Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Setangkai Bunga

 


Bunga purple sapphire sendiri sebenarnya bukan benda atau entitas dengan filosofi yang mapan seperti batu permata atau simbol tertentu. Namun, jika kita mengaitkannya dengan filosofi yang umumnya terkait dengan bunga dan batu permata, warna ungu sering kali dikaitkan dengan kemewahan, kebijaksanaan, dan spiritualitas.

Purple sapphire sebagai batu permata ungu mungkin dianggap sebagai simbol kekuatan spiritual dan ketenangan pikiran. Warna ungu dalam banyak budaya juga dikaitkan dengan kedalaman, kebijaksanaan, dan keanggunan.


Bunga, aku senang jika menyimbolkan seorang wanita sebagai setangkai bunga. Entah karena aku yang menyukainya atau karena terpikat dengan keindahannya. 

Wanita yang tangguh dan indah, mirip dengan bunga yang kukuh di hadapan tantangan dan memancarkan keindahan dalam kelembutan. Seperti bunga yang tetap tumbuh di tengah badai, wanita tangguh memiliki keteguhan hati dan semangat yang tak tergoyahkan di dalamnya. Keindahannya bukan hanya terletak pada penampilan fisik, tetapi juga dalam kelembutan sikap, kebijaksanaan, dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan. Sebagaimana bunga yang mempesona dengan warna-warna dan bentuknya, begitu pula wanita yang mampu menyinari dunia dengan kepribadian yang bersinar dan kekuatan yang mendalam.

Dia adalah wanita yang seperti bunga, mekar dengan kebaikan dan kelembutan. Dalam setiap langkahnya, dia membawa aroma kesabaran dan kepedulian. Seperti bunga yang merangkul sinar matahari, dia menyebar kehangatan kepada orang-orang di sekitarnya. Kecerdasannya bersinar seperti embun pagi, memberikan kejernihan dalam setiap situasi.

Tangguhnya tidak hanya terlihat dalam senyumannya yang tabah di tengah kesulitan, tetapi juga dalam tekadnya untuk terus tumbuh, belajar, dan berkembang. Seperti akar bunga yang mencari jalan di tanah untuk mencapai sumber nutrisi, dia tekun mengejar impian dan tujuannya.

Namun, keanggunannya tidak membuatnya rapuh. Sebagaimana bunga yang melambangkan keindahan yang tetap utuh meski diterpa badai, wanita ini memiliki ketahanan yang mempesona. Dia tahu bagaimana menjaga keunikan dan integritasnya, bahkan ketika dunia berusaha membentuknya.

Dia seperti kelopak bunga yang mengembang dengan keanggunan, menghadapi cobaan hidup sebagai batang bunga yang tegar. Ketangguhannya bukanlah bentuk kekerasan, melainkan kekuatan batin yang mampu menghadapi badai dengan ketenangan. Kelembutannya bukanlah kelemahan, tetapi keindahan dalam memberikan kasih sayang dan dukungan kepada orang-orang di sekitarnya.

Seperti bunga yang mekar di berbagai warna, dia membawa keberagaman dan keunikannya ke dalam dunia. Keindahan karakternya menciptakan harmoni, sebagaimana bunga yang menarik perhatian dan memancarkan aura positif. Keberaniannya untuk tumbuh di tengah tantangan mencerminkan tekadnya untuk mencapai potensi penuhnya.

Wanita ini adalah pembawa harapan, mirip dengan bunga yang mekar di musim semi setelah musim dingin yang membeku. Dia tidak hanya menghadapi masa-masa bahagia, tetapi juga melalui kesedihan dan tantangan dengan kepala yang berusaha ia tegakkan, namun bukan sebagai ajang kesombongannya. Keelokannya tidak hanya terlihat, tetapi juga terasa dalam sentuhan hatinya yang penuh empati dan kepedulian.

Wanita ini adalah karya seni alam yang hidup, mengingatkan kita bahwa kecantikan sejati terletak dalam perpaduan kekuatan dan kelembutan, dan bahwa melewati segala musim kehidupan dengan martabat adalah tanda dari kebesaran jiwa yang sesungguhnya.

Wanita yang seperti bunga ini adalah keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara ketangguhan dan keindahan. Dia adalah bukti bahwa kecantikan sejati tidak hanya ada di permukaan, melainkan juga dalam kebijaksanaan, kebaikan, dan kemampuan untuk melewati berbagai musim kehidupan dengan kemuliaan dan kelanggengan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Minggu

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


"Maah... Ba Anis mau pulang...."
"Balek ajaa balekkk," kata Wulan.

Sepulang mengajar sore, aku langsung siap-siap. Ambil charger, sedia payung sebelum hujan (meskipun nggak yakin juga bakalan turun hujan). Bawa air putih juga, barangkali tiba-tiba haus di jalan. Ok, siap. Berangkat.

Keluar gerbang asrama, aku memperhatikan kendaraan yang jalan sebelum menyebrang. Malas aku, kalau memutar jalan lewat jembatan transjakarta, lebih baik nyeberang lewat pintu bawah halte. 

Setelah sampai di halte, beberapa menit kemudian busnya tiba. Alhamdulillah tidak perlu menunggu lama, dapat tempat duduk pula. Nikmat mana lagi yang aku dustakan? Mau membatin "Alhamdulillah, rezeki anak shalehah," eh tapi nggak pede juga. Jarang soalnya, shalehah mode on tapi kerjaannya manjatin pager.

Pukul 18.22 WIB aku tiba di Halte Juanda. "Udah di Juanda," pesanku via chat di grup whatsapp keluarga. 

"Tunggu di Manggarai," balas Idan. 

Tidak lama kemudian kereta datang. Syukurlah dapat tempat duduk. Sepertinya kepalaku migrain lagi. Nggak begitu pusing, tapi cukup membuatku bengong sepanjang perjalanan. Tanpa sadar sudah di Cikini. Aku terperanjat, untung saja belum terlewat. Bisa gawat kalau kebablasan seperti sebelumnya.

"Kak, di sebelah mana? Yang gerbong awalan apa akhiran?" tanyaku via video call.

Aku berjalan seraya menatap layar handphone. "Pojok yang awal," kata Idan. 

Seseorang dengan hoodie hitam melambaikan tangannya, panggilan video kami pun berakhir.

"Assalamualaikum ya akhi...."

Ia meraih tanganku,  "Wa'alaikumussalam." Adik yang baik. Siapa sangka lelaki bongsor ini dulunya adalah adik kecil imut yang menggemaskan.

Aku dan Idan ndopok. Semilir angin bertiup, melambaikan jilbab abu-abu silver yang aku kenakan. Kami berbincang-bincang, aku menunggu kereta tujuan Bekasi sembari selonjoran. 

Ah, malam yang cukup melelahkan, kepalaku masih sedikit pening, tetapi sudah lebih baik dari yang tadi. Karena tidak dapat tempat duduk, kami berdiri sampai stasiun Bekasi. Setibanya di Bekasi, kami berjalan kaki ke tempat parkiran motor. 

"Mba Anis tunggu sini aja," kata Idan, kemudian ia masuk ke tempat parkiran motor di sebelah stasiun. Aku berdiri di luar memperhatikan ibu-ibu penjual masker. Karena tidak sadar akan keberadaan adikku, Idan melambaikan tangannya tepat di hadapan wajahku. 

"Eh, ojeknya udah ready," jawabku seolah tanpa dosa. 

"Huh, dari tadi kek. Ayo naik." Aku membonceng di belakangnya deh. 

Ya, malam minggu di jalanan naik motor dan sepertinya akan turun hujan. 

"Dan, di rumah udah ujan belom, sih? Aku mencondongkan kepalaku dan berbicara di dekat telinganya. 

"Ah, Asri mah kaga ujan."

"Tapi waktu itu di medsos Bekasi sudah turun hujan, kok."

"Iya itu Bekasi, bukan Wisma Asri."

"Lah, kok bisa?"

"Hujannya cuma di Bekasi, tapi pas bagian Wisma Asri air hujannya udah abis." Bisa gitu. Ada-ada saja. 

Tiba-tiba tetesan air langit membasahi telapak tanganku. "Bang, hujan tauk. Nih gerimis tipis-tipis." Suka random memang, kadang dia kupanggil kakak, di lain waktu abang. Sekeluarnya kata yang keluar dari mulutku saja. Iya, begitu. 

"Iya hujan, tapi ini kan Summarecon. Sampe Asri airnya udah abis, dah."

"Bang, ada kaga ye, orang kehujanan di motor pake payung? Abang bawa jas hujan nggak?"

"Ada. Tanggung, udah terobos aja." Ah, aku keluarkan saja payung yang ada di dalam tas. 

"Eh iya, susah kebukanya ya, pakai payung," Karena kecepatan laju motor, anginnya semakin kencang, jadi susah membuka payungnya. 

"Nggak enak tauk, air hujannya ngenain kepala. Jadi bletak-bletak." Tetesan air hujan semakin deras. Aku hanya menutupi kepala dengan payung yang tidak terbuka lebar. Nggak mau mekar payungnya. Suek bener, dah. 

Sesampainya di Duta Harapan air hujannya mulai menghilang. "Kan, ini aja udah di Duta, sampe Asri air hujannya udah abis bakalan." Aku malah ikutan setuju dengan asumsi si Idan. Kok bisa seperti itu? 

Lah, tiba-tiba langitnya nggak terima atau bagaimana, ya. Hujannya semakin deras, mau menunjukkan jati dirinya, kalau dia punya kekuatan dan tidak selemah itu. "Dan, jalannya jangan kenceng-kenceng. Ba Anis mau pake payung nih, kalau kecepetan dia kuncup, susah kebukanya." Alhasil, beneran dong, kita naik motor di bawah payung yang menyangga air hujan. Eh, tapi kok rasanya jadi seneng gitu, ya. Beneran deh, kayak ada sensasi yang membahagiakan, gitu

"Kak, nggak usah dipegangin payungnya. Nyetirnya dua tangan aja."

"Lah, payungnya nutupin mata." Seketika itu kami tertawa. 

Payungnya agak aku naikkan sedikit posisinya dan aku memegangi erat kerangka besinya agar tidak terbang. 

Sesampainya di depan rumah aku cekikikan, "Maah, ini anaknya pulang naik motor pakai payung." Ibuku hanya tersenyum. 

"Assalamualaikum Mamah...," aku meraih tangannya yang agak keriput itu. "Di rumah sebelumnya sudah hujan belum, Mah?" tanyaku. 

"Wa'alaikumussalam. Tadi siang hujan kok, pas Mamah ngaji." Ibuku biasa mengikuti pengajian mingguan di hari Sabtu. "Lumayan deras kok, Mamah lihat dari masjid, hujan."

"Assalamualaikum." Aku masuk ke dalam rumah, di kursi kasir warung aku menyalami tangan ayahku. "Papah... ini anaknya pulang kehujanan naik motor, tapi pakai payung."

"Wa'alaikumussalam. Anis sehat?" Alhamdulillah sudah hilang migrainnya. Ayahku pun sehat. Senangnya keluargaku dikaruniai rezeki kesehatan. 

Niat awal mau beli mie tek-tek, karena hujan,  tidak jadi, deh. "Mah, masih ada nasi, Mah?" Laper euy, tadi sore sebelum perjalanan baru makan roti gulung keju Aoka. 

Nasi masih ada, hanya saja lauknya yang tinggal sedikit. Sayur asemnya tinggal kuah beberapa sendok doang paligan, tuh. 

"Kak, Ba Anis mau goreng nugget, mau juga?" ia yang sedang sibuk membuka bungkus paketan manggut-manggut saja. 

"Mau bikin nasi goreng nih, sekalian nggak?" aku menyodorkan senampan kecil nasi putih yang akan kumasak, "Makannya banyak nggak, mau digoreng semua nih, nasinya?"

"Iya, gak papa." ia sedang memasang keran air di kamar mandi. 

Dengan bumbu seadanya, dan dua buah cabai saja (aku tidak begitu suka pedas) aku buat nasi goreng, dan di kompor satunya aku menggoreng nugget. 

Karena sibuk mengaduk-aduk nasi, aku lupa mengangkat gorengan dari minyak panas. Yah, nuggetnya gosong deh. 

"Kak, nasgornya dah ready, tapi nuggetnya sebagian gosong, nih."

"Nggak apa-apa. Dipotong-potong aja nuggetnya terus campurin ke nasgor, biar nggak keliatan banget gosongnya."

"Mau makan barengan nggak?" tanyaku seraya menyiapkan piring yang agak besar. 

"Iya."

Syukurlah, setelah kehujanan di perjalanan, lalu makan malam bersama, rasanya nikmat sekali. Entah karena memang sedang lapar, atau memang karena keberkahan dari kudapan yang disantap bersama. Yang jelas, setiap harinya pasti akan ada kenikmatan yang Allah berikan kepada setiap hambanya selama ia mensyukurinya. Alhamdulillah 'ala kulli hal

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Alunan Melodi-Melodi Kesederhanaan

 


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Katanya, dengan kesederhanaan hidup kita akan dapat menemukan jati diri. Ada yang suka minum teh, ada yang suka kopi, walaupun berbeda tetapi tetap satu meja. 

Meskipun memiliki preferensi yang berbeda, kebersamaan di atas meja yang sama menunjukkan keragaman sebagai kekayaan hidup. 

Dari cangkir-cangkir itu, kita berbagi cerita, tawa, dan kehangatan, mengikat ikatan yang menguatkan makna hidup ini. Ya, bagaimana memberikan arti pada hidup yang singkat ini. 

Dalam kesederhanaan, kita menemukan jati diri yang sesungguhnya, yang tidak sekadar terikat pada minuman pilihan yang terhidang di hadapan mata, tetapi ini juga tentang ikatan batin yang kita jalin dengan sesama.

Jati diri yang timbul dari kesederhanaan bukan berarti tak berkualitas, banyak dari mereka yang tumbuh menjadi produk hebat dan unggul dari kesederhanaan. 

Di balik tirai kesederhanaan, tersembunyi keajaiban yang tak terperikan. Seperti halnya air yang mengalir di lembah yang tenang, jati diri yang muncul dari kesederhanaan itu menyerupai kejernihan yang memikat hati. 

Mereka yang tumbuh dari keadaan yang terbatas, dengan cermat mengukir karya-karya yang abadi, menandai jejak keberadaan mereka di kancah kehidupan ini. 

Dalam setiap langkah yang mereka pilih, terpampang bukti-bukti gemilang tentang ketekunan dan ketulusan hati yang menjadi landasan dari pengejawantahan mereka.

Kesederhanaan bukanlah pangkal rendah, melainkan panggung yang menjunjung tinggi kemurnian jiwa dan daya cipta yang tiada tara.

Semakin sederhana seseorang, semakin sederhana pula ekspektasinya pada kebahagiaan. 

Sederhana bukan berarti minim, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang membebaskan jiwa dari belenggu ambisi tak terbatas.

Dengan ekspektasi yang lebih sederhana, mereka mampu menemukan kebahagiaan dalam keadaan apapun, terhubung dengan inti kehidupan yang sejati.

Dalam kesederhanaan, terdapat kebebasan untuk menikmati kehidupan tanpa beban, merangkul setiap momen dengan kedamaian batin yang tak ternilai. 

Dari sana, muncul kebijaksanaan untuk mengenali keindahan yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan kesederhanaan, menghadirkan kedamaian yang tak tergoyahkan di dalam jiwa.


#alhamdulillah 

#liveourlife

#dinein 

#drink 

#blessedlife



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Duri Perbaikan Diri


Adakalanya, sebab terlalu mengistimewakan sesuatu yang jauh, yang berada tepat di hadapan mata pun nampak buram. 

Sampai-sampai, tanpa tahu dan tanpa sengaja terlewatkan oleh pandangan mata. 

Kehidupan akan terus berjalan maju, yang berlalu hanyalah sebuah atau beberapa buah kenangan masa lalu. 

Apa yang kita lakukan, disadari ataupun tidak, manalagi karena memang sengaja, sangat mungkin menjadi duri di hati seseorang. 

Duri-duri kecil, kemudian menjadi gundukan besar.

Barangkali dapat menjadi lebih besar, atau menjelma sebesar apa lagi nantinya. Tak bisa diterka, tiada terkira. 

Hati manusia sebenarnya sangatlah lembut.

Setiap orang pun pada dasarnya baik, sebagaimana seorang bayi yang lahir dalam keadaan suci. 

Lalu, bagaimana dengan dia atau mereka yang sebaliknya? 

Bisa jadi emosinya sedang bergejolak, goyah pertahanannya. 

Egonya menjadi kabut, kemudian naik ke atas langit menjadi awan gelap. Kelabu itu semakin pekat. 

Apakah ia lelah? 

Entahlah. Ada kalanya manusia berada pada titik di mana ia tak kuasa mengendalikan diri, meskipun ia tahu betul laku apa yang telah diperbuat adalah keliru.

Mengakui kesalahan. Ya, seringkali terbesit rasa bersalah namun enggan untuk mengakuinya. Apalagi memenungkannya? 

Malah mencari-cari sejuta alasan sebagai pembelaan.

Bahkan berkata-kata dengan nada meninggi sebagai bentuk pertahanan. 

Atau berbicara dengan nada biasa, namun bahasanya kentara tak elok, terlebih benar-benar tak ramah di telinga. 

Konon, pekertinya tak sedap dipandang maupun dirasa pula. 

Lantas, bagaimana dengan kemaslahatan di ujung jalan sana? 

Apakah nasib dari sebuah perbaikan diri menempati posisi terendah dari tangga pijakannya? 

Pecah sudah. Meminta maaf pun termasuk perlakuan yang sulit kah? 

Memohon maaf cukup sederhana sebenarnya, tapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu. 

Ada hati lain yang cedera karena tingkah langkah maupun perangai kita. 

Butuh waktu untuk sembuh, perlu waktu untuk pulih. 

Kendati waktu tak bisa diandalkan seutuhnya.


Kedoya, 31 Agustus 2023

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Obat dari Pulo



Bakda salat, Rara menyandarkan tubuhnya ke tembok. Marhabanan atau acara maulid di masjid masih belum selesai. Rara duduk sambari mendengarkan lantunan suara dari masjid yang berada tepat di samping kamarnya di asrama. 

"Umi pucat banget wajahnya," kata Moza

"Ah masa?" Dibilang gitu auto ingin bercermin kan, jadinya. 

"Iya, kayak lemes gitu." Moza datang ke kamar menemani Tika yang ingin pinjam handphone untuk menghubungi keluarganya di rumah. 

"Umi sakit apa?" Rara menjawab pertanyaan Moza dengan suara agak lirih. 

"Aku punya obat dari dokter, manjur loh, Mi. Umi mau?"

"Oh boleh. Coba liat dek, obatnya." Vibes-nya kayak anak yang perhatian dengan ibunya yang sedang sakit. Jadi terharu. 

"Ini, Mi...."

Di dalam kemasan plastik itu ada dexamethasone, amoxicillin, dll. Ah..., obat yang sudah tidak asing lagi. 

"Wow, obatnya dikemas lucu banget kayak kripca, pakai zipper lock."

"Iya Umi. Itu obat aku dari Pulo. Aku kalau sakit minumnya obat itu. Manjur Mi, cocok. Itu obat dari Ibu Sum."

"Ibu Sum? Apoteker yah?" 

"Iya Mi, namanya Ibu Sum. Ibunya di rumah gitu."

Rara hanya mengambil beberapa tablet obat. Itu obat racikan. Yah, mungkin seperti obat yang terkadang ia beli di Pakde, penjual obat di dekat rumahnya. 

"Oke Moza. Terima kasih, ya." Rara tersenyum. 

"Iya Umi, sama-sama." Wajah polosnya bersinar sekali, "Cepat sembuh, Umi.... "

"Amin." Dalam hati Rara berdoa semoga gadis belia di hadapannya senantiasa diberikan nikmat sehat, barakah, dan keridhaan-Nya. "Moza, besok sore belajarnya di masjid saja, ya."

"Eh, memangnya besok sama Umi?"

"Kan besok hari Jumat."

"Oh iya. Nanti Moza bilangin ke teman-teman ya, Mi.... Yeay nggak belajar di kelas."

"Oke Moza. Thank you."

"Anytime, Umi."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perihal Waktu dan Penggulirannya

 


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Katanya, yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detiknya. 

Kawan, apakah engkau juga merasakan bahwa, banyak yang mengatakan perihal waktu yang akan mengubah segalanya? 

Percayalah, tidak ada yang akan berubah jika hal tersebut tidak berangkat dari dirimu sendiri, engkau sendiri yang tidak mengubahnya. 

Ya, sebagaimana waktu yang tidak bisa senantiasa menyembuhkan, karena rasa sakit atau kepedihan itu terkadang muncul kembali seiring bergulirnya waktu. 

Adakalanya ia harus dipaksa untuk dapat sembuh. 

Maka, lakukanlah hal-hal  baru yang dapat mengalihkan duniamu, bukan berharap kepada sang waktu yang engkau percaya akan dapat menghapuskan jejak-jejak kepiluanmu. 

Kawan, apakah enggkau menyadari bahwa kita sebenarnya sekadar menunggu waktu dan penggulirannya? 

Perihal siapa yang mendapatkan atau merasakan momen kebahagiannya terlebih dahulu, bergulat dengan penderitaannya dan berjuang akan hal itu lebih dulu, dipersatukan dengan pasangan hidupnya, sukses lebih dulu, maupun bertemu dengan Sang Pencipta lebih dulu. 

Memang, tidak perlu membandingkan, tidak perlu resah maupun menjadikannya ajang berbangga. Sebab, semua hanya menunggu waktu habis usianya. Nikmati saja apa yang ada, apa yang dititipkan oleh-Nya kepada kita sekarang.

Maksimalkan apa yang ada dan senantiasa bersyukur atas segala. Sebab, semua yang ada tidak akan lepas dari genggaman-Nya, takdir-Nya yang agung, yang tidak selayaknya kita pertanyakan mengapa dan bagaimana.

Tetaplah semangat, karena setiap rintikan hujan yang jernih dan syahdu, berawal dari mendung yang gelap, legam, dan penuh lara. 

Maka, bersandarlah dan memohonlah kepada Tuhanmu.

Percayalah, semua yang ada sesungguhnya adalah kebaikan, tergantung bagaimana kita mencerna hikmah dan merasakan keberkahannya.

Wallahua'lam


__ Inspired by various sources °•°


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Online dan Offlinenya Permainan Dunia

 


Tenang, tenang, nillee belum keluar...🤓 Seminggu bisa 2x sendiri maenan beginian. Berasa holidey sih, kalau offline mah, sembari mampir-mampir ke Candi Plaosan, Heha Sky View, Heha Ocean View, Malioboro, Studio Gamplong, or puncak sungai Mudal. Hmm, Obelix Hill di waktu malam juga serunya nggak kaleng-kaleng, apalagi sekarang ada pembangunan baru di sana. Jogja ngangeninnya emang nggak ada obat.😮‍💨

Oh iya, 1x ambil prediction test di Makasar juga. Please lah, 3x dalam seminggu itu maenannya jauh-jauh semua. 

Eh, jadi traveling pikiranku ini. Spending holiday di ...

Hehe, malah bikin list tempat wisata. Ya, terserah aku kan, ya? Lagian, oomku kan orang Palopo, barangkali kalau ke sana, ada keluarganya yang bersedia nampung aku, nebengin aku, gitu (wkwk tepok jidat bolak-balik). 😁

Well, back to reality. Tetapi ini online, siap-siap saja sih, berhadapan dengan jaringan internet yang trouble, tiba-tiba laptop mati, eh ternyata baterainya habis. Ngulang lagi aktivasi or setting ini itu, waktu tinggal sedikit, alhasil tang-ting-tung kelabang kuncup. 😂 

Hidup memang seperti itu, la'ibun wa lahwun. Hujan panas permainan hari, senang susah permainan hidup. 

Tapi, apa benar seperti itu, kah? 

Intinya, manusia hanya berdoa, berusaha, selebihnya serahkan kepada Yang Maha Kuasa. 

Oh iya, kamu percaya nggak, kalau terkadang, bisa saja rencana terbaik adalah tanpa rencana? 😙😃


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dedek Chocolitoz


Mau foto makhluk kecil, ternyata dia sudah jauh di depan sana, lari-larian. Cepat banget, untung belum hilang dari pandangan mata. 

Yup, pagi-pagi puasa gini ada bocil, "Beli..., beli jajan." cute banget suaranya, ya Allah. Dia kasihkan uang Rp. 2.000, lalu berniat mengambil wafer. "Yah, uangnya kurang, Dek." kataku, karena wafer itu harganya Rp. 2.500. 

Lalu dia menunjuk-menunjukkan jarinya ke arah kotak Nyam-Nyum, kurang juga uangnya. 

Akhirnya, aku tawarkan wafer roll Choholitoz, "Yang ini saja nggak apa, Dek?" aku ambilkan yang varian Dark Chocolate. 

Si dedek manggut-manggut. "Oh, beda rasa saja mau?" Aku menawarkan Cheese Flavour juga, karena bisa dapat 2 wafer roll dengan uang yang ia bawa. 

"Iya," jawabnya. Si dedek tersenyum, imut sekali. "Yeyy!" ia bersorak kegirangan. 

"Terima kasih ya, Dek."

Ia menggoyang-goyangkan kepalanya, masih kegirangan. Lalu beranjak pergi meninggalkan warung. 

Aduhai senang sekali diri ini. Vibes-nya si dedek nyamber ke aku, loh.  Masyallah, aku jadi ikutan bahagia, semringah tiada tara. Lalu seraya menyunggingkan senyuman terlebar, aku lambaikan tanganku ke arahnya, 👋 "Dadah..." 😘 Dedek berbaju merah fanta itu pun berlalu. 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinta Suci dan Kematian

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ





[14/2 23.12] : Ada kata ema di kematian.

[14/2 23.17] Cherry Blossoms: Ema adalah ibu, seorang perempuan. Saat ibu melahirkan kita, ibu itu berjuang, taruhannya nyawa, tapi ibu tidak menyerah begitu saja dan tetap melakukan persalinan. Alhasil, atas kuasa dan ridhha-Nya, lahirlah kita di dunia fana ini.  Apakah mungkin dengan itu juga dapat dikatakan sebagai cinta suci, cinta yang tak pernah berubah? 


[14/2 23.19] : Ada kata ati di kematian

[15/2 03.25] Cherry Blossoms: Ati untuk ati-ati atau berhati-hati demi/dalam mempersiapkan kematian, maupun berhati-hati menjaga cinta suci, cinta yang tak berubah itu. Yakni berhati-hati dengan menjaga ati (hati). Bila ia mulai keruh, maka kuraslah, kemudian isi dengan yang lebih jernih. Ya, jernihkan lah ia.

Kematian dan cinta yang tak pernah berubah. Lalu, cinta mana lagi selain cinta kepada sang Pemilik Cinta? 

Wallahu a'lam. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nasi Goreng Bapak Perapal Mantra

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



Waktu beli ini, memang pas lagi laper-lapernya. Antara nggak mau, tapi kalau nggak ikut ke TMII bakal ditinggal sendirian selorong asrama. Alhasil, selsai rapat langsung rapi-rapi dan ikut rombongan naik bus. Karena yang lain sudah makan siang sebelum berangkat, sesampainya di TKP, mereka langsung main-main. Terserah deh, mau naik mobil wara-wiri, sepedaan or whatever

Aku yang kelaparan di siang bolong, mau nggak mau melipir. "Mer, aku ke sana dulu, ya," padahal nggak tahu mau ke mana, "Mau cari makan." Khumer pun berlalu bersama dengan rombongan yang lain. 

Aku bertanya ke bapak-bapak yang bekerja di sana, "Maaf pak, penjual makanan ada di sebelah mana, ya Pak?" 

"Di sana Neng, yang ada tenda-tendaan," seraya menunjuk ke arah selatan, "Tapi bayarnya nggak tunai, pakai foto gitu." 

Owalah e-wallet, "Scan barcode ya, Pak?" 

"Iya, Neng." 

"Makasih banyak ya, Pak." 

"Sama-sama, Neng."

Aku sampai di food court. Iya bener sih, tenda-tendaan, gitu. Sambil jalan memerhatikan stan yang makanannya aku doyan, aku membatin, Wah, ini nih, definisi kelaparan sendirian, cari makan sendirian. Bebas beutt. Eh, tapi kok kayak ada yang ganjil, ya? Entahlah

Nah, sampai lah aku di stan makanan Solo. Di sana menjual menu nasi goreng. Aku pesan saja nasi goreng tanpa ayam (aku tidak makan daging, ayam dan sapi masih bisa, tapi dikiiit banget porsinya, itu juga kalau lagi pengen). 



Lumayan lama aku duduk sendirian di kursi menunggu makan siangku siap. Pemandangan yang menentramkan pandangan mata, tapi beneran, rasanya kayak ada yang aneh, gitu. Bibirku membulat dan keningku berkerut, ah, paling juga karena rasa lapar. 

Alhamdulillah, my lunch was ready. Bapaknya menyodorkan mesin kasir kekinian. Apa ya, Android POS Smart Payment, kayaknya. Karena saldo e-wallet-ku cuma 7 rebuan, isi ulang dulu. Eh, aplikasi e-wallet-nya minta diperbaharui. Kata si bapak mah, nggak apa-apa aku makan dulu, tapi nanggung. Setelah pembayaran berhasil, bapaknya mengucapkan terima kasih dan merapal doa, semoga rezeki lancar, keluarga sehat dan lainnya. Aku lupa bapaknya doa apa saja, yang jelas baik semua doanya. Amin ya Allah. Terima kasih banyak doanya, begitu pula dengan bapak. 

Ya Allah, udah mana laper banget, sebelum makan didoain sama penjual makanannya. Rasanya bahagia tiada tara. Rapalan doa bapak seperti mantra. Sederhana, tapi senaaang banget rasanya. Alhamdulillah 'ala kulli hal. 😃😇


#food 

#foodphotography 

#friedrice 

#nasigoreng 

#pesonaindonesia 

#khasnusantara 

#tmii

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Moci, Tea Time Ala Tegal Laka-Laka

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ




Jadi, sore tadi rencananya mau main ke rumah Mbah Uti (ibu sambung my mom), eh budhe ngajak ziarah ke makam Mbah Uti dan Mbah Kakung (dari pihak ayah). Ya sudah, aku ikut saja. 

Di pemakaman, hampir semuanya saudara, ada kaka sepupu, mbah uti, mbah kakung, mbah kakung 2 (ayah sambungnya ayahku), dll. Semuanya keluarga pihak ayah. 

Oh iya, posisiku ada di desa Gumalar, kec. Adiwerna, Tegal, tanah  kelahiran ayah. Eh, tanah kelahiranku juga, deng. Yaa, namanya juga sulung, daripada bingung-bingung, dilahirin aja di kampung (padahal ibuku selama mengandungku tuh di Jakarta tauk, pas ngidam juga hamberger). Ahhahahaha. 

Setelah ziarah makam, aku diajak mampir ke rumah saudara, lalu ngobrol, setelah itu mampir lagi ke rumah bibi. Aku panggilnya lilik, sih. Iya lilik, aka. bulik, alias ibu cilik. 

Nah, di sana juga ngobrol. "Ayo sini, moci dulu." Awalnya aku bingung. Moci makanan kenyal? Tapi yang disuguhkan itu teh. Apa semacam teh Poci khas Slawi kali, ya. 

"Lik, moci itu merek teh, ya?" tanyaku tanpa dosa. Ya Allah, pertanyaan yang memalukan sih. Kayak bocah SD dehh. 

"Bukan, Nis. Ini namanya Tradisi Moci. Kalau orang Tegal ya begini, kumpul-kumpul bareng sambil minum teh, itu namanya moci. Biasanya tuh, 'Ayo-ayo kita moci,' 'Moci-moci ndisit, ooh', gitu Nis." Owalah, sejenis tea time gitu aku membatin. 

"Lah, moci nganggone kayak kiye" (Masa moci, pakainya beginian) saudaraku menunjuk-nunjuk ke poci berbahan kuningan itu. 

"Ya ora papa. Anane kiye. Poci sing kae neng Jakarta." (Ya gak apa-apa. Adanya yang ini. Poci yang itu adanya di -rumah- yang di Jakarta) 


Aku senyam-senyum saja. Senang dan juga merasa lucu. Gimana ya, lucu gemas gitu, mendengarkan para sesepuh berbincang. 

Moci biasanya menggunakan poci berbahan tanah liat, kata mbah google. Dan juga, katanya nilai nilai yang tersirat dalam tradisi moci ya silaturahmi, musyawarah (berembuk bareng), gotong royong, kebersamaan, persaudaraan, kontrol sosial, dan keterbukaan berpendapat filosofi dari perangkat dan proses moci menciptakan keseimbangan hidup dan keadilan dari melalui kerja keras dan tempaan waktu dalam menapaki kehidupan harus saling berbagi, memberi pada pihak yang lebih kecil dan merata atau adil dan bersikap pada siapapun yang ada di bawahnya.

Oh iya, tradisi moci di Tegal sampai sekarang masih sangat melekat dan eksis, loh. Kebiasaan minum teh atau moci ini sudah menjadi budaya lokal bagi masyarakat Tegal. Percaya nggak, bertahannya tradisi moci merupakan bentuk simbiosis mutualisme yang terjalin antara pabrik teh, pabrik gula, perajin gerabah poci, masyarakat pencinta teh baik kalangan pemerintahan setempat, budayawan, sastrawan, seniman, buruh, buruh seni, kuliner, serta warung warung makan? 

#tegal 
#moci 
#teatime
#tea 
#family

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bongkahan Pertahanan

 



Ada kalanya, entah mengapa engkau merasakan sesuatu yang menyesakkan, sangat menyakitkan, namun kau berusaha mengatur raut wajahmu agar tak menampakkan apa yang engkau rasakan, tak memperlihatkan apa yang sedang melanda hatimu. 

Satu saat, kau berhasil menciptakan senyum, yang entah itu telah berhasil menutupi segalanya, atau ada saja yang dapat membaca perasaanmu. 

Dirimu yang perasaannya lebih mendominasi itu sering sekali lebih lihai untuk menutupi tanggapan hatimu. Tetapi, engkau hanyalah makhluk biasa. Bukan berarti kesabaranmu habis, lantas kekuatan kelopak matamu terkikis dan air mata itu pecah begitu saja. Bukan. 

Terkadang, engkau pun tidak tahu, mengapa dirimu merasakan sesuatu yang membuat hati tidak tenang, yang sangat menyesakkan dada, lalu air matamu menetes, mengalir membanjiri pipimu. 

Dalam diam di keheningan malam yang hitam legam itu, engkau menguatkan dirimu. Iya, kau berusaha menenangkan guncangan yang menerpa relung hatimu, bersimpuh dan memohon pertolongan Tuhanmu yang Maha Pengasih itu. 

Bukan berarti cengeng, sama sekali bukan. Justru dengan itu kau sedang mengumpulkan kekuatan. 

Isak tangis yang kau sembunyikan, perenungan yang engkau lakukan, dari situ lah kau mengasah kemampuanmu. Ya, kemampuan untuk bertahan. 

Perasaanmu, entah itu kebahagiaan, kelegaan hati, kesedihan, maupun kegundahan, siapa lagi yang menganugerahkannya kepadamu kalau bukan Tuhanmu? Maka minta lah Ia untuk menguatkanmu, menyembuhkanmu, menjadikanmu hamba yang bersyukur, dan juga menjadikanmu hamba yang Ia ridhai. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS