Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Gak Ada Oreg, Gak Asik

 Bismillahirrahmanirrahim 

Hidup ini hampa tanpa adanya tempe. It's not "lebay mode on" ya, karena tempe  sudah mendarah daging. Eciyee. 

Oh ya, jadi inget. Dulu banget pernah tuh, reuni online di komentar catatan faceb**k, eh ada temen yang berandai beta berada di surga sejarah itu (eyaks, mentang-mentang dia anak tarikh, gitu?), mau diajak ke seminar Bunda Pipiet (Pipiet Senja) katanya. Aduh, senangnya. Tapi maaf, lokasi Anda sangat jauh dijangkau diriku ini, wkwkwk. Enak ya, mampir ke negeri orang, join seminar penulis senior lagi. Heuhh, tapi tuh gak kebayang "Apakah sayyaa bisa menemukan tempe di sanaa?" Wadidau, harga tempe lebih mahal dari daging, pemirsa. 

Yups, udahan ah nostalgianya. Sekarang mau masak tempe dulu. Bikin oreg. Oreg mingguan. 


Nah, karena beta di asrama yang cuma ada kompor kemping (punya teman itu juga), tempenya pesan di ibu penjual nasi biar nggak ribet, kasih bumbu sendiri, deh. Nama si ibu adalah Bu Golok. Laqab (julukan) ya, guys. Bu Golok tuh yaa, kayak ibu banget, aka bunda. Bunda Golok, euyy. 

Eetdeh. Malah cerita lagi. Yuk, yuk ah, masak sekarang. 

Bahan-bahan yang diperlukan

1. Tempe 

2. Garam

3. Bawang merah (lupa deh, ada kali 9 siung-kecil bawangnya) 

4. Bawang putih (3 siung) 

5. Bumbu penyedap

6. Daun sereh

7. Daun jeruk 

8. Daun salam 

9. Kecap manis

10. Kunyit bubuk

11. Lada bubuk

12. Kencur bubuk

13. Ketumbar bubuk

14. 1 sendok teh minuman jahe (alternatifnya gula, ++ jahe lumayan) 

15. Minyak goreng 

Hmm, apa lagi ya? Kayaknya udah. Hahai, mau bikin oreg apa jamu, rempah-rempahnya banyak amat. Maap-maap nih pemirsa, kata nyokap, rempah-rempah itu ada manfaatnya semua. Iya Bunda, aku percaya. Untung beta doyan rempah-rempah, ampe teman sekamar njulukin "Mbak Rempah-Rempah". Tapi sesuai selera kok, bumbu dasar oreg ya bawang, kecap dan penyedap. Pakai cabai kalau suka pedas. Tapiii, beta yang manis nan imut ini tak syuka pedas, loh. Awokawokawokk. 

Pertama-tama, baca basmalah sebelum masak (bahan-bahan yang mau dimasak dicuci bersih dulu ya, kecuali tempe gorengnya). Nah, bawangnya bisa ditumbuk/dicincang. Panaskan minyak goreng di wajan, next masukkan rajangan bawang, daun salam, daun jeruk dan sereh yang sudah digeprek. Setelah tercium bau harum, taburkan kunyit bubuk dan ketumbar bubuk secukupnya, aduk rata, kemudian tambahkan potongan-potongan tempe goreng. Oseng-oseng tempe oregnya sesuai kematangan yang diinginkan, jangan lupa tambahkan garam, kecap, bumbu penyedap, satu sendok teh serbuk minuman jahe (sebenarnya itu ngalap gulanya, tapi ++ jahe gitu biar anget). Beta cantumkan bubuk lada dan bubuk kencur di daftar ingredients karena iseng. Sedikit doang kok, sedikiiit banget naburinnya (biar masakannya kaya akan rempah-rempah, soalnya beta suka lada dan kencur, sih). Kalau gak suka jangan dicampurin, dong yaa. 

Beta suka yang garing gitu guys tekstur tempenya, biar tahan lama. Kalau nggak suka ya jangan lama-lama dimasak. 

Well, setelah matang bisa diangin-anginkan sejenak, kemudian simpan di toples or wadah lain, buddy

Tadda! Itu penampakan si orek yang baru matang. Daun serehnya menjuntai gitu, ih. Serehnya muda jadi gitu penampilannya. Beda model kalau dia udah jompo. 

Bang, bang, bang! Itu pajangan guys. Niatnya tuh ya buat masak oreg, tapi karena belinya kebanyakan si sereh keburu jompo duluan. Usianya sekitar 3 bulan. 

Eh, eh, kalau itu penampakan sereh pas baru dibeli tanggal 26 September 2020 dan kondisinya satu bulan kemudian. Ampe tumbuh daun gitu. Ahahahai. 

Bim salabim abrakadabra! Tiba-tiba si sereh berubah jadi bunga, deh. Awokawokawokk. Tapi bohong. 

(๑^っ^๑)

Oh ya, beta mau tunjukkan bumbu-bumbu dapur dan bumbu penyedap di balik keberhasilan pembuatan oreg ini. 

Okedeh. Cukup sekian cerita si oreg. Yups, gak ada oreg, mana asik? Secara, itu lauk sehari-hari. Terima kasih sudah mampir, guys. Ila liqa ma'a salamah ٩(^ᴗ^)۶


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Detik-Detik Menjelang Kepergian Abah Yai Noer Muhammad Iskandar

Bismillahirrahmanirrahim 

Paska operasi, keadaan Abah masih lemah, jadi kami diminta melanjutkan mujahadah. Dari waktu Duha, santri dan asatidz diminta untuk berkumpul di masjid juga mushalla untuk membaca yasin dan shalawat untuk Abah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. 

Entah kenapa, saya ingat ketika Aliyah mondok di Al-Hikmah diminta mujahadah untuk almaghfurlah Abah Masruri yang sedang sakit di Mekkah. Hati saya berdebar-debar. Suasana mendung, gerimis, membuat kami hanyut dalam kepasrahan kepada-Nya. Kami santri-santri Abah Noer berharap yang terbaik, semoga Abah dapat sehat kembali. Kurang lebih pukul sebelas siang, kami dipersilakan istirahat di kamar masing-masing kemudian persiapan salat Dzuhur dan melanjutkan mujahadah. Sesampainya di kamar, saya cek kabar terbaru di grup Whatsapp. Beberapa masih stay di masjid, dan Abah diperdengarkan voice note anak-anaknya di masjid. "Masyallah, Abah respon kuat dengar anak-anak baca Yasin," komentar Gus Mahrus di grup. Alhamdulillah saya jadi agak sedikit lega, walaupun masih deg-degan. Karena sedang halangan, saya menunggu di kamar, tapi nanti ke masjid lagi. 

Setelah salat Dzuhur semuanya diminta untuk melanjutkan mujahadah. Tiba-tiba rekan saya masuk ke kamar sembari menangis sesenggukan, "Teh, Abah meninggal, Teh... " Saya langsung cek hp, memastikan. "Innalilillahi wainna ilaihi roojiuun mohon maaf segala kesalahan Murobbi Ruuhina telah kembali kepada Allah swt pukul 13:41 siang ini beliau ahli surga husnul khotimah insyaAllah." Membaca chat yang dikirim Gus Masrus sendiri di grup, saya syok. Seperti setengah sadar saya bergegas menuju masjid. Saya dan rekan saya duduk di emperan. Para santri dan asatidz masih membaca yasin. Beberapa menit kemudian diumumkan bahwa Abah telah tiada. Sontak seisi masjid menagis sesenggukan. Sakit. Saya membatu di situ, hanya air mata yang mengalir, membasahi hampir seluruh bagian masker kain yang saya gunakan. Hati saya menjerit, tetapi tidak ada suara yang keluar sama sekali. Ya Allah, padahal tadi saya kepikiran detik-detik menjelang kepergian Abah Masruri. Dan saya mengalami hal serupa itu lagi. Sebulan kemarin Abah Muhlas pun baru saja pergi. Badan saya lemas, kepala juga pusing, rasanya spaneng. 

Astagfirullah. Saya terus beristighfar. Badan saya seolah-olah tak bisa digerakkan, air mata saya terus keluar. Astagfirullahal'adziim lii waliwaalidayya wa lii jamii'il muslimiina wal muslimaat al ahyaiminhum wal amwaat. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu wakrim nuzulahu, wa wassi’ madkhalahu, waghsilhu bilmai was salji, wal baradi, wa naqqihi minal khathaya, kama yunaqqas saubul abyadu minad danas. Wa abdilhu daran khairan min darihi wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi, wa adkhilhul jannata wa a’idzhu min adzabil qabri, wa adzabin nari.

Saya teringat, kalau tidak salah pada acara Haflah Akhirusaanah dua tahun yang lalu Gus Mahrus pernah bercerita, kala itu kondisi Abah Noer sedang lemah, jadi diminta untuk tidak melaksanakan ibadah puasa dahulu (seingat saya puasa sunnah), tetapi Abah menolak. Seingat saya Dawuh Abah, siapa yang akan menanggung dosa anak-anak, santri Abah, kalau Abah tidak puasa? Ya Allah, dalam kondisi seperti itu pun Abah tetap mengingat kami, anak-anak Abah. Sedangkan kami, khususnya saya, apa yang telah kami lakukan untuk Abah? Abah yang berpuasa, berdzikir, datang di masjid lebih awal. Ya Allah... Rasanya tambah spaneng. Saya menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan. 

Kepergian Abah bukan sekadar tentang kesedihan, tangisan yang terisak-isak. Di situ saya membangun tekad, meskipun saya sangatlah belum mampu seperti Abah, tapi saya anak Abah, santri Abah, akan melanjutkan perjuangan Abah. Saya akan melakukan hal yang saya dapat lakukan, mulai dari membenahi diri sendiri, mengabdi untuk pesantren sebaik mungkin. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS