Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Eksistensi Yang Bermakna

 


Di tengah hamparan hijau perbukitan yang megah, terletak sebuah desa kecil yang dikenal sebagai Desa Surya. Di desa itu, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Rama adalah seorang yang sehat secara fisik, tetapi di dalam dirinya terdapat kekosongan yang sulit untuk dijelaskan.

Setiap pagi, Rama bangun dengan pikiran yang kacau. Meskipun dia memiliki pekerjaan yang stabil dan keluarga yang menyayanginya, tetapi ada sesuatu yang terasa kosong dalam hidupnya. Dia merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas.

Suatu hari, Rama bertemu dengan seorang tetua bijak yang mengajarkan kepadanya tentang pentingnya mencari makna hidup yang sesuai dengan dirinya. Tetua itu menjelaskan bahwa manusia yang sehat bukan hanya yang fisiknya kuat, tetapi juga yang memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan.

Tetua menyapa Rama dengan suaranya yang sedikit parau, "Hai, anak muda. Apa yang sedang kamu pikirkan dengan serius?"

Kening Rama masih terkerut, "Pak Tetua, saya sedang memikirkan makna hidup saya. Saya merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas."

"Sepertinya saya memahami perasaanmu, meskipun saya tidak tahu persisnya seperti apa,karena hal itu hanya dirimu yang bisa merasakannya." Pak Tetua menghela napas, "Penting bagi kita untuk memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan. Apa yang kamu cari dalam hidupmu, Rama?"

Rama menatap kosong, "Saya tidak yakin, Pak Tetua. Selama ini saya hanya hidup menuruti apa yang diharapkan orang lain."

"Hidup bukan hanya tentang mengejar ekspektasi orang lain, Rama, tetapi juga tentang menetapkan cita-cita yang ingin kita kejar."

Dengan tekad yang kuat, Rama mulai memproyeksikan dirinya ke arah yang ingin dia capai. 

***


Lagi-lagi Rama duduk di bawah pohon tua yang rindang, merenungkan langkah-langkah selanjutnya dalam perjalanan hidupnya. Maya, sahabatnya yang melihat Rama dalam keadaan yang serius itu menghampirinya. 

"Hai, Rama. Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Sore itu begitu hangat, angin sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan yang gugur, "Aku sedang merenungkan tentang makna hidupku. Beberapa hari yang lalu aku sudah mendapatkan pencerahan dari Pak Tetua dan menjalani kehidupanku dengan baik, tapi sepertinya perasaan aneh akhir-akhir ini muncul lagi."

"Ah, begitu. Sebelumnya aku pernah mengalami hal serupa, Rama. Tapi kemudian aku menyadari bahwa kita harus menciptakan makna hidup kita sendiri, sesuai dengan apa yang kita percayai dan kita inginkan."

"Ya, kamu benar, Maya. Aku merasa seperti sekarang ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengambil kendali atas hidupku sendiri. Aku ingin memiliki tujuan yang jelas dan melakukan segala sesuatu dengan maksud yang bermakna."

Tak lama kemudian, datanglah seorang tetua bijak yang tempo hari Rama temui sebelumnya, menghampiri mereka dengan senyuman yang ramah. Entah takdir apa yang telah digariskan semesta, tapi mungkin seperti itu lah jalannya. 

"Hai, anak-anak muda. Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Kami sedang berbicara tentang mencari makna hidup, Pak Tetua. Rama baru saja menyadari pentingnya memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan," kata Maya. 

Tetua duduk di samping Rama, "Mengetahui tujuan hidup adalah langkah pertama menuju eksistensi yang bermakna. Tetapi ingatlah, perjalanan mencari makna hidup itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan proses."

"Terima kasih, Pak Tetua. Saya akan terus berjuang untuk menemukan makna hidup saya dan menjalani setiap langkah dalam perjalanan ini dengan penuh kesadaran."

Mereka bertiga duduk di bawah pohon tua itu, saling bertukar cerita dan pengalaman, serta memberikan dukungan satu sama lain dalam perjalanan mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan langit yang menorehkan cahaya jingga di atas mereka, mereka menyadari bahwa setiap langkah kecil dalam perjalanan itu adalah bagian dari kehidupan yang bermakna.

Di tengah perjalanan mereka untuk mencari makna hidup yang sesungguhnya, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu bertemu dengan berbagai macam karakter yang mengilhami mereka untuk lebih mendalam memahami esensi dari eksistensi yang bermakna.

Mereka berpapasan dengan Jendra, tetangga Maya, seorang pemuda muda beberapa hari ini yang tampak lesu dan kehilangan semangat dalam setiap langkahnya. Rama memperhatikan Jendra itu dengan keprihatinan yang mendalam. Seperti berkaca dengan diri sendiri. 

Rama mencoba membuka percakapan, "Maaf, tetapi saya tidak bisa tidak bertanya. Apakah ada yang mengganggumu, Jendra?"

Pemuda itu menggelengkan kepala, "Tidak ada yang bisa saya sebutkan. Rasanya kosong dan tanpa arah."

Maya menduga jika Jendra sedang merasakan apa yang disebut sebagai gangguan neurotik. Ah, apakah hal-hal semacam ini sedang viral, pikir Maya. 

Neurotik mengacu pada keadaan seseorang yang menghadapi tantangan psikologis. Gangguan neurotik bisa muncul tanpa penyebab fisik dan tidak memengaruhi persepsi.

Secara faktual, gangguan neurotik cenderung terkait dengan kecemasan atau pikiran berlebihan daripada gangguan mental. Namun, tanpa pengobatan medis, masalah ini bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan.

***

Kemudian, di perjalanan menuju warung lesehan, mereka bertemu dengan seorang pria keras kepala yang terus-menerus memaksakan pandangannya kepada orang lain tanpa memperhatikan perspektif mereka.

Pria itu berkata dengan nada suara tinggi dengan lawan bicara di hadapannya, "Saya tahu apa yang terbaik untuk semua orang. Saya hanya ingin membantu mereka melihat kebenaran."

Wanita di hadapan pria itu menjawab, "Tapi, apakah Anda pernah berpikir bahwa setiap orang memiliki pandangan dan pengalaman yang berbeda? Memaksakan pandangan Anda kepada orang lain bisa jadi tidak bijaksana."

Maya ingin sekali angkat bicara, tetapi ia khawatir tindakannya terlalu mencampuri urusan orang lain. 

Rama, Maya, dan Pak Tetua yang tak sengaja mendengar percakapan itu memantau dari kejauhan. Memastikan keadaan, jika terjadi hal yang tidak diinginkan baru mereka mengambil tindakan. 

Beberapa menit kemudian kondisinya nampak sudah aman. Pemuda keras kepala dan wanita tadi sepertinya sudah mendapatkan jalan keluar.

Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan makna hidup mereka sendiri. Memaksakan pandangan atau kepentingan kita kepada orang lain bisa membuat mereka merasa terkekang dan tidak dihargai.

Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang berbeda-beda. Memaksakan makna hidup kita kepada orang lain adalah tindakan yang melawan sunnatullah.

Entah mengapa seorang wanita paruh baya yang duduk di samping meja lesehan Rama malah berbagi kisahnya pada Rama, Maya, dan Pak Tetua, "Saya hanya ingin orang-orang di sekitar saya bahagia. Kebahagiaan mereka adalah segalanya bagiku." 

Ah, wanita yang tampaknya selalu menuruti kehendak orang lain, tanpa memperhatikan keinginan dan aspirasinya sendiri. "Mohon maaf sebelumnya, bagaimana dengan kebahagiaan dan aspirasi Anda sendiri? Apakah Anda tidak merasa penting untuk menghargai keinginan dan pemikiran Anda sendiri?" Rama menyeruput kopi hitam yang ia pesan dengan sedikit gula itu. 

Maya memandang wajah wanita itu dengan tatapan yang dalam, "Memperhatikan kebahagiaan orang lain adalah hal yang baik, tetapi tidak boleh mengorbankan kebahagiaan dan makna hidup kita sendiri. Setiap individu memiliki hak untuk mengejar impian dan tujuan mereka sendiri."

Wanita itu sangat terbuka, ia mencerna dan menerima apa yang Rama dan Maya katakan kepadanya. Berharap semua itu bisa menjadi salah satu jalan keluar dari apa yang ia alami. 

"Janganlah tunduk pada tekanan dan harapan orang lain jika itu bertentangan dengan apa yang Anda inginkan dan percayai. Jika Anda tidak menetapkan makna hidup Anda sendiri, Anda akan terombang-ambing dalam kehampaan dan kebingungan." Tetua menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. 

Wanita itu meneteskan air mata, menyadari bahwa dia juga harus memperhatikan keinginan dan kebahagiaannya sendiri.

***


Di bawah langit malam dan suara jangkrik yang menghiasi malam mereka, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu belajar bahwa setiap individu memiliki perjuangan dan tantangan masing-masing dalam mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan saling mendukung dan memahami, mereka berharap dapat mencapai eksistensi yang bermakna dan memperjuangkan kebahagiaan serta pemenuhan diri mereka sendiri.

Sembari duduk santai di warung lesehan mereka menikmati kudapan sederhana yang tersedia. 

Rama teringat akan kata-kata dari Montaigne, "Saya teringat kata-kata seorang filsuf yang pernah saya dengar. Dia berkata bahwa, aku takut mata kita lebih besar dari perut kita. Dan rasa ingin tahu kita lebih besar dari daya pemahaman kita. Segalanya kita pahami, tapi kita tidak mendapatkan apapun kecuali angin." 

Maya menghentakkan jemarinya dengan antusias di atas meja, matanya berbinar-binar.  "Ini mungkin menarik. Dewasa ini, kita ingin tahu segalanya, khususnya difasilitasi oleh media-media digital. Rasanya, kita telah mengetahui begitu banyak hal berkali-kali lipat, tapi seperti angin. Lalu, manfaatnya apa?"

"Kita tidak pernah menghitung, informasi ini gunanya untuk apa, bermanfaat atau tidak. Kalau dalam bahasa agama, maslahat atau tidak. Yang lebih tinggi lagi, berkah atau tidak. Itu lebih luas lagi. bahwa terlalu banyak pengetahuan tanpa kebijaksanaan akan membuat kita seperti angin, tidak memberikan manfaat yang nyata dalam hidup kita. Apakah Anda setuju dengan itu, Pak Tetua?"

Tetua tersenyum, "Itu adalah pelajaran yang dalam, Rama, Maya. Terlalu banyak informasi tanpa refleksi dan penghayatan akan membuat kita kehilangan arah. Kita harus bijak dalam memilih apa yang benar-benar bermanfaat bagi kita, dan tidak terlalu banyak membebani diri dengan pengetahuan yang tidak relevan."

Rama mengangguk, merenungkan kata-kata tersebut. "Memang, Pak Tetua. Saya harus lebih selektif lagi dalam memilih informasi yang terserap dan mencari pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi perkembangan diri saya."

"Betul sekali, Rama. Kita harus mengingat bahwa mata kita lebih besar dari perut, artinya tidak semua informasi yang kita serap dapat kita cerna dan manfaatkan dengan baik. Kita perlu memilih dengan bijak dan fokus pada hal-hal yang benar-benar relevan untuk meningkatkan kualitas hidup kita."

Rama tersenyum, merasa semakin yakin dengan langkah-langkahnya ke depan. Dengan bimbingan dari Tetua dan pelajaran yang ia dapat berbagai hal yang ditemui, dia siap untuk memilih dengan bijak dan mengejar makna hidup yang sesungguhnya.

Dari situlah, Rama mulai mengontrol hidupnya sendiri dengan lebih sadar. Dia menciptakan rencana-rencana dan cita-cita yang ingin dia wujudkan. Setiap langkah yang diambilnya sekarang memiliki tujuan yang jelas, dan dia tidak lagi terpenjara oleh masa lalu atau menerima situasi tanpa perlawanan.

Rama juga belajar untuk mengungkapkan nilai-nilai, pengalaman, dan sikapnya dengan lebih jelas kepada orang-orang di sekitarnya. Dia tidak lagi merasa terkekang oleh ekspektasi orang lain, tetapi lebih fokus pada apa yang dia percaya dan ingin capai dalam hidupnya.

Menjadi manusia yang sehat secara eksistensi bukan hanya tentang fisik yang prima, tetapi juga tentang memiliki tujuan hidup yang memberikan makna dan kepuasan. Sebuah eksistensi yang bermakna adalah hasil dari kesadaran, kontrol diri, dan kemauan untuk berjuang mewujudkan apa yang diinginkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bestie Emang Njajan

Hari sudah semakin sore, tapi aku tidak bisa melihat momen syahdu terbenamnya dedek mentari. Sepetinya dia terlalu besar untuk sebutan itu. Bagaimana kalau kakak mentari? Yah, bagaimanapun, aku menyukainya ketika dia mulai menampakkan dirinya maupun saat ia tenggelam di ufuk timur. 

Aku iseng mencuci beberapa pasang pakaian. Aku berharap bisa menyelesaikannya dengan cepat, tapi ternyata waktu terus berlalu tanpa ampun, dan akhirnya aku telat. Telat mengaji rutinan di hari Senin bakda maghrib. 

Riri membuka pintu kamarku, “Ra, mau ngaji enggak?”

Entah mengapa rasanya senang, “Ih, pas banget deh. Emang dasar bestie keterlambatan. Emang boleh kita sekompak ini?”

Riri mengangguk sambil tersenyum. Dia seperti matahari yang memberikan sinar kehangatan pada setiap momen., “Helleee. Udah buruan.” Gadis Blora itu mencangking kitabnya, “Aku tunggu di depan gerbang, ya.”

Sesampainya di depan rumah kiai, kami menunduk-nunduk dan jalan mengendap-endap lewat samping mobil kiai. Syukurlah, masih ada ruang untuk kami lewat dan masuk ke dalam, biasanya ramai. 

Setelah mengaji di kediaman kiai, aku dan Riri duduk bersama di angkringan pinggir jalan, masih dalam suasana khidmat setelah menyimak pelajaran tentang penyucian diri. Kami memesan beberapa jajanan favorit untuk merayakan kebersamaan dan nikmat yang telah diberikan Allah.




Sambil mencicipi aci tusuk, aku berkata, “Tau gak, Ri? Aku selalu merasa begitu tenang setelah mengaji. Rasanya hatiku jadi lebih lapang dan penuh dengan kebaikan.”

Riri tersenyum simpul, “Iya, betul banget, Ra. Mengaji itu seperti membersihkan hati dan pikiran kita dari kekhilafan-kekhilafan kecil yang pernah diperbuat. Sungguh nikmat yang tidak bisa diukur dengan apapun.”

Sambil menikmati sate mie, aku menambahkan, “Kita harus bersyukur atas kesempatan ini, Riri. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk belajar agama secara langsung dari seorang kiai.”

Riri mengangguk setuju, “Bener banget, Ra. Kita harus selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Baik itu kesempatan belajar agama, keberadaan sahabat seperti kita, atau pun jajanan enak seperti yang kita nikmati sekarang.”

Kami melanjutkan makan dengan penuh rasa syukur dalam hati, menikmati kebersamaan dan nikmat yang telah diberikan Allah. Setelah selesai makan, kami berjalan pulang sambil bercerita dan tertawa bersama, merasa penuh berkat atas setiap momen yang telah kami jalani bersama.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ingin Kau Tahu


Aku hanya ingin kau tahu, 

saling menghargai adalah sepoi angin sejuk yang menentramkan kita dari terik mentari 

Aku hanya ingin kau tahu, 

rinduku tak seberisik kicauan burung yang begitu bersemangat di pagi hari 

Tapi, ada kalanya mungkin jadi seriuh itu

Menjadi suara yang mendominasi, bisa jadi kelak kau pun akan menggemari dan menantikannya

Selamat menikmati sisa liburanmu bersama kerabat, dan keluarga besarmu

Jika memang nanti kita ditakdirkan lagi untuk berjumpa temu dan berbagi kisah seru, boleh jadi bibirku akan menyunggingkan satu senyum simpul  sembari tersipu-sipu 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bagus

Bagus: Lah aku enggak dijajanin? 

Bela: Enggak. Kan kamu yang ngejajanin. 

Bagus: Jajanin pakai uang kamu, ya? 

Bela: Patungan. 

Bagus: Bawa jajan aja dari warung. 

Bela: Abis acara bawa bekal, dah. 

Bagus: Bekal yang banyak. 

Bela: Ngerampok. 

Bagus: Entar aku bawa plastik sampah yang besar. 

Bela: Mantaf, tafff. 

Bagus: Udah gak random lagi? 

Bela: Nggak. Aku mah cepet sembuhnya. 

Bagus: Kirain masih random. Takut aku. 

Bela: Takut kenapa? 

Bagus: Takut kena semprot. 

Bela: Ooh, aku yang nyemprot, gitu? 

Bagus: Hiyaahh. 

Bela: Asdfghjklqwertyuiop. Red Flower. Red Day. 

Bagus: Sunday, Minggu. Monday, Senin. Tuesday, Selasa. Wednesday,  Rabu. Thursday, Kamis. Friday, Jumat. Sabtu, Saturday. Sunday  Minggu (ia menyanyikan sebuah lagu yang tak sendu).

 


______ •°~

Saat suaramu memang tak begitu bagus, tapi kenyataannya itu adalah sesuatu yang bagus, karena membuatnya tak bisa mengehentikan gelak tawanya. 

Seolah ada yang menggelitik, tapi apa. Tunggu, mungkinkah suaramu itu yang berhasil menggeletar dan masuk ke ruangan di dalam sana? 

Tapi itu tidak mungkin, kan? Suara hanya gelombang bunyi yang tidak dapat bergerak sendiri ke dalam suatu ruangan. Mungkin saja itu hanya sensasi pikiran atau perasaan yang tidak terduga. 

Baiklah, jikalau itu memang bukan apa-apa, kenyataannya itu adalah sebuah "apa".

Terima kasih banyak ya, Bagus. 


Ya, Bagus. Bukan namanya yang bagus, bukan pula Bagus namanya. Baginya, itu seperti sebuah merek kapur. Mungkinkah itu kapur ajaib di film animasi Chalk Zone? 




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setangkai Bunga

 


Bunga purple sapphire sendiri sebenarnya bukan benda atau entitas dengan filosofi yang mapan seperti batu permata atau simbol tertentu. Namun, jika kita mengaitkannya dengan filosofi yang umumnya terkait dengan bunga dan batu permata, warna ungu sering kali dikaitkan dengan kemewahan, kebijaksanaan, dan spiritualitas.

Purple sapphire sebagai batu permata ungu mungkin dianggap sebagai simbol kekuatan spiritual dan ketenangan pikiran. Warna ungu dalam banyak budaya juga dikaitkan dengan kedalaman, kebijaksanaan, dan keanggunan.


Bunga, aku senang jika menyimbolkan seorang wanita sebagai setangkai bunga. Entah karena aku yang menyukainya atau karena terpikat dengan keindahannya. 

Wanita yang tangguh dan indah, mirip dengan bunga yang kukuh di hadapan tantangan dan memancarkan keindahan dalam kelembutan. Seperti bunga yang tetap tumbuh di tengah badai, wanita tangguh memiliki keteguhan hati dan semangat yang tak tergoyahkan di dalamnya. Keindahannya bukan hanya terletak pada penampilan fisik, tetapi juga dalam kelembutan sikap, kebijaksanaan, dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan. Sebagaimana bunga yang mempesona dengan warna-warna dan bentuknya, begitu pula wanita yang mampu menyinari dunia dengan kepribadian yang bersinar dan kekuatan yang mendalam.

Dia adalah wanita yang seperti bunga, mekar dengan kebaikan dan kelembutan. Dalam setiap langkahnya, dia membawa aroma kesabaran dan kepedulian. Seperti bunga yang merangkul sinar matahari, dia menyebar kehangatan kepada orang-orang di sekitarnya. Kecerdasannya bersinar seperti embun pagi, memberikan kejernihan dalam setiap situasi.

Tangguhnya tidak hanya terlihat dalam senyumannya yang tabah di tengah kesulitan, tetapi juga dalam tekadnya untuk terus tumbuh, belajar, dan berkembang. Seperti akar bunga yang mencari jalan di tanah untuk mencapai sumber nutrisi, dia tekun mengejar impian dan tujuannya.

Namun, keanggunannya tidak membuatnya rapuh. Sebagaimana bunga yang melambangkan keindahan yang tetap utuh meski diterpa badai, wanita ini memiliki ketahanan yang mempesona. Dia tahu bagaimana menjaga keunikan dan integritasnya, bahkan ketika dunia berusaha membentuknya.

Dia seperti kelopak bunga yang mengembang dengan keanggunan, menghadapi cobaan hidup sebagai batang bunga yang tegar. Ketangguhannya bukanlah bentuk kekerasan, melainkan kekuatan batin yang mampu menghadapi badai dengan ketenangan. Kelembutannya bukanlah kelemahan, tetapi keindahan dalam memberikan kasih sayang dan dukungan kepada orang-orang di sekitarnya.

Seperti bunga yang mekar di berbagai warna, dia membawa keberagaman dan keunikannya ke dalam dunia. Keindahan karakternya menciptakan harmoni, sebagaimana bunga yang menarik perhatian dan memancarkan aura positif. Keberaniannya untuk tumbuh di tengah tantangan mencerminkan tekadnya untuk mencapai potensi penuhnya.

Wanita ini adalah pembawa harapan, mirip dengan bunga yang mekar di musim semi setelah musim dingin yang membeku. Dia tidak hanya menghadapi masa-masa bahagia, tetapi juga melalui kesedihan dan tantangan dengan kepala yang berusaha ia tegakkan, namun bukan sebagai ajang kesombongannya. Keelokannya tidak hanya terlihat, tetapi juga terasa dalam sentuhan hatinya yang penuh empati dan kepedulian.

Wanita ini adalah karya seni alam yang hidup, mengingatkan kita bahwa kecantikan sejati terletak dalam perpaduan kekuatan dan kelembutan, dan bahwa melewati segala musim kehidupan dengan martabat adalah tanda dari kebesaran jiwa yang sesungguhnya.

Wanita yang seperti bunga ini adalah keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara ketangguhan dan keindahan. Dia adalah bukti bahwa kecantikan sejati tidak hanya ada di permukaan, melainkan juga dalam kebijaksanaan, kebaikan, dan kemampuan untuk melewati berbagai musim kehidupan dengan kemuliaan dan kelanggengan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Minggu

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


"Maah... Ba Anis mau pulang...."
"Balek ajaa balekkk," kata Wulan.

Sepulang mengajar sore, aku langsung siap-siap. Ambil charger, sedia payung sebelum hujan (meskipun nggak yakin juga bakalan turun hujan). Bawa air putih juga, barangkali tiba-tiba haus di jalan. Ok, siap. Berangkat.

Keluar gerbang asrama, aku memperhatikan kendaraan yang jalan sebelum menyebrang. Malas aku, kalau memutar jalan lewat jembatan transjakarta, lebih baik nyeberang lewat pintu bawah halte. 

Setelah sampai di halte, beberapa menit kemudian busnya tiba. Alhamdulillah tidak perlu menunggu lama, dapat tempat duduk pula. Nikmat mana lagi yang aku dustakan? Mau membatin "Alhamdulillah, rezeki anak shalehah," eh tapi nggak pede juga. Jarang soalnya, shalehah mode on tapi kerjaannya manjatin pager.

Pukul 18.22 WIB aku tiba di Halte Juanda. "Udah di Juanda," pesanku via chat di grup whatsapp keluarga. 

"Tunggu di Manggarai," balas Idan. 

Tidak lama kemudian kereta datang. Syukurlah dapat tempat duduk. Sepertinya kepalaku migrain lagi. Nggak begitu pusing, tapi cukup membuatku bengong sepanjang perjalanan. Tanpa sadar sudah di Cikini. Aku terperanjat, untung saja belum terlewat. Bisa gawat kalau kebablasan seperti sebelumnya.

"Kak, di sebelah mana? Yang gerbong awalan apa akhiran?" tanyaku via video call.

Aku berjalan seraya menatap layar handphone. "Pojok yang awal," kata Idan. 

Seseorang dengan hoodie hitam melambaikan tangannya, panggilan video kami pun berakhir.

"Assalamualaikum ya akhi...."

Ia meraih tanganku,  "Wa'alaikumussalam." Adik yang baik. Siapa sangka lelaki bongsor ini dulunya adalah adik kecil imut yang menggemaskan.

Aku dan Idan ndopok. Semilir angin bertiup, melambaikan jilbab abu-abu silver yang aku kenakan. Kami berbincang-bincang, aku menunggu kereta tujuan Bekasi sembari selonjoran. 

Ah, malam yang cukup melelahkan, kepalaku masih sedikit pening, tetapi sudah lebih baik dari yang tadi. Karena tidak dapat tempat duduk, kami berdiri sampai stasiun Bekasi. Setibanya di Bekasi, kami berjalan kaki ke tempat parkiran motor. 

"Mba Anis tunggu sini aja," kata Idan, kemudian ia masuk ke tempat parkiran motor di sebelah stasiun. Aku berdiri di luar memperhatikan ibu-ibu penjual masker. Karena tidak sadar akan keberadaan adikku, Idan melambaikan tangannya tepat di hadapan wajahku. 

"Eh, ojeknya udah ready," jawabku seolah tanpa dosa. 

"Huh, dari tadi kek. Ayo naik." Aku membonceng di belakangnya deh. 

Ya, malam minggu di jalanan naik motor dan sepertinya akan turun hujan. 

"Dan, di rumah udah ujan belom, sih? Aku mencondongkan kepalaku dan berbicara di dekat telinganya. 

"Ah, Asri mah kaga ujan."

"Tapi waktu itu di medsos Bekasi sudah turun hujan, kok."

"Iya itu Bekasi, bukan Wisma Asri."

"Lah, kok bisa?"

"Hujannya cuma di Bekasi, tapi pas bagian Wisma Asri air hujannya udah abis." Bisa gitu. Ada-ada saja. 

Tiba-tiba tetesan air langit membasahi telapak tanganku. "Bang, hujan tauk. Nih gerimis tipis-tipis." Suka random memang, kadang dia kupanggil kakak, di lain waktu abang. Sekeluarnya kata yang keluar dari mulutku saja. Iya, begitu. 

"Iya hujan, tapi ini kan Summarecon. Sampe Asri airnya udah abis, dah."

"Bang, ada kaga ye, orang kehujanan di motor pake payung? Abang bawa jas hujan nggak?"

"Ada. Tanggung, udah terobos aja." Ah, aku keluarkan saja payung yang ada di dalam tas. 

"Eh iya, susah kebukanya ya, pakai payung," Karena kecepatan laju motor, anginnya semakin kencang, jadi susah membuka payungnya. 

"Nggak enak tauk, air hujannya ngenain kepala. Jadi bletak-bletak." Tetesan air hujan semakin deras. Aku hanya menutupi kepala dengan payung yang tidak terbuka lebar. Nggak mau mekar payungnya. Suek bener, dah. 

Sesampainya di Duta Harapan air hujannya mulai menghilang. "Kan, ini aja udah di Duta, sampe Asri air hujannya udah abis bakalan." Aku malah ikutan setuju dengan asumsi si Idan. Kok bisa seperti itu? 

Lah, tiba-tiba langitnya nggak terima atau bagaimana, ya. Hujannya semakin deras, mau menunjukkan jati dirinya, kalau dia punya kekuatan dan tidak selemah itu. "Dan, jalannya jangan kenceng-kenceng. Ba Anis mau pake payung nih, kalau kecepetan dia kuncup, susah kebukanya." Alhasil, beneran dong, kita naik motor di bawah payung yang menyangga air hujan. Eh, tapi kok rasanya jadi seneng gitu, ya. Beneran deh, kayak ada sensasi yang membahagiakan, gitu

"Kak, nggak usah dipegangin payungnya. Nyetirnya dua tangan aja."

"Lah, payungnya nutupin mata." Seketika itu kami tertawa. 

Payungnya agak aku naikkan sedikit posisinya dan aku memegangi erat kerangka besinya agar tidak terbang. 

Sesampainya di depan rumah aku cekikikan, "Maah, ini anaknya pulang naik motor pakai payung." Ibuku hanya tersenyum. 

"Assalamualaikum Mamah...," aku meraih tangannya yang agak keriput itu. "Di rumah sebelumnya sudah hujan belum, Mah?" tanyaku. 

"Wa'alaikumussalam. Tadi siang hujan kok, pas Mamah ngaji." Ibuku biasa mengikuti pengajian mingguan di hari Sabtu. "Lumayan deras kok, Mamah lihat dari masjid, hujan."

"Assalamualaikum." Aku masuk ke dalam rumah, di kursi kasir warung aku menyalami tangan ayahku. "Papah... ini anaknya pulang kehujanan naik motor, tapi pakai payung."

"Wa'alaikumussalam. Anis sehat?" Alhamdulillah sudah hilang migrainnya. Ayahku pun sehat. Senangnya keluargaku dikaruniai rezeki kesehatan. 

Niat awal mau beli mie tek-tek, karena hujan,  tidak jadi, deh. "Mah, masih ada nasi, Mah?" Laper euy, tadi sore sebelum perjalanan baru makan roti gulung keju Aoka. 

Nasi masih ada, hanya saja lauknya yang tinggal sedikit. Sayur asemnya tinggal kuah beberapa sendok doang paligan, tuh. 

"Kak, Ba Anis mau goreng nugget, mau juga?" ia yang sedang sibuk membuka bungkus paketan manggut-manggut saja. 

"Mau bikin nasi goreng nih, sekalian nggak?" aku menyodorkan senampan kecil nasi putih yang akan kumasak, "Makannya banyak nggak, mau digoreng semua nih, nasinya?"

"Iya, gak papa." ia sedang memasang keran air di kamar mandi. 

Dengan bumbu seadanya, dan dua buah cabai saja (aku tidak begitu suka pedas) aku buat nasi goreng, dan di kompor satunya aku menggoreng nugget. 

Karena sibuk mengaduk-aduk nasi, aku lupa mengangkat gorengan dari minyak panas. Yah, nuggetnya gosong deh. 

"Kak, nasgornya dah ready, tapi nuggetnya sebagian gosong, nih."

"Nggak apa-apa. Dipotong-potong aja nuggetnya terus campurin ke nasgor, biar nggak keliatan banget gosongnya."

"Mau makan barengan nggak?" tanyaku seraya menyiapkan piring yang agak besar. 

"Iya."

Syukurlah, setelah kehujanan di perjalanan, lalu makan malam bersama, rasanya nikmat sekali. Entah karena memang sedang lapar, atau memang karena keberkahan dari kudapan yang disantap bersama. Yang jelas, setiap harinya pasti akan ada kenikmatan yang Allah berikan kepada setiap hambanya selama ia mensyukurinya. Alhamdulillah 'ala kulli hal

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Alunan Melodi-Melodi Kesederhanaan

 


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Katanya, dengan kesederhanaan hidup kita akan dapat menemukan jati diri. Ada yang suka minum teh, ada yang suka kopi, walaupun berbeda tetapi tetap satu meja. 

Meskipun memiliki preferensi yang berbeda, kebersamaan di atas meja yang sama menunjukkan keragaman sebagai kekayaan hidup. 

Dari cangkir-cangkir itu, kita berbagi cerita, tawa, dan kehangatan, mengikat ikatan yang menguatkan makna hidup ini. Ya, bagaimana memberikan arti pada hidup yang singkat ini. 

Dalam kesederhanaan, kita menemukan jati diri yang sesungguhnya, yang tidak sekadar terikat pada minuman pilihan yang terhidang di hadapan mata, tetapi ini juga tentang ikatan batin yang kita jalin dengan sesama.

Jati diri yang timbul dari kesederhanaan bukan berarti tak berkualitas, banyak dari mereka yang tumbuh menjadi produk hebat dan unggul dari kesederhanaan. 

Di balik tirai kesederhanaan, tersembunyi keajaiban yang tak terperikan. Seperti halnya air yang mengalir di lembah yang tenang, jati diri yang muncul dari kesederhanaan itu menyerupai kejernihan yang memikat hati. 

Mereka yang tumbuh dari keadaan yang terbatas, dengan cermat mengukir karya-karya yang abadi, menandai jejak keberadaan mereka di kancah kehidupan ini. 

Dalam setiap langkah yang mereka pilih, terpampang bukti-bukti gemilang tentang ketekunan dan ketulusan hati yang menjadi landasan dari pengejawantahan mereka.

Kesederhanaan bukanlah pangkal rendah, melainkan panggung yang menjunjung tinggi kemurnian jiwa dan daya cipta yang tiada tara.

Semakin sederhana seseorang, semakin sederhana pula ekspektasinya pada kebahagiaan. 

Sederhana bukan berarti minim, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang membebaskan jiwa dari belenggu ambisi tak terbatas.

Dengan ekspektasi yang lebih sederhana, mereka mampu menemukan kebahagiaan dalam keadaan apapun, terhubung dengan inti kehidupan yang sejati.

Dalam kesederhanaan, terdapat kebebasan untuk menikmati kehidupan tanpa beban, merangkul setiap momen dengan kedamaian batin yang tak ternilai. 

Dari sana, muncul kebijaksanaan untuk mengenali keindahan yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan kesederhanaan, menghadirkan kedamaian yang tak tergoyahkan di dalam jiwa.


#alhamdulillah 

#liveourlife

#dinein 

#drink 

#blessedlife



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Duri Perbaikan Diri


Adakalanya, sebab terlalu mengistimewakan sesuatu yang jauh, yang berada tepat di hadapan mata pun nampak buram. 

Sampai-sampai, tanpa tahu dan tanpa sengaja terlewatkan oleh pandangan mata. 

Kehidupan akan terus berjalan maju, yang berlalu hanyalah sebuah atau beberapa buah kenangan masa lalu. 

Apa yang kita lakukan, disadari ataupun tidak, manalagi karena memang sengaja, sangat mungkin menjadi duri di hati seseorang. 

Duri-duri kecil, kemudian menjadi gundukan besar.

Barangkali dapat menjadi lebih besar, atau menjelma sebesar apa lagi nantinya. Tak bisa diterka, tiada terkira. 

Hati manusia sebenarnya sangatlah lembut.

Setiap orang pun pada dasarnya baik, sebagaimana seorang bayi yang lahir dalam keadaan suci. 

Lalu, bagaimana dengan dia atau mereka yang sebaliknya? 

Bisa jadi emosinya sedang bergejolak, goyah pertahanannya. 

Egonya menjadi kabut, kemudian naik ke atas langit menjadi awan gelap. Kelabu itu semakin pekat. 

Apakah ia lelah? 

Entahlah. Ada kalanya manusia berada pada titik di mana ia tak kuasa mengendalikan diri, meskipun ia tahu betul laku apa yang telah diperbuat adalah keliru.

Mengakui kesalahan. Ya, seringkali terbesit rasa bersalah namun enggan untuk mengakuinya. Apalagi memenungkannya? 

Malah mencari-cari sejuta alasan sebagai pembelaan.

Bahkan berkata-kata dengan nada meninggi sebagai bentuk pertahanan. 

Atau berbicara dengan nada biasa, namun bahasanya kentara tak elok, terlebih benar-benar tak ramah di telinga. 

Konon, pekertinya tak sedap dipandang maupun dirasa pula. 

Lantas, bagaimana dengan kemaslahatan di ujung jalan sana? 

Apakah nasib dari sebuah perbaikan diri menempati posisi terendah dari tangga pijakannya? 

Pecah sudah. Meminta maaf pun termasuk perlakuan yang sulit kah? 

Memohon maaf cukup sederhana sebenarnya, tapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu. 

Ada hati lain yang cedera karena tingkah langkah maupun perangai kita. 

Butuh waktu untuk sembuh, perlu waktu untuk pulih. 

Kendati waktu tak bisa diandalkan seutuhnya.


Kedoya, 31 Agustus 2023

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS