Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon
Tampilkan postingan dengan label Days by Days. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Days by Days. Tampilkan semua postingan

Galata Kulesi

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan (Book 4)


"Masa depan itu ada dua, masa depan yang dekat dan masa depan yang jauh." Aku ingat betul perkataan abah, tapi sayangnya lupa kapan penjelasan itu dikatakan. Pas ngaji setelah Maghrib di masjid bukan, ya? Aduh, lupa nama pengajiannya, pula. 

Khansa sepertinya bikin cerpen baru. Klik status dan baca ceritanya, ah. 

"Bacanya sambil mikir-mikir maksud terselubung. Benar gak ya, yang kupikirkan?" dengan fitur "balas" dari status tautan blogspot itu, aku mengirimkan pesan pribadi kepadanya. 

"Eh, Emak. Tahu aja. Kayaknya dugaanmu benar," padahal aku juga kurang yakin. 

"Asyik..., selamat ya." Toh memberi selamat kan tidak ada salahnya. 

"Eh, apanya yang asyik, nih? Takut salah paham," pesannya diikuti dengan emot malu-malu. 

"Asyik apa ya? Gak tahu. Hehe."

"Emak masih di Trenggalek?" 

"Iya. Mau pulang ke Brebes tapi belum boleh mulu, nunggu 3 bulanan." Melahirkan di tempat mertua memang agak asing, tapi untunglah ibu dari suamiku sangat pengertian dan penyabar. Betapa beruntungnya punya dua ibu yang sangat baik. 

"Adaww, bakal rindu Pipin banget akutuhh." Anak yang satu ini memang seenaknya sendiri, kalau memberikan nama panggilan. Biar unyu-unyu katanya, tanda panggilan kesayangan. Ada-ada saja, kan? 

"Eh, kamu baca chat di grup?" Semoga dia baik-baik saja. 

"Baca. Makanya tautan blog yang sudah kukirim, langsung kuhapus." Khansa, paling hobi kirim emot pakai kacamata hitam, deh. 

"Sabar ya Neng. Tapi siapa tahu aja kamu yang dimaksud," nggak ketinggalan emot rotfl-nya. Bukan bermaksud mengejek loh, hanya menggoda saja. 

"Ya..., akumah ngefen sama dia, berdoa yang baik, semoga dia dan pasangannya kelak (siapapun itu) hidup berkah dan bahagia.... Dia orang baik, pantas mendapatkan yang baik...."

"Soswit banged si kamu hha."

"Ea ea... Salam buat dede shaleh, ya."

"My switi dah tidur pulas dan emaknya batuk-batuk terosss."

"Abis radang ya? Biasanya abis radang, batuk akutuhh." Oh iya, kemarin aku chat dia, tanya obat radang tenggorokan. 

"Nggak say, yang radang kemarin tuh suami."

"Owalah... daning mamake melu-melu bengek?" Untungnya cuma pesan Talktalk, kalau ngobrol langsung, malas dengar logat ngapak-nya yang nggak pantes itu. Dasar anak Jawa yang numpang lahir doang, hidupnya ya, di ibukota. 

"Lagi musime kayane. Perubahan cuaca, jadi banyak yang kena flu."

"Yaudah, Pipin istirahat. Doain aku ya, semoga akhir tahun ini... *angkat tangan mode khusyuk doa dalam hati. :)"

"Semoga semakin terang benderang. Amin, apapun doanya, aamiin ya Rabb."

Aku jadi teringat ceritanya tentang tiket menara Galata yang diberikan pria itu kepada Khansa. 

"Pipin aku ke bawah dulu ya," kebetulan kami sekantor, "Mau ke pos keamanan, ambil paketan." Dan kantor kami berada di lantai 2.

"Paketan mulu nih."

"Tapi bukan paketan kayak biasanya," ia pun berlalu. 

Hmm, nggak seperti biasa? Bukan belanjaan online, dong? Raut wajahnya sumringah sih, tapi kok kayak ditahan gitu, ya? 

"Pipin aku malu. Tapi jangan ngetawain aku juga, ya?" Pasti dia begitu, "Aku seneng, tapi harus biasa aja, gak boleh ge-er."

"Echiye..., paketannya spesial, ya?"

Berhubung beberapa teman kami bersekolah di luar negeri, Khansa minta oleh-oleh pasir pantai, dedaunan kering ataupun bebatuan kepada salah satu dari mereka yang ingin pulang ke tanah air. Mau dibuat kreasi, spesial ala negeri nan jauh di sana. Dari negeri mana saja, yang penting luar negeri. 

Karena Mr. X yang ia mintai tolong tidak bisa membawakan pesanan tersebut, sebagai gantinya, pria itu memberikan beberapa hadiah kecil, salah satunya adalah tiket menara Galata. 

Sejak SMA, Khansa senang dengan hal-hal yang berbau Turki. Tidak berlebihan juga sih, cuma iseng. Dia membuat cerpen dengan setting Turki berikut cuplikan dialognya, itupun sekadar hobi. Tapi kali ini, kebahagiaan mana lagi yang mau ia dustakan coba, setelah mendapatkan tiket menara Galata itu? 

Galata kulesi? Galata tower? Oh dear, I dunna what was in your oun mind and what was you thinkin' about. But I think you was happy enough.
 
Sang pemberi paket memang tidak menuliskan apapun kecuali nama serta alamat penerima dan pengirimnya, tapi ia berkata "Gelecek ablam inşallah," di pesan pribadi setelah Khansa mengucapkan terima kasih karena paket tersebut telah ia terima. 

Aku sempat kaget dengan arti pesannya. Walaupun tidak paham betul dengan bahasa Turki, tapi sepertinya aku tahu maknanya. Khansa pun tahu, bahwa gelecek adalah masa depan atau suatu saat di waktu yang akan datang, sedangkan ablam berarti panggilan kakak perempuan atau bisa dibilang "Mbak". Khansa bisa sedikit-sedikit percakapan dengan bahasa Turki, tapi alakadarnya. Sebatas salam, ataupun percakapan untuk dialog di dalam cerpennya. 

Kalau hanya sebaris kalimat begitu, penafsirannya aku masih ngawang-ngawang. Bisa diartikan "Insyallah kamu (pr) adalah masa depanku" atau mungkin "Semoga kelak kau dapat mengunjunginya". Kurang lebihnya wahua a'lam, tergantung bagaimana konteksnya juga, sih. Tapi harapanku, keduanya adalah arti yang dimaksud si pemberi pesan. Manis sekali bukan? Masa depan bersamanya dan berkunjung ke menara Galata, pula. 

Setelah prosesi lamaran, dulu Khansa pernah iseng bertanya, "Pin, kalau menikah nanti, kira-kira kamu mau pernikahan yang kayak gimana?" 

"Yang simpel aja," jawabku singkat, "Semampunya suami aku. Kalau kamu?"

Tanpa perlu lama berpikir, ia langsung menjawab, "Sederhana aja, yang penting para tamu disambut dengan baik, bisa makan suguhan halal dan enak." Setuju banget soal makanan enak. Hmm, sesuatu yang enak nggak mesti mahal, kan? 

"Oh ya, kalau suatu saat nanti kamu beneran diajak mampir ke Galata?" 

"Ke Galata kok mampir," ia melepas kaca matanya (bukan silinder, minus ataupun anti radiasi, itu kacamata imitasi, hanya dipakai kalau sedang bekerja di depan layar komputer) "Kayak ke Pasar Impres aja." 

"Barangkali. Rezeki mah, siapa tahu."

"Kalau gratisan, mau. Kalau bayar, mending ditabung buat biaya pendidikan anakku nanti. Ya, kalau umurku sampai, itu juga. Kalau ada umur dan kelebihan rezeki, boleh lah, tadabbur sambil refreshing." 

"Aseek. Gue suka gaya lo!"

"Yomare. Yang penting berkah."

Rezeki, jodoh, kematian, semuanya sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, kita sebagai manusia, sekadar berusaha melakukan yang terbaik untuk menghadapi ketetapan tersebut.

"Masa depan yang dekat dan masa depan yang jauh. Kalau sudah dipertemukan dengan masa depan yang dekat yakni kematian, mana mungkin bertemu dengan masa depan yang jauh yaitu pernikahan. Kematian adalah hal yang pasti, oleh karena itu ia menjadi masa depan yang dekat, sedangkan pernikahan adalah hal yang sebaliknya." Begitulah kurang lebih dawuh Abah Hasyim di pengajiannya.

Diperkenankan menemui masa depan yang jauh adalah karunia yang patut disyukuri. Masa depan itu layaknya ladang, harus dimanfaatkan sebagai sarana bercocok tanam, demi mendapatkan hasil yang baik untuk dijadikan bekal dalam menghadapi kepastian di suatu hari nanti. Wallahu a'lam. 

49 Days (Book 1)
Nenek Daun (Book 2) 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cangkang Kerang

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan 
(Book 3)

Ketika kau mengatakan bahwa ajisai dan bunga-bunga di taman Kairaku punya kebutuhan yang sama, tapi mereka memiliki perawatan yang berbeda, dan akhirnya, setelah sekian lama kau menghabiskan waktumu dengan mereka, kau harus membuat pilihan. 

Dilema, antara pilihan memotong tangkai untuk menghasilkan sesuatu yang indah namun akan bertahan sebentar saja, atau mengagumi keindahan mereka dengan membiarkannya tumbuh subur secara alami. 

Apa benar, kau melupakan, kau menjauh?  Mengapa mimpi-mimpi itu ada? Penafsiran dan maksudnya juga belum kuketaui. Mungkinkah itu semua sebenarnya bukan sesuatu yang berarti? 

"Ra, kamu lagi mikirin apa, sih? Kok kayaknya akhir-akhir ini sering melamun?"

"Nggak apa, Sa. Cuma lagi menghayal. Kebayang nulis cerpen baru," aku tahu senyumanku tidak alami di matanya, tapi setidaknya itu sedikit meringankan perasaanku, "Tapi ini melow. Sesuatu yang terlupakan."

"Kamu habis ngapain deh, sampai imajinasinya soal begituan?"

Aku menghela napas, "Nggak tahu, ini imajinasi atau akunya aja yang lagi baper."

Sania mengambil kotak pernak-perniknya. "Kamu perhatikan cangkang kosong ini, Ra." Cangkang kerang? Itu diberikan neneknya setahun lalu sebelum beliau meninggal.

"Aku sempat berpikir ini cuma sebuah tubuh kosong yang pernah memiliki kehidupan," dia gemar mengoleksi benda seperti itu. "Cangkang seringkali diabaikan, terlupakan, dan ditinggalkan. Tapi segala sesuatu memiliki kisahnya, bahkan setelah kehidupan meninggalkan cangkang itu, masih ada sesuatu yang indah darinya," ia meletakkannya di telapak tanganku. "Walaupun penghuninya sudah tak bersamanya lagi, tapi cangkang ini aku yang menyimpannya." Dia mengubah cangkang itu menjadi lebih indah.



"Sa, mungkin nggak, yang terlupakan atau sedang pura-pura dilupakan itu, indah di mata yang lain?"

Ia tersenyuym, "Walaupun di mata seseorang sesuatu itu tidak dianggap indah, pasti ada mata lain yang menganggap sebaliknya. Bahkan lebih dan sangat berarti.

"Melankolis. Kayak lagi ngedrama aja, ya?"

"Ya nggak apa."

"Tapi kalau mata lain itu belum ketemu?"

"Masih ada mataku, kan?" Ah, candaanmu itu tidak lucu, tapi cukup membuatku terharu. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nenek Daun

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan (Book 2)

Sepertinya Salza terlampau lelah. Seharian ia mengerjakan laporan untuk dua instansi. 

"Teh Mita, Salza minta dibangunin jam empat katanya kalau tidur-tidurannya jadi tidur beneran." Semoga setengah jam cukup buat dia istirahat. 

"Iya Ki, nanti aku bangunin." Semilir angin merembes masuk melalui pintu balkon kamarku, sore ini sepertinya akan turun hujan. 

Sejak seminggu lalu ia sering mengigau, sesekali merintih. Badannya pasti kelelahan, biasanya begitu. 

Aku teringat mimpinya, tumben-tumbenan ia bercerita. 

"Teh, aku mimpi, tapi jelas, padahal biasanya setting dalam mimpiku itu berantakan. Pindah-pindah gitu, Teh."

"Eh, mimpi apa kamu, Sa?"

"Mimpi nenek di masjid," wajahnya masih polos seperti biasanya. 

"Nenekmu, Sal? ia menggeleng lalu tersenyum. 

"Bukan, Teh. Nenek nggak dikenal." Ah, beruntung sekali, pantas saja kamu beberapa kali dipanggil "dek", coba mereka tahu berapa usiamu. "Teteh, dengerin ceritaku, ya?"

"Sok, atuh."

"Sepertinya waktu itu siang hari. Nggak tahu kenapa tiba-tiba aku masuk ke pekarangan masjid yang sepi dan hanya dipenuhi dedaunan di tanah."

"Kamu sendirian, Sa?"

"Ada nenek nggak dikenal. Nenek itu mungutin dedaunan, padahal jumlahnya banyak dan berserakan di pekarangan."

"Cuma berdua berarti?"

"Sepertinya begitu, nggak ada orang lain soalnya," ia menghela napas sejenak, "Lihat daunnya, aku males banget Teh, tapi nenek itu mungutin satu-satu, mulutnya komat-kamit apa gitu, nggak kedengaran, posisi kami masih berjauhan. Lalu daun yang diambilnya dari tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik besar."

Salza mencari sapu, setelah menemukannya di pojokan gudang, ia menghampiri nenek tadi.

"Jangan, jangan pakai sapu lidi!" 

"Tapi dedaunannya banyak sekali, Nek. Lebih cepat pakai ini," sembari melakukan gerakan menyapu. 

"Nak, biarkan saya melakukan ini sendiri."

"Tapi nanti Nenek capek, Nek."

"Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?" tanya si nenek sambil merebut pelan sapu lidi itu dari tangan Salza. 

Katanya, mendengar ucapan nenek itu, seperti ada yang menusuk di sanubarinya. Bukan hanya Salza, aku yang mendengar ceritanya pun merasakan hal yang sama. 

Salza terdiam cukup lama setelah mendengar perkataan si nenek, tubuhnya terasa kaku. Ia hanya bisa memandangi nenek tua yang memungut daun seraya mengucapkan "Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa 'ala ali sayyidina Muhammad," lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik besar. 


Inspirated by: 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

49 Hari

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan 
(Book 1)

Layar komputerku masih menyala. Ah, sedikit lagi. 

"Saya sangat senang karena kamu nggak kabur, panik, atau punya permintaan yang aneh-aneh, tapi...," diam, aku memerhatikan sosok berjubah hitam di hadapanku, "Kamu sadar kan, setiap kali saya ingatkan kalau waktumu terus berkurang?"

"Saya ingat kok, tinggal 49 hari lagi Tuan Malaikat."

"Karena itu saya harap kamu berpikir untuk terus berbuat baik, tanpa memusingkan perkara yang kurang perlu."

"Baik. Saya mengerti." Kok duduknya jadi formal begini, biasanya juga santai. Ah..., ini canggung atau sikap siap siaga, ya? 

"Kamu ingat, kapan terakhir kali benar-benar berniat untuk berbuat kebaikan?"

Aku malu, "Ah, itu nggak..."

"Itu maksud saya."

"Siap. Saya mengerti, Tuan Malaikat."

Aku tidak tahu mengapa memanggilnya dengan sebutan itu, sepertinya karena suara Tuan Malaikat terdengar agak berat. Sudah menjadi kebiasaan dan ia tidak mempermasalahkannya. 

"Maaf ya Sa, saya nggak mau waktumu sia-sia begitu saja."

"Nggak apa-apa. Saya yang membuat kamu kesulitan ya, Tuan Malaikat?"

"Eh, saya sih nggak, tapi..." dia menunjukkan sesuatu di telapak tangannya, "Si Shahih jadi buncit karena tidak ada kerjaan. Kamu nggak berbuat baik, dia jadi gabut." 

Kaget, "Hah, memang dia bisa buncit juga? 

Makhluk kecil berjubah merah memandangi teman di sampingnya yang mengeluarkan sesuatu dari balik jubah putihnya. 

"Nggak ding, itu kertas dari buku catatannya yang dia sumpal ke perutnya," bisa-bisanya bercanda seperti itu. Kok, kesal yah? "Jangan salahkan saya, habis kamu nggak memberinya sesuatu untuk dicatat, sih."

Makhluk itu disebut Shahih yang artinya benar karena tugasnya mencatat kebaikan, perbuatan baik yang aku lakukan. Sedangkan yang berjubah merah di sampingnya bernama Khata yang berarti salah, ia memiliki tugas kebalikan dari apa yang Shahih lakukan. Mereka sama-sama mengenakan jubah, hanya saja berbeda warna dan ukuran. Shahih dan Khata berukuran kecil, sedangkan Tuan Malaikat berukuran tinggi dan besar. Aku tak dapat melihat bagaimana wajah di balik jubah tersebut, yang dapat kusaksikan hanya jubah dengan tudung kepala, itu saja.


Inspirated by: 90 Days

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS