Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Duri Perbaikan Diri


Adakalanya, sebab terlalu mengistimewakan sesuatu yang jauh, yang berada tepat di hadapan mata pun nampak buram. 

Sampai-sampai, tanpa tahu dan tanpa sengaja terlewatkan oleh pandangan mata. 

Kehidupan akan terus berjalan maju, yang berlalu hanyalah sebuah atau beberapa buah kenangan masa lalu. 

Apa yang kita lakukan, disadari ataupun tidak, manalagi karena memang sengaja, sangat mungkin menjadi duri di hati seseorang. 

Duri-duri kecil, kemudian menjadi gundukan besar.

Barangkali dapat menjadi lebih besar, atau menjelma sebesar apa lagi nantinya. Tak bisa diterka, tiada terkira. 

Hati manusia sebenarnya sangatlah lembut.

Setiap orang pun pada dasarnya baik, sebagaimana seorang bayi yang lahir dalam keadaan suci. 

Lalu, bagaimana dengan dia atau mereka yang sebaliknya? 

Bisa jadi emosinya sedang bergejolak, goyah pertahanannya. 

Egonya menjadi kabut, kemudian naik ke atas langit menjadi awan gelap. Kelabu itu semakin pekat. 

Apakah ia lelah? 

Entahlah. Ada kalanya manusia berada pada titik di mana ia tak kuasa mengendalikan diri, meskipun ia tahu betul laku apa yang telah diperbuat adalah keliru.

Mengakui kesalahan. Ya, seringkali terbesit rasa bersalah namun enggan untuk mengakuinya. Apalagi memenungkannya? 

Malah mencari-cari sejuta alasan sebagai pembelaan.

Bahkan berkata-kata dengan nada meninggi sebagai bentuk pertahanan. 

Atau berbicara dengan nada biasa, namun bahasanya kentara tak elok, terlebih benar-benar tak ramah di telinga. 

Konon, pekertinya tak sedap dipandang maupun dirasa pula. 

Lantas, bagaimana dengan kemaslahatan di ujung jalan sana? 

Apakah nasib dari sebuah perbaikan diri menempati posisi terendah dari tangga pijakannya? 

Pecah sudah. Meminta maaf pun termasuk perlakuan yang sulit kah? 

Memohon maaf cukup sederhana sebenarnya, tapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu. 

Ada hati lain yang cedera karena tingkah langkah maupun perangai kita. 

Butuh waktu untuk sembuh, perlu waktu untuk pulih. 

Kendati waktu tak bisa diandalkan seutuhnya.


Kedoya, 31 Agustus 2023

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Obat dari Pulo



Bakda salat, Rara menyandarkan tubuhnya ke tembok. Marhabanan atau acara maulid di masjid masih belum selesai. Rara duduk sambari mendengarkan lantunan suara dari masjid yang berada tepat di samping kamarnya di asrama. 

"Umi pucat banget wajahnya," kata Moza

"Ah masa?" Dibilang gitu auto ingin bercermin kan, jadinya. 

"Iya, kayak lemes gitu." Moza datang ke kamar menemani Tika yang ingin pinjam handphone untuk menghubungi keluarganya di rumah. 

"Umi sakit apa?" Rara menjawab pertanyaan Moza dengan suara agak lirih. 

"Aku punya obat dari dokter, manjur loh, Mi. Umi mau?"

"Oh boleh. Coba liat dek, obatnya." Vibes-nya kayak anak yang perhatian dengan ibunya yang sedang sakit. Jadi terharu. 

"Ini, Mi...."

Di dalam kemasan plastik itu ada dexamethasone, amoxicillin, dll. Ah..., obat yang sudah tidak asing lagi. 

"Wow, obatnya dikemas lucu banget kayak kripca, pakai zipper lock."

"Iya Umi. Itu obat aku dari Pulo. Aku kalau sakit minumnya obat itu. Manjur Mi, cocok. Itu obat dari Ibu Sum."

"Ibu Sum? Apoteker yah?" 

"Iya Mi, namanya Ibu Sum. Ibunya di rumah gitu."

Rara hanya mengambil beberapa tablet obat. Itu obat racikan. Yah, mungkin seperti obat yang terkadang ia beli di Pakde, penjual obat di dekat rumahnya. 

"Oke Moza. Terima kasih, ya." Rara tersenyum. 

"Iya Umi, sama-sama." Wajah polosnya bersinar sekali, "Cepat sembuh, Umi.... "

"Amin." Dalam hati Rara berdoa semoga gadis belia di hadapannya senantiasa diberikan nikmat sehat, barakah, dan keridhaan-Nya. "Moza, besok sore belajarnya di masjid saja, ya."

"Eh, memangnya besok sama Umi?"

"Kan besok hari Jumat."

"Oh iya. Nanti Moza bilangin ke teman-teman ya, Mi.... Yeay nggak belajar di kelas."

"Oke Moza. Thank you."

"Anytime, Umi."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS