of Life

Mengerjakan sesuatu berdasarkan kemampuan, tapi tidak dibarengi rasa suka...

Apakah  itu  berat?

Bukan begitu, hanya..., terasa seperti ada yang mengganjal. 

Munculkan  saja  rasa  suka  itu。

Ia tidak dapat dimunculkan begitu saja secara mendadak. Terlebih ada sesuatu yang menyebabkan pudarnya semangat untuk berusaha menyukai, terkadang itu mengganggu, bahkan boleh jadi sangat mengganggu. 

Kalau  begitu、 biarkan  waktu   membantu  meringankan  。

Meringankan apa? Entah. Mencoba lakukan yang terbaik saja dulu. Waktu, bolehkah kau menungguku? 


It seems like this, like that, but don't judge easily.
It's hard, so everyone is fighting their own battle life

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dakwah Kiai Kholil Mahalli Brebes

Adalah KH. Kholil bin Mahalli (1955 M), seorang tokoh ulama pada zaman kolonial Belanda yang sangat kharismatik di kota Brebes. Ia dilahirkan pada tahun 1892 M, tepatnya di desa Benda Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes dari pasangan suami istri, Mbah Mahalli dan Nyai Mahalli. Mbah Mahalli memiliki lima keturunan dan KH. Kholil ini termasuk salah satu putranya.

Ia mulai menimba ilmu sejak tahun 1990 M sampai tahun 1910-an. Dalam sejarahnya, KH. Kholil bin Mahalli pernah menjadi santri di satu daerah bernama Mangkang. Suatu daerah yang berada di antara kota Semarang dan Kendal. Selain di Mangkang, ia juga sempat mencari ilmu di sebuah pondok pesantren kuno di Sindanglaut. Akan tetapi waktunya lebih banyak ia habiskan untuk belajar di pesantren daerah Mangkang.


Sejak kecil ia selalu dikenal dengan sifatnya yang pendiam dan sabar. Sikapnya juga melambangkan orang yang tekun serta teladan. Sebagai bukti ketekunan, hampir semua kitab yang ia miliki penuh dengan makna gandul Jawa. Tak ada selembar pun yang luput dari jamahan tintanya. Prinsip belajar beliau itu ”Petenge tulisan iku padange ati” (red. Jawa). Artinya ‘gelapnya (penuhnya) tulisan adalah cerminan dari lapangnya hati’. Maka tidak heran jika KH. Kholil bin Mahalli sangat menguasai berbagai macam fan ilmu seperti ilmu fiqh, ilmu alat atau nahwu sharaf dan lain sebagainya. Akan tetapi masyarakat desa Benda lebih mengenal kecakapannya dalam menguasai ilmu fikih. Panguasaan ilmu ‘arudl juga termasuk salah satu keunggulan beliau. Maka pada saat itu tidak jarang beliau tuliskan syair-syair serta do’a-do’a sehingga menjadi satu kitab besar yang menjadi bahan pelajaran para santrinya.

Read more on Dakwah Door to Door Ala Kiai Kholil Brebes

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menangkap Dua Cahaya

Tumpukan kertas, dokumen-dokumen, arsip. Apakah itu makanan di malam Minggu?

Tidak berada di luar ruangan, hanya mencoba menghindari cahaya lampu, berteduh dari hal yang menyilaukan, "Bintang, apakah kau dapat mendengar suaraku?" Tubuhnya terkapar di atas busa  lapis dua. Matanya terpejam, di atasnya terdapat selembar kertas, sebagai tameng rupanya. 

"Bintang, bolehkah kali ini aku mengungkapkan sesuatu?" Tak ada suara apapun, hanya sebuah kata hati. 

Ruangan itu sepi. Tak hanya seorang diri, tapi seorang yang satunya sedang sibuk sendiri. Merajut, hal yg ingin dicobanya sejak lama, tapi belum pernah belajar dan mencoba, hanya menyulam saja. Iya, menyulam. Ia senang menjahit dan menyulam, tapi malam ini yang ia sulam adalah kertas-kertas itu. 

Memejamkan mata, menerawang dalam dan lebih dalam lagi. "Bintang, aku seakan tak kuasa membendungnya. Aku harus mengatakannya. Sudah banyak hal yang kupendam selama ini. Bahkan saking banyaknya, aku hampir tak mengingat apa yang terpendam itu," Semakin gelap, seperti berada di ruang hampa. 

"Apa yang akan kau katan. Ceritakan saja. Bukankah kau sering menyuguhkanku pertanyaan dalam bentuk cerita?" Suara Bintang. Benarkah? Ah, ruang hampa itu kedatangan tamu. Cahaya terang di sana, sepertinya tidak asing. 

"Wah, kau mendengar apa yang bahkan belum kuucapkan, Bintang." 

"Aku dapat merasakannya. Teruskan saja apa yang hendak kau sampaikan." 

"Apa aku merasakan bosan? Kebosanan yang tak beralasan muncul di antara tumpukan..., entahlah, harus kusebut apa tumpukan itu." Matanya mulai terbuka. Ia duduk, mendapati dirinya benar-benar hanya seorang diri. Kemana perginya seorang tadi? Ah, lengkap sudah. Malam ini, benar-benar. Ia merebahkan tubuh dan memejamkan matanya lagi. 

"Aku bingung ingin mengatakan apa. Apa karena kondisiku sedang kurang baik? Hei, mengapa aku merasa kekurangan? Aduh, aku kesulitan mengungkapkannya."

"Tak usah bingung. Sudah kubilang katakan saja, apapun itu," Bintang, sepertinya ia tersenyum. Senyum yang ramah. Ah, bukan, itu hanya imajinasinya. 

"Bintang, apa aku terlalu egois dan sembrono karena merasa ada yang kurang? Apakah aku tidak cukup bersyukur?" 

"Memang sedikit dari sekian banyak orang yang bersyukur. Maka dari itu, Ia menjadikan mereka yang bersyukur adalah golongan orang-orang yang khusus." 

"Yah, pada hakekatnya seorang yang tidak bersyukur tidak akan menjadi orang yang sabar. Pada hakekatnya orang yang tidak sabar, tidak akan menjadi orang yang bersyukur jikalau ia tidak menjalani ujian atau kesulitan dengan kelapangan hati. Pada akhirnya, orang yang bersabarlah yang lebih baik karena ia telah melalui kesulitan, menerimanya, dan bersyukur." Melemparkan senyuman ke arah Bintang, Matanya menjadi seperti sebuah garis, sipit rupanya. 

"Kau kesulitan mengatakannya ya? Tapi aku paham yang kau maksud," Bintang membalas senyuman manis itu, lalu memudar, dan hilang. Bintang menghilang. 

Terbangun, mendapati khayalannya lenyap. Sekarang hanya ada kenyataan. Kertas-kertas masih di posisinya, dokumen-dokumen, arsip itu masih sama seperti tadi. "Antara dua. Ya, seharusnya kuusahakan untuk menangkap dan menggenggam erat keduanya. Dua cahaya itu, cahaya syukur dan kesabaran." 

Malam mulai larut. Seorang yang bersamanya telah kembali. Bintang yang berada di sana pun telah kembali. Di busa lapis dua, ia istirahatkan tubuhnya, pikirannya. Selamat beristirahat.

Naumuna sa'id naumuna mubarak

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cahaya Mentari Malam Ini

Seperti biasa, angin malam berembus seperti biasanya. Pepohonan rindang, dedaunan yang terbang dengan bebasnya. Ini bukan puisi, tapi kata hati.


Jembatan itu, nampak berkilauan. Cahaya di ujung sana, apakah itu kau, Mentari? Bagaimana mungkin kau tampakkan dirimu di malam ini? Atau sekadar halusinasi?

Sepertinya kau tersenyum ramah, seperti biasanya. Tapi, ada berjuta tapi yang berkata itu hanya bayang-bayangku.

Mentari, bolehkah aku merindukanmu? Aku ragu, bahkan rupamu seakan meredup dan hampir lenyap.

Cahaya di ujung sana, ujung jembatan itu hangat seperti dirimu. Kehangatan tersembunyi di balik kabut yang lembab. Kau hangat, tapi warnamu sama sekali tak menorehkan aroma jingga. Kau biru abu-abu.

Mentari, kucoba menepis kerinduan ini, tapi apalah daya. Bagai hembusan polos yang muncul sendirinya dan tanpa dosa. Mentari, apakah kata "selamat tinggal" atau "sampai jumpa" yang menjadi akhirnya nanti, aku belum tahu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Coretan Malam Berbintang

Sudah beberapa hari tak menuliskan sesuatu, mengungkapkannya, padahal setiap hari berkutat dengan tulisan-tulisan. 

Ah, tentu berbeda, jelas berbeda. Mereka adalah kewajiban, harus kuselesaikan semampu dan sebaik mungkin. 

Berbeda dengan semua yang tercurah di sini, mereka adalah perasaan yang sulit sekali diungkapkan, bahkan terkadang tak mengerti mengapa itu ada, mengapa menjadi seperti itu. 

Di sini, sekaan mengembuskan napas yang tertahan. Melepas, terbang bersama angin yang berembus. Entah mengarah dan menuju ke mana, terbangkan saja. 

Katanya, jangan percaya pada siapapun. Tak ada kebaikan yang ditawarkan tanpa pamrih. Benarkah? Hufh, pengecualian pasti ada. Tapi, di manakah aku dapat menemukan petunjuk dari pengecualian itu? Seperti ada yang menggumpal dan menumpuk. Ingin mengurainya, tapi sekali lagi aku bertemu dengan keraguan dan ketidakpercayaan. 

Berusaha untuk keluar, tetap saja tertahan dan terpaksa menguburkannya kembali. Apakah itu melelahkan? Ya, tak dapat dipungkiri meski berusaha menutupinya, tetap saja rasa tak dapat berbohong.

Apakah itu menjadi beban? Bukan, yang ada adalah pertanggungjawaban. Setiap ciptaan memiliki hak dan tanggung jawabnya masing-masing. 

Malam ini... apakah yang kutemui adalah sebuah kerinduan? Apakah aku mempunyai alasan yang kuat untuk merindukan sesuatu? Apakah aku membutuhkan sebuah alasan?

Aku masih ragu, tapi yang terbesit adalah pemandanganmu, duhai gemintang. Ada sedikit bayangan bulan di sana. Jujur, sebenarnya terbayang akan cayaha mentari. Tapi... apa lebih baik tak menghiraukannya? 

Bintang dan bulan? Mungkinkah aku terjebak di dalam malam? Malam yang sunyi, tak bising, tenang, namun terkadang ketakutan itu ada? 

Entah. Biarkan malam ini terlewati. Biarkan saja. Ya, begitu saja. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Petunjuk Nabi Agar Menjadi Pribadi Menarik dan Menyenangkan

Agar kawan-kawan dicintai oleh sesama, mulailah dengan memperbaiki diri sendiri dan memberikan kesan baik kepada orang lain. Dalam berteman, mulailah sesuatu dengan mengucapkan salam.




Khalifah Ali ibn Abi Thalib berpesan kepada putranya, Al-Husain, “Anakku, bertakwalah kepada Allah, saat kau sendiri maupun saat kau ada di keramaian. Bertutur baiklah di saat tenang maupun emosi. Berhematlah ketika kaya maupun miskin. Adil di saat semangat maupun malas. Ridha atas karunia Allah di saat suka maupun duka.

Barang siapa terlibat dalam urusan yang belum ia pahami, maka bersiap-siaplah menerima kenyataan pahit. Membuat perencanaan sebelum bekerja akan menyelamatkan diri dari penyesalan. Barang siapa menghargai pendapat orang lain, ia akan semakin tahu di mana letak kesalahan. Kesabaran adalah tempat berlindung dari kemiskinan, sedangkan kikir adalah pembawa kemiskinan, sebagaimana sifat rakus akan membawa pada kemiskinan. Datang dengan tangan kosong lebih baik daripada datang dengan tangan penuh, tapi bersikap kurang ajar. Segala sesuatu ada makanannya, dan anak Adam adalah makanan bagi kematian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Alasan Untuk Tersenyum

Katanya, menjadi alasan orang lain untuk tersenyum. 

Apa kau sudah memperlihatkan senyum ketulusan terbaikmu? 
Apa senyuman itu telah menjadi alasan orang lain untuk tersenyum? 
Menjadi bahagia dan mendapatkan ketenangan? 

Dulu kau terus berpikir, "Apa yang seharusnya kulakukan? Apakah yang kulakukan sudah menjadi yang seharusnya?"



Kau terbenam, kau tenggelam dalam pikiran-pikiranmu sendiri. Bukan bermaksud menyalahkan diri sendiri, tapi kau sering kali merasa bersalah karena kekurangan-kekuranganmu. 

Kelebihan dan kekurangan, setiap manusia memilikinya dengan kadar yang berbeda, dan perbedaan itu merupakan bibit keselarasan, penyesuaian untuk saling melengkapi. 

Lakukan semua yang bisa dilakukan sesuai kemampuan, karena setiap yang diciptakan Tuhan memiliki tadkdirnya masing-masing.

Kemampuan adalah anugerah, kesungguhan adalah usaha yang seharusnya dilakukan, dan kesempatan adalah hal yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. 

Tersenyumlah. Senyum untuk kebaikan diri sendiri, untuk kebaikan mereka. 

Tersenyumlah. 



*Source >> WAP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kerinduan Palsu

Mengapa kau hanya terdiam? Apa kau sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik?

Kau. Apakah yang sedang kau pikirkan?

Tempo hari lalu, sepertinya kau menampakkan kerinduanmu akan sesuatu. Apa benar itu adalah kerinduanmu, atau hanya imajinasimu akan kerinduan?

Kau mencoba keluar dari kesibukanmu dengan menciptakan topik lain?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hiu Kecil

Zona aman, nyaman. Apa kau akan terus di bawah selimut itu? Tidak mencoba untuk bangun dan menghirup serta merasakan sensasi udara di luar sana? 





Hidup, tapi sebenarnya mati. Tidak bergerak, tidak berguna. Seperti itu kah maumu? 


Bersyukurlah kau diberi kesempatan untuk bergerak. Untuk mengasah kemampuanmu.

 Apa kau lupa bagaimana caranya berkembang? Apa kau lupa bagaimana mengimplementasikan kemampuan itu? 

Ayolah, seseorang memercayaimu. Tidak, bukan hanya seorang, tapi mereka memercayaimu. 

Apa salahnya mencoba? 
Kesulitan pasti ada, tapi selama mencari jalan keluar. Kau pasti menemukannya.



Bagaimana menurutmu? Apa pendapatmu? 😊



* Disclaimer We Are Pharmacist (WAP) 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bulan, Kau...

Coretan itu tentang bintang. Aku menyukainya bukan berarti aku mengabaikan matahari atau bulan, melupakan jasa mereka. Bukan.

Matahari, sepertinya cahayamu sama sekali tak tampak. Entah kau sengaja meredupkannya atau mengapa, aku belum menemukan alasannya. Atau kau menyinari yang lain? Namun, terima kasih telah diperkenankan menemukan cahaya yang telah menerangi langkahku. 

Bintang, aku merindukanmu. Entah kau mencium aromanya atau tidak. Kerinduanku tak bersuara. Tak tampak, bintang. Maafkan aku yang merindukanmu. 

Bulan, mengapa engkau yang terlanjur membaca kerinduanku pada bintang? Bulan, entah apa yang terlintas di benakmu.

Bulan, kau..., kaupun telah membantuku banyak hal. Terima kasih. Dengan cahayamu, aku merasakan kehangatan. Dengan cahayamu, aku memiliki kesempatan untuk merasakan menjadi seorang adik kecil. Terima kasih, bulan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bintang

Kisah tentang matahari, bulan, dan bintang.
Biarpun menjadi yang terkecil,
kau memancarkan cahaya sendiri.
Terima kasih atas segalanya.
Terima kasih telah menjadikanku merindukanmu.
Kerinduan tanpa suara ini,
terima kasih .

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sekadar Cerita

Kisah itu tentang matahari. Matahari yang bersinar, memberikan kehangatan, keramahan, dan inspirasi. Tersenyum ceria seiring dengan bersinarnya ia di setiap hari-hariku.

Siapa sangka, jika hari ini hujan. Hujan sebesar apapun, ia pasti kan bersinar kembali bukan?

Aku masih belum memahami tentang matahari secara mendalam. Mungkinkah aku terlalu bimbang untuk memilih memahaminya, atau lebih memilih bulan dan bintang?

Perjalanan masih panjang ataupun tidak, siapa yang mengetahui kepastian itu. Aku masih saja memandangi tanah yang kupijak. Apakah aku belum sanggup memahami tentang matahari atau memilih bulan maupun bintang?

Dunia berputar, matahari berganti bulan, bintang bertaburan di lelangit malam. Apa aku salah, berpikir untuk menjadi angin yang berembus?

Biarlah aku menjadi diriku, kau menjadi dirimu, ia menjadi dirinya.

Yang kuinginkan, semoga suatu hari nanti aku dapat berbagi ceritaku padamu, atau mungkin kau membantuku menyelesaikan cerita itu. Cerita yang selama ini terpendam. Aku hanya sedikit berbisik pada tumpukkan bebatuan di jalan. Entah mereka mendengarnya atau tidak, tapi bisikkan itu setidaknya meringankan sesuatu.

Kuharap ada yang bisa mendengarkan ceritaku, atau mungkin memperbaiki jalannya. Memperbaiki isinya, menanamkan makna dan hikmah berharga di dalamnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perihal Rasa

Sekali lagi, kau merasa semakin tidak memercayai siapapun? Dari kejadian-kejadian itu, kau mulai menarik kesimpulan?

"Dunia semakin tua, angin berhembus begitu saja. Entah berpihak ke arah mana.  Aroma dunia sepertinya semakin memuakkan. Bukan bermaksud memukul rata. Bukan. Hanya sebagian, atau mungkin beberapa."

Masa lalu seringkali menjadi guru yang berharga. Disadari secara langsung maupun perlahan, ia memberikan pelajaran yang tak ternilai.

Belajarlah untuk menjadi lebih baik. Rasa kesal dan teman-temanya mesti ada, tapi jangan biarkan ia hinggap berlarut-larut. Biarkan hidup memiliki beragam rasa. Pelajari rasa itu sedikit demi sedikit, dan dapatkan makna yang berarti dari mereka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menangis Saja

Isi kepalamu seakan tumpah? Kau bukan gelisah, hanya sedikit resah? Sedikit... saja, selebihnya kau sadar akan tanggung jawabmu.

Hal itu dalam kendalimu, namun sepertinya dirimu membutuhkan waktu lebih, tapi malah waktu mengejar-ngejarmu?

Hembuskan napasmu sejenak. Istigfar kemudian suarakan hamdalah walau hanya di dalam hati. Harimu, adalah hal yang patut disyukuri. Tuhan selalu berada di sisimu.

Kau ingin meledakkan sesuatu, menceritakan sesuatu, tapi takut akan sesuatu? Kemudian kau memendamnya?

Apa kau belum dapat kepercayaan untuk apa yang sebenarnya ingin kau ungkapkan dan tunjukkan?

Kalau begitu, menangis saja. Menangislah. Bukan bermaksud membuang-buang air mata. Bukan, sama sekali.

Lakukanlah seperti itu dulu. Sepertinya kau memang perlu menumpahkan sesuatu. Tumpahkan saja. Berdoa dan mintalah perlindungan dari-Nya. Kemudian tersenyumlah. Tersenyum sembari melafalkan hamdalah.

Apa kau merasakan lebih baik sekarang? Aku yakin kau merasakannya. Alhamdulillah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aroma Kerinduan

Fiksi ini, entah sejak kapan ia telah menjadi realita. Ketika kamus tak lagi berarti. Ketika buku-buku tak lagi bisa dimengerti. Ketika berita tak lagi bisa dipercaya.

Kau ingin menciptakan cara lain untuk mengungkapkan kerinduanmu; "kau menyukainya tanpa suara."

Lalu, bagaimana menjaga "suka tanpa suara" itu? Akankah ia bermekaran walaupun tak ada kata "mekar"?

Bagaimana pesan itu sampai jika tak sehuruf pun terucap? Tak ada gelombang bunyi yang terdiri dari molekul-molekul udara yang bergetar maju-mundur pula? 


Terkadang, tak mesti menunggu tumpukan. Mungin saja sesuatu yang tiba-tiba dan kecil itu lah, jawabannya.

Namun, bagaimana kau menghapus rasa, kalau udara yang kauhirup masih mengandung aroma?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jalanan Pelancong

Apa benar, hidup itu jalanan pelancong?
Mengembara ke sana dan ke situ 
 
Di jalanan yang bagaikan langit yang bergulung,
jangan dulu saling tersentuh,
atau punya perasaan yang belum terjawab 

Hidup itu jalanan pelancong
Seperti langit yang bergulung,
menghilang tanpa arah
Benarkah?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cemilan Emuh

Di suatu malam yang tidak mencekam. Masih sekitar pukul setengah sepuluh, memang.

"Mba... tolong bikinin Emuh nasi goreng, Mba Anis...," nadanya agak memelas manja.

"Kan tadi Emuh sudah makan."

"Ayolah, Mba Anis...," mimiknya semakin over.

"Muh bikin sendiri saja, ya. Kan masak mie instan juga bisa."

"Ayolah..., bikinin Mba Anis aja. Ayolah...," kok jadi kayak Upin-Ipin yang ngidam ayam goreng. Sejak beberapa hari yang lalu ia mendadak sering minta dibuatkan nasi goreng.

Sejarahnya sederhana. Pada tanggal 3 Syawal, seluruh anggota keluargaku pergi berkunjung ke Depok, berhubung kurang enak badan, aku tetap tinggal di rumah. Home alone. Dari pagi sampai sore. Komplek sepi. And me? Just by myself. Ya sudahlah. Sudah terbiasa sendiri.

"Mba Anis, sebentar lagi Maghrib, goreng telur saja ya, Mamah cuma punya nasi." Mereka baru tiba di rumah sejam lalu.

"Iya, Mah."

Serius, sekitar lima belas menit lagi. Ah, malas betul kupas-kupas bawang dan ulek-ulek bumbu. Jari-jemariku masih bau bawang, sisa kemarin. Kemarin, kemarin, dan kemarinya lagi. Awet betul? Entahlah, sudah aku cuci, baunya hampir hilang, tapi bermain bawang lagi, dan lagi. Searching bagaimana cara menghilangkan bau bawang di internet? Belum kesampaian.

Well, masih ada upacara pemotongan. Bukan bawang sih, melainkan daunnya dan daun temannya. Tumis-tumis ria si daun bawang, masukkan telur, oseng-oseng, taburkan irisan sawi, oseng-oseng, tambahkan sepiring nasi putih, beri bumbu racik nasi goreng serta lada bubuk dan garam secukupnya. Aih, tutorial singkat memasak nasi goreng rupanya.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar..." Alhamdulillah, bahagianya.

"Mba Anis, Emuh nyobain ya, nasi gorengnya?" Gayanya sok imut. Tapi imut, sih. Gimana dong?

"Muh, Mba Anis lagi buka puasa. Emuh kan baru makan, tadi," kata ibuku.

"Gak apa Muh, sini makan sama Mba Anis."

"Kan boleh, Mah. Muh ditawarin sama Mba Anis," cengirannya itu, loh, "Ya kan, Mba Anis?" Tanyanya manja. Ini bocah ngapa, ya? Ngapa, ya? Batinku tak dapat memungkiri tak mengatakannya.

"Hemm, enak Mba Anis," ucapnya sok manis. Tapi menggemaskan. Sumpah, ini bukan dusta.

Sederhana bukan? Berawal dari situ, hobinya beralih jadi makan nasi goreng. Entah sampai kapan. Dulu pun seperti itu, hobi makan tumis kangkung. Hobi makan? Bukan. Bukan hobi, tapi keperluan. Cikgu Jasmin kata pun seperti itu.

"Mba Anis..., ayolah..., bikinin Muh nasi goreng...."

"Muh bikin sendiri ya," padahal akhir Ramadhan dia lagi senang-senangnya makan seblak, level 1, "Tuang minyak sedikit di teflon, orak-arik telur, masukkan nasi, tambahkan bumbu racik, aduk rata. Selesai..."

"Ayolah Mba Nis... Emuh bikin, tapi Mba Anis bantuin...," aduh, anak satu ini.

"Ya, ya. Muh ambil telur ya, Mba Anis panasin minyak dulu," mau tak mau aku menuju dapur.

"Nih Mba Anis, telurnya."

"Muh bisa pecah cangkang telurnya?"

"Nggak..." tanpa merasa berdosa ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menghela napas. Wajar, usianya baru sebelas tahun kurang. "Muh siapin nasinya , ya."

"Iya, Mba Anis."

"Muh lapar lagi? Tadi kan, baru makan malam?" tanganku masih beraksi dengan sendok. Say no to spatula. Oseng-oseng nasgornya bukan pakai spatula tapi pakai sendok, sekalian buat makan. Maafkan kakakmu ini, Muh.

"Ini kan cemilan, Mba Anis." What? Bocah kecil, nasi goreng jadi cemilan?

"Muh, kalau lapar mah, bilang. Nasi goreng kok, cemilan?"

"Cemilan Mba Anis.... Tadi kan, Emuh sudah makan malam." Nasi gorengnya sudah matang. 

"Punten ambil piring ya, Muh."

"Yeay. Nasi gorengnya sudah jadi," dengan senang hati ia memberikan piringnya kepadaku.

Aya-aya wae ieu bocah. Priben, Priben? Sego goreng dadi cemilan? Kalau sudah menjadi pilihannya, apa boleh buat. 

***

"Mba Anis..." tangan Muh gatal. Kebiasaan deh, masa cubit-cubit pipi. Gemas katanya.  Masa iya, gemas sama kakak tua? Tertua maksudnya, "Muh mau dibikinin nasi goreng?"

"Iya Mba Anis. Tolong bikinin Emuh Nasi goreng, Mba Anis...."

"Cemilan?"

"Bukan. Nasinya yang banyak."

"Muh tadi pagi makan baca doa nggak?"

"Baca. Memang kalau belum baca doa, kenapa?

"Nggak apa-apa." Ah, akhirnya tulisanku ini selesai kuketik. Siap posting.

Dari balik pintu kamarku Muh berkata, "Mba Anis nasi goreng.... Nasi goreng, yah?"

"Iya."

"Mah, Emuh ditawarin makan nasi goreng sama Mba Anis." Lah, siapa juga yang nawarin. Dasar ragil. Hadeuhh

"Bikin nasi gorengnya dikasih sayuran, Mba Anis. Biar Muh makan sayuran."

"Iya, Mah."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tak Merasa Kehilangannya

"Masihkah kau mencintainya saat ia pergi? Masihkah kau menyayanginya saat ia tak kembali? Masihkah kau merindukannya saat ia tak berada di sisi?"

Kemudian kau menjawab: "Mengapa tidak? Aku tak merasa kehilangannya."

Takdir pohon bambu, atau seperti takdir benang merah?

Hanya menjalani takdirku saja, entah apapun, bagaimanapun. Atau mungkin jenis itu hanya imajinasiku? Sepertinya sekadar gambaran. Boleh jadi, lukisan seni kehidupan. 

Tak merasa kehilangan dengan apa yang tak berada di sisi. Apa yang dimiliki sebenarnya ialah milik-Nya yang dititipkan kepadaku, kepada kita.

Cinta, kasih sayang, dan kerinduan. Kau masih menyimpannya. Tiada kata "kehilangan", untuk apa yang sudah tak terjangkau oleh pandangan mata.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS