Seperti biasa, angin malam berembus seperti biasanya. Pepohonan rindang, dedaunan yang terbang dengan bebasnya. Ini bukan puisi, tapi kata hati.
Jembatan itu, nampak berkilauan. Cahaya di ujung sana, apakah itu kau, Mentari? Bagaimana mungkin kau tampakkan dirimu di malam ini? Atau sekadar halusinasi?
Sepertinya kau tersenyum ramah, seperti biasanya. Tapi, ada berjuta tapi yang berkata itu hanya bayang-bayangku.
Mentari, bolehkah aku merindukanmu? Aku ragu, bahkan rupamu seakan meredup dan hampir lenyap.
Cahaya di ujung sana, ujung jembatan itu hangat seperti dirimu. Kehangatan tersembunyi di balik kabut yang lembab. Kau hangat, tapi warnamu sama sekali tak menorehkan aroma jingga. Kau biru abu-abu.
Mentari, kucoba menepis kerinduan ini, tapi apalah daya. Bagai hembusan polos yang muncul sendirinya dan tanpa dosa. Mentari, apakah kata "selamat tinggal" atau "sampai jumpa" yang menjadi akhirnya nanti, aku belum tahu.
Sepertinya kau tersenyum ramah, seperti biasanya. Tapi, ada berjuta tapi yang berkata itu hanya bayang-bayangku.
Mentari, bolehkah aku merindukanmu? Aku ragu, bahkan rupamu seakan meredup dan hampir lenyap.
Cahaya di ujung sana, ujung jembatan itu hangat seperti dirimu. Kehangatan tersembunyi di balik kabut yang lembab. Kau hangat, tapi warnamu sama sekali tak menorehkan aroma jingga. Kau biru abu-abu.
Mentari, kucoba menepis kerinduan ini, tapi apalah daya. Bagai hembusan polos yang muncul sendirinya dan tanpa dosa. Mentari, apakah kata "selamat tinggal" atau "sampai jumpa" yang menjadi akhirnya nanti, aku belum tahu.
0 komentar:
Posting Komentar