Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

About Psychology

Bismillahirrahmaanirrahiim
*      Orang yang melihat kebawah kanan cenderung sedang memiliki percakapan internal di dalam kepalanya. #Psikologi

*      Ketika Anda melihat orang berkeringat di ketiak atau pangkal paha saja, tandanya ia sedang stres. [DailyNews] #Psikologi

*      Gangguan depersonalisasi adalah perasaan asing atau tidak nyata terhadap diri sendiri yang parah dan mengganggu. #Psikologi

*      Menurut penelitian, menguasai banyak bahasa bisa melindungi otak dari efek penuaan. #Psikologi

*      "Dysania" adalah keadaan di mana seseorang sulit meninggalkan tempat tidurnya saat pagi hari. #PIDinfo

*      Gangguan depersonalisasi adalah perasaan asing atau tidak nyata terhadap diri sendiri yang parah dan mengganggu. #Psikologi

*      Kebanyakan pria suka menutupi jika tertarik dengan seseorang, sementara wanita suka bercerita dengan teman dekatnya. #PID

*      Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yg terhenti / tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya rendahnya keterampilan.
*      Konsep diri adalah cara individu memandung dirinya secara utuh : fisikal, intelektual, sosial, dan spiritual. #Psikologi

*      Tidur kurang dari 6 jam di malam hari membuat kita kurang berpikir jernih esok harinya. #PIDinfo

*      Motivasi intrinsik berasal dari dalam individu,merupakan dorongan bagi individu untuk menjadi produktif. #PID

*      Waktu yang dibutuhkan pria untuk jatuh cinta pada pandangan pertama adalah kurang dari 15 detik. #PIDinfo

*      70 persen orang menderita Allodoxaphobia, yaitu takut akan pendapat orang lain. #Psikologi

*      Saat Anda berkata jujur, hanya ada 4 bagian otak yang bekerja. Sedangkan saat Anda berbohong, ada 9 bagian otak yang bekerja. #Psikologi

*      Terkadang orang suka berpura-pura bahagia, krn senyum palsu lebih mudah dilakukan daripada menjelaskan kenapa mereka sedih atau marah #PID

*      Orang yang menggigit-gigit kuku cenderung sedang dalam posisi gugup dan ragu memikirkan sesuatu #PID

*      Otak kiri manusia mengontrol kemampuan berbicara, seperti otak kiri burung mengontrol kemampuannya bernyanyi #PID

*      Semakin dingin ruangan tempat kamu tidur, biasanya semakin besar kemungkinan kamu mendapatkan mimpi buruk. #Psikologi

*      Awareness aspect yaitu kesadaran kapan seseorang menyadari telah terjadi konflik #Psikologi

*      Anak yang suka mendengar ancaman atau teriakan dari orang tuanya memiliki risiko lebih besar depresi #PID

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bahasa Korea (Dasar)

Bismillahirrahmaanirrahiim

Well, maraknya drama korea di layar kaca terkadang membuat si penikmat kisah tersebut penasaran dengan bahasa para aktor dan aktrisnya. Ehem!! Yuk, kita sedikit mengetahui bahasa korea tentang kata ganti orang. Let's check it out. have a nice learning. ‾ƪ(`´)σ
 
Kata Ganti Orang
Saya –>
(Jho)
Aku –>
(Na)
Anda –>
당신 (Dhangshin)
Kamu –>
(No)
Dia –>
(Gheu)
Mereka –>
그들 (Gheudheul)
Kami –>
우리 (Uri)
Kita –>
우리들 (Uridheul)
Keluarga –>
가족 (Ghajok):
Ayah –>
아버지 (Abheojhi)
Ibu –>
어머니 (Eomeoni)
Adik Laki2 –>
남동생 (Namdhongshaeng)
Adik Perempuan –>
여동생 (Yeodongshaeng)
Kakak Laki2 (untuk adik laki2) –>
(Hyeong)
Kakak Laki2 (untuk adik perempuan) –>
오빠 (Oppa)
Kakak Perempuan (Untuk adik laki2) –>
누나 (Nuna)
Kakak Perempuan (untukadik perempuan) –>
언니 (Eonni)
Paman –>
삼촌 (Shamchon)
Bibi –>
숙모 (Shungmo)
Pakde (Uwak laki2) –>
큰아버지 (Kheunabeojhi)
Bude (Uwak perempuan) –>
큰어머니 (Kheuneomoni)
Kakek –>
할아버지 (Harabheojhi)
Nenek –>
할머니 (Halmeoni)
Sepupu –>
사촌 (Shachon)
Kakak Ipar laki2 –>
매형 (Maehyeong)
Kakak Ipar Perempuan –>
매부 (Maebhu)
Adik Ipar –>
시동생 (Shidongshaeng)
Bapak Mertua –>
시아버지 (Shiabheojhi)
Ibu Mertua –>
시어머니 (Shieomeoni)

Cukup sekian dulu yah pemirsa, lain kali kita sambung lagi. Terima kasih sudah berkunjung.
Syukran katsiran.
Semoga bermanfaat.^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ھذه دلائل الخیرات

بسم لله الرحمن الر حیم

الاھى بجاه نبیك سبدنا محمد صلى لله علیھ وسلم عندك ومكانتھ لدیك ومحبتك لھ ومحبتھ
لك # وبسر الذي بینك و بینھ # اسئلك ان تصلى وتسلم علیھ و على الیھ و صحبھ.
وضاعف اللھم محبتي فیھ وعرفنى بحقھ ورتبتھ ووفقنى لاتباعھ والقیام بادابھ وسنتھ
واجمعنى علیھ ومتعنى بمكالمتھ وارفع عنى العلائق والعوائق والوسائط والحجاب وشنف
سمعى معھ بلذیذ الخطاب # وھیئنى للتلقى منھ واھلنى لخدمتھ # وجعل صلاواتى عنھ نورا
نیرا كاملا مكملا طاھرا مطھرا ماحیا كل ظلم وشك وكفر ووزر وجعلھا سببا للتمحیص
ومرقا لانال بھا اعلى مقامالاخلاص والتخصیص حتى لایبقي فى ربا نیة لغیرك و حتى اصلح
لحضرتك واكون من اھل خصوصیتك مستمسكا یادابھ وسنتھ صلى لله علیھ وسلم مستمدا
من حضرتھ العالیھ فى كل وقت وحین #

Ya Tuhanku. . . dengan keagungan nabiMu sayyidina Muhammad saw. di
sisiMu dan kedudukannya di sisiMu serta cintaMu kepadanya dan [begitu pula]
cintanya kepadaMu . . .

Aku mohon agar Engkau memberikan rahmat dan keselamatan kepada nabi
saw. serta keluarganya dan sahabatnya.

Lipatkanlah cintaku kepadanya Ya Allah . . . tunjukanlah kepadaku dengan
kebenaran dan derajatnya.

Berikanlah pertolongan kepadaku agar bisa mengikutinya dan menjalankan
dengan adab dan sunnahnya.

Kumpulkanlah aku bersamanya, berikanlah kebahagiaan dengan bercakapcakap
dengannya.

Bebaskanlah aku dari segala malapetaka (kecondongan pada
dunia) dan rintangan (bisikan jahat syaithan) yang menjadikan sebab penghalang
sampai kepadaMu Ya Allah . . .

Baguskanlah pendengaranku bersamanya dengan nikmatnya percakapan
tersebut.

Mohon persiapkan aku untuk pertemuan dengannya dan jadikanlah aku ahli
yang pantas tuk berhidmah kepadanya . . .

Jadikanlah shalawatku kepadanya cahaya yang bersinar sempurna dan
disempurnakan, suci/tulus dan mensucikan yang menghapus segala
penganiayaan, kegelapan, keraguan, kemusyrikan, kekufuran, kedustaan dan
dosa.

Jadikanlah shalawatku perantara untuk mensucikan dan penembus untuk
memperoleh paling tingginya maqam ikhlash dan kekhususan sehingga tak tersisa
pada diriku ketuhanan [Rab] salainMu. Sehingga aku pantas tuk menghadap ke
hadirat-Mu dan menjadi orang-orang khosMu yang berpegang dengan tatakrama
dan sunnahnya. Senantiasa memohon bantuan dari kedudukannya yang luhur
 di setiap waktu dan masa.
***

<<< Muqaddimah majmu’ dzikir <<< ھذه دلائل الخیرات

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gwaenchanayo (^▿^)

Aku masih tidak dapat memahami cinta, jadi ku tak bisa mendekatinya. Tapi mengapa hatiku yang bodoh, terus saja berdebar? Aku dihantui oleh bayangnya lagi dan lagi. Sungguh aku tak mengerti.

Menjalani kisah kehidupan dari terbitnya fajar hingga ia tenggelam kembali, berganti dengan sinar rembulan yang menemani, bayangan itu masih saja menari dalam benakku. Menjadi begitu menyedihkan dan konyol. Seolah tak dapat dihentikan. Saat kupejamkan mata, yang ada hanyalah membuatnya semakin jelas dan nampak nyata.

Apa yang harus kulakukan? Hati terus saja mengikuti aliran cinta yang tak bertepi. Harapan cinta ini begitu menyakitkan. Aku masih saja bergeming.

Maafkan aku yang telah merindukannya. Maafkan aku.

Entah sampai kapan kuharus menahan rasa sakitnya. Entah sampai kapan aku mampu bertahan. Berharap ia menghilang, namun hati selalu menolak. Maafkan aku.

Lisanku tak mempu mengatakan apapun di saat hatiku sibuk berteriak  memanggil kehadirannya. Sungguh, maafkan aku.

Aku percaya suatu saat keajaiban kan tiba, namun aku tak tahu kapan ia kan datang.

Biar saja air mataku menetes sampai ia kering dengan sendirinya dan aku masih dalam posisiku. Bersembunyi dalam selimut ketidak beranian.

Menengadah. Tangan ini terus mengharap belaian rahmat-Mu.

Sudahlah. Semuanya semu.

Fatamograna itu terus mencuil keharmonisanku pada-Mu. Maafkan diriku yang lemah dan tak berdaya. Aku hanyalah manusia bisa yang belum mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Mohon bimbinglah aku. Tunjukanlah aku pada jawaban-Mu yang agung.

Maafkan aku yang telah lancang merindukan sesuatu selain-Mu dan kekasih-Mu. Maafkan aku.

Mencintai-Mu lah sebenar-benarnya hal yang terindah. Maafkan aku yang belum dapat merasakan kenikmatan itu dengan segenap hatiku.

Mencintai-Mu lah cinta yang terbalaskan. Mendapatkan lebih dari apa yang telah kucurahkan. Benar-benar hati ini tak tahu malu. Sungguh, maafkan aku. Astaghfirullahal’adziim...

Biar suatu saat nanti bila takdirku masih panjang berada di alam fana yang sekarang kusinggahi, mohon pertemukanlah aku dengan seseorang yang dapat bersama-sama menjalin cinta karena-Mu. Senantiasa berada dalam naungan keridhaan-Mu.

Namun bila waktuku tak cukup, mohon izinkan aku tetap diperkenankan membawa cahaya petunjuk-Mu yang lurus sebagai penerang jalanku. Senantiasa berada dalam naungan keridhaan-Mu.

I just can’t get away. Dangsin gyeote jamsi nuwo issseulgeyo. Jamsiman aju jamsiman.


Laa hawla walaa quwwata illa billahil’aliyyil ‘adziim... Laa ilaha illallah Muhammad rasuulullah...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Makalah Fiqih 'Uqud


MAKALAH
FIQIH UQUD
(Perikatan dan Perjanjian)
 







Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“FIQIH MU’AMALAH”
 

Dosen Pembimbing:
H. Moh. Riadlul Badi’, MA
Disusun oleh:
Nama
NIM
Annisa Ratna Pratiwi
13011261

 

FAKULTAS SYARI’AH
PRODI FIQIH DAN USHUL FIQIH
MA’HAD ‘ALY SA’IIDUSSHIDDIQIYAH JAKARTA
JAKARTA 2014
 

            KATA PENGANTAR

Hanya pertolongan-Mu, ya Allah, yang kami damba. Segala puji bagi Allah swt., yang telah menganugerahkan nikmat kehidupan di dunia menuju kehidupan di akhirat kelak. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammaad saw., beserta sahabat dan keluarganya, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Saya penyusun makalah, alhamdulillah telah berhasil menyelesaikan makalah “Fiqh Muamalat” tentang “Fiqh Uqud (Perikatan dan Perjanjian)” yang saya ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
            Semoga dengan tersusunnya makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami uraian seputar “Fiqh Uqud”.
Saya menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat ridha Allah swt.. Amin.


Jakarta, 24 Mei 2014
                                                                                                   


    Penyusun.



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR...................................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang......................................................................................... 4
B.     Rumusan Masalah................................................................................. 4
C.     Tujuan Penulisan Makalah............................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.    Definisi Akad............................................................................................. 5
B.     Fungsi Akad............................................................................................... 6
C.     Rukun-Rukun Akad............................................................................... 7
D.     Syarat-Syarat Akad............................................................................... 10
E.     Macam-Macam Akad............................................................................ 10
F.   Akibat Hukum dari Akad.................................................................. 15
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 17

















BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Makhluk sosial yang tak terlepas dari hubungan antar sesamanya guna pemenuhan kebutuhan hidup yang beragam, itulah manusia. Fiqih muamalah merupakan segala peraturan yang diciptakan Allah swt. untuk mengatur tata kehidupan hubungan manusia dengan manusia lain. Salah satu dari ruang lingkup fiqih muamalah yang beragam sesuai dengan pembagiannya adalah pembahasan tentang ‘uqud (perikatan dan perjanjian). Sesuatu yang mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji ('ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad).
Selain itu akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing. Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi akad, rukun-rukun serta syarat-syaratnya, pembagian atau macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus dan kita pun dapat mengetahui akibat dari hukum akad tersebut. Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.

B.     Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi
perumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah definisi akad ?
2.      Apakah fungsi akad?
3.      Apa sajakah rukun-rukun akad?
4.      Apa sajakah syarat-syarat akad?
5.      Ada sajakah macam-macam akad?
6.      Apakah hukum akibat dari akad?

C.      Tujuan Penulisan Makalah

1.      Memahami pengertian akad.
2.      Mengetahui fungsi akad.
3.      Mengetahui rukun-rukun akad.
4.      Mengetahui syarat-syarat akad.
5.      Mengetahui macam-macam akad.
6.      Mengetahui akibat hukum dari akad.
                                                             

BAB II
PEMBAHASAN

Manusia telah mengenal ihwal akad sejak dahulu kala. Bukan suatu hal yang aneh, jika ada orang yang mengikat dirinya dengan transaksi yang harus dilaksanakan saat itu juga atau beberapa waktu berikutnya. Namun belum diketahui secara pasti bagaimana pemikiran untuk mengadakan transaksi itu muncul dan faktor dominan yang melatarbelakanginya. Semua yang diungkap dalam masalah ini hanyalah perkiraan semata.

A.     DEFINISISI AKAD

Kata ‘aqad menurut bahasa berarti ikatan dan tali pengikat. Jika dikatakan ‘aqada al habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog.

Akad secara etimologi mencakup makna ikatan, pengokohan dalam penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqih, di mana kita mendapati sebagian kalangan ulama fiqih menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan. Sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan  tidak dinamakan akad tetapi dinamakan janji. Dengan landasan ini Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang.

Adapun makna akad secara terminologi syar’i yaitu: “Hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang diperbolehkan oleh syari’at yang mempunyai pengaruh secara langsung.” Ini artinya bahwa akad termasuk dalam katagori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.

Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua syarat yang ada, maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada barang yang diakadkan berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak pembuat akad. Pengaruhnya dari kondisi pertama kepada kondisi baru, jika pada jual beli, maka barang-barang yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli dan nilai harga dari tangan pembeli ke tangan penjual.
 Dibatasinya makna ikatan harus dalam bentuk yang diperbolehkan oleh syariat untuk mengeluarkan semua ikatan yang tidak dibolehkan oleh syariat seperti jika ada orang berkata: “Saya sewa engkau untuk membunuh si fulan dengan bayaran begini, atau merusakkan tanamannya, atau mencari harta,” lalu ia menjawab: “Saya terima,” maka ini tidak boleh dan tidak ada pengaruh dari akad yang dibuat.[1]  

B.     FUNGSI AKAD

Akad dalam Islam mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting, karena akad merupakan alat paling utama dalam menentukan sah atau tidaknya muamalah dan menggambarkan tujuan akhir dari muamalah. Jadi dapat dikatakan bahwa, apabila akadnya tidak sesuai, maka transaksi yang dilakukan menjadi tidak sah.[2]

URGENSI AKAD DALAM HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Manusia sebagai makhluk sosial pasti butuh pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berarti, setiap orang pasti butuh untuk hidup bersama dengan orang di sekelilingnya. Allâh yang Maha Pengasih dan Maha Tahu memberikan anugerah kepada manusia dengan menciptakan alam semesta untuk mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ Ѻ وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَѺ

Allâh-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi kaum yang berfikir. (al-Jâtsiyah(45):12-13)

Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari menyusun konsep, managemen dan mensukseskannya. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (al-Mâidah(5):1)
Oleh sebab itu, sangat diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi, terutama saat berbagai transaksi menggiurkan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Antusias masyarakat luas dan respon positif mereka telah mengecoh banyak kaum muslimin untuk ikut andil. Padahal seharusnya sebagai seorang muslim, kita harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama kita. Jika transaksi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama dan berminat melakukannya, barulah kita diperbolehkan ikut andil. Namun jika bertentangan dengan syariat, maka tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.[3]

C.      RUKUN-RUKUN AKAD

Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menentukan rukun akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad tersebut terdiri atas:
1.         Pernyataan untuk mengikatkan diri atau sigah al-‘aqd (ijab-qabul);
2.         Pihak-pihak yang berakad (muta’akidain); dan
3.         Objek akad (barang yang diakadkan).

Ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu sigah al-‘aqd. Sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad tapi termasuk syarat akad. Karena menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada dalam akad itu sendiri. Sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad sudah berada di luar esensi akad.[4]
 Berikut adalah perincian dari rukun-rukun akad.
Pertama: Kalimat Transaksi (Shigh al-‘Aqd).
Yang dimaksudkan adalah ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari transaktor untuk menunjukkan keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan sekaligus mengisyaratkan keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih membahasakannya dengan îjâb dan qabûl (serah terima), namun mereka berbeda pendapat tentang definisi ijâb dan qabûl. Menurut madzhab Hanafiyyah, ijâb adalah kalimat transaksi yang diucapkan sebelum qabûl, baik bersumber dari pihak pemilik barang (dalam akad jual-beli, sewa-menyewa) ataupun bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual beli).
Sementara menurut jumhur ulama, îjâb adalah statemen penyerahan dan qabûl adalah statemen penerimaan. Sehingga menurut jumhur ulama, ijâb itu mestinya diucapkan oleh orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon isteri dan lain sebagainya. Dan qabûl karena dia adalah penerimaan, maka berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa, calon suami dan lain sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijâb sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabûl.
Kedua: Pihak Pihak yang Melakukan Akad (Transaktor).
Maksudnya adalah dua orang yang terlibat langsung dalam transaksi. Kedua orang ini harus memenuhi syarat sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat tersebut adalah :
a). Rasyîd (mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini ditandai dengan ‘aqil baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya tidak sah.

b). Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah. (
عن تراض)
c). Akad itu dianggap berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyâr (hak pilih/opsi, boleh memilih antara dua, meneruskan akad atau mengurungkan). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ‘aib (cacat) dan sejenisnya.[5]

Ketiga: Obyek Akad (mahallul aqd/ al-ma’qûd ‘alaihi).
Sesuatu yang menjadi obyek akad, terkadang berupa harta benda/ barang dan terkadang non barang atau berupa manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual dalam akad jual beli, atau yang disewakan dalam akad sewa-menyewa dan sejenisnya.

Obyek ini juga harus memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu adalah :
1)     Obyek akad adalah suatu yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini disepakati para ulama fiqih. Penulis Bidâyatul Mujtahid (2/166), Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan, "(Jika obyek akad itu) barang, maka (syaratnya adalah) boleh diperjual-belikan, sedangkan (jika obyek akad itu adalah) manfaat (jasa) maka harus dari sesuatu yang tidak dilarang syari'at. Dalam masalah ini, ada beberapa masalah yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Di antara yang sudah disepakati (oleh para ulama') adalah batalnya akad sewa-menyewa atas semua manfaat (jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya haram. Demikian juga semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan ini, apabila obyek akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka akadnya tidak sah. Misalnya pada akad mu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang menjadi obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak terkait dengan hak orang lain.

2)     Obyek akad itu ada ketika akad dilakukan.

3)     Obyek transaksi bisa diserahterimakan. Barang yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.

4)     Jika obyeknya adalah barang yang diperjualbelikan secara langsung, maka traksaktor harus mengetahui wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan transaktor namun barang tersebut tidak ada di lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam, berdasarkan sabda Nabi saw., "Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam, hendaknya ia menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang jelas, dalam batas waktu yang jelas." [6]

Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, ada pula hal-hal lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad, maka para ulama menerangkan beberapa cara yang ditempuh, yaitu:

1.      Dengan cara tulisan (kitabah), seperti dua aqid yang berjauhan tempatnya, maka ijab-qabul boleh dengan cara ini, atas dasar para Fuqaha membentuk kaidah:

الكِتابة كالخِطاب

“Tulisan itu sama dengan ucapan.” Dengan ketentuan kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.


2.      Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, seperti seorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab-qabul dengan bahasa orang yang pandai baca tulis, lalu orang bisu dan tidak pandai baca tulis tersebut dapat melakukan akad dengan cara isyarat. Maka dibuatlah kaidah:

الإشارة المَعْهودَةُ لِأحْرَسٍ كالبَيان بالِّلسان
“Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah.”[7]

D.     SYARAT-SYARAT AKAD

Syarat dalam akad ada empat, yaitu :
a.         syarat berlakunya akad (in’iqod);
b.         syarat sahnya akad (shihah);
c.          syarat terealisasikannya akad (Nafadz); dan
d.         Syarat Lazim.

Syarat in’iqod ada yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti syarat yang harus pada pelaku akad, objek akad dan shigah akad, akad bukan pada sesuatu yang diharamkan dan akad-akad pada sesuatu yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat Shihah, yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz yaitu kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya). Syarat Lazim, yaitu bahwa akad dilaksanakan apabila tidak ada cacat.[8]

E.      MACAM-MACAM AKAD
Akad dibagi menjadi beberapa bentuk, tergantung dari aspek tinjauannya.

Pertama, pembagian akad ditinjau dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi menjadi dua:
1.      Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda tertentu. Baik untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non komersial, seperti hibah, hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu, seperti akad mudharabah, muzara`ah atau musaqah.
2.      Akan ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja tanpa ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai), mewakilkan, wasiat, dan lain-lain.
Ada akad yang tergolong maliyah dari satu sisi dan ghairu maliyah dari sisi yang lain. Contohnya: akad nikah, khulu’, shulhu, dan sebagainya.

Bagaimana bila sesuatu yang diwasiatkan berupa harta benda?

Jawaban 1.
1.      Apabila yang ditanyakan tentang‘ warisan’, maka itu bukan termasuk akad maliyah atau akad ghairu maliyah, karena salah satu rukun akad yakni harus adanya shighah (ijab dan qabul), sedangkan dalam hal warisan tidak terdapat shighah.
2.      Apabila yang ditanyakan tentang ‘wasiat yang berupa harta’, maka itu termasuk akad maliyah.
Wasiat yang ada dalam contoh akad ghairu maliyah di atas adalah wasiat yang dalam bahasa fiqihnya al-Wishayyah atau al-Isha. Sedangkan ‘wasiat yang berupa harta’ itu termasuk akad maliyah dengan bahasa fiqihnya al-Washiyyah. Kalau warisan bukan termasuk akad, karena di dalamnya tidak ada rukun ijab dan qabul.

Berikut referensi yang diambil dari kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah:

الْعُقُودُ الْمَالِيَّةُ وَالْعُقُودُ غَيْرُ الْمَالِيَّةِ :
الْعَقْدُ إِذَا وَقَعَ عَلَى عَيْنٍ مِنَ الأَعْيَانِ يُسَمَّى عَقْدًا مَالِيًّا بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، سَوَاءٌ أَكَانَ نَقْل مِلْكِيَّتِهَا بِعِوَضٍ، كَالْبَيْعِ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهِ مِنَ الصَّرْفِ وَالسَّلَمِ وَالْمُقَايَضَةِ وَنَحْوِهَا أَمْ بِغَيْرِ عِوَضٍ، كَالْهِبَةِ وَالْقَرْضِ وَالْوَصِيَّةِ بِالأَعْيَانِ([9])وَنَحْوِهَا، أَوْ بِعَمَلٍ فِيهَا ، كَالْمُزَارَعَةِ وَالْمُسَاقَاةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَنَحْوِهَا.
أَمَّا إِذَا وَقَعَ عَلَى عَمَلٍ مُعَيَّنٍ دُونَ مُقَابِلٍ كَالْوَكَالَةِ وَالْكَفَالَةِ ، وَالْوِصَايَةِ([10])، أَوِ الْكَفِّ عَنْ عَمَلٍ مُعَيَّنٍ كَعَقْدِ الْهُدْنَةِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَهْل الْحَرْبِ ؛ فَهُوَ عَقْدٌ غَيْرُ مَالِيٍّ مِنَ الطَّرَفَيْنِ.[11]

Kita pahami terlebih dahulu pengertian di atas, yakni:

1)     Akad maliyah: yaitu apabila transaksi tersebut bersangkutan pada harta benda tertentu dinamakan akad maliyah menurut kesepakatan ulama fiqih, sama halnya dengan tukar menukar barang secara komersial seperti: jual beli dan segala macam jenisnya dari thasarruf, salam, muqayyadah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat non komersial seperti: hibah, qard, wasiat dengan harta, dan lain sebagainya ataupun yang berkaitan dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu sepert: akad muzara’ah, mudharabah, dan lain sebagainya
2)     Akad ghairu maliyah: yaitu apabila transaksi tersebut hanya berkaitan dengan pekerjaan tertentu tanpa adanya kompensasi seperti: akad perwakilan (wakalah), akad jaminan (kafalah), dan wasiat, atau cukup dengan perbuatan seperti akad hudnah baina al-Muslimin wa ahlu al-Harb, maka itu adalah akad ghairu maliyah dari dua sisi.
Selanjutnya kita pahami perbedaan kedua contoh di atas, yakni:

a)     Wasiat yang berupa harta (baca;  (al-Washiyyah) الوصية)
Akad yang berupa wasiat dengan harta tersebut termasuk akad maliyah, karena transaksi di sini lebih mengarah pada wasiat pada harta atau benda yang diwasiatkan. Misalkan, Zaid berkata: “Aku wasiatkan 100 dinar ini kepada Umar.” Dapat disimpulkan bahwa Zaid memfokuskan akad tersebut pada hartanya yang dituju, oleh karena itu masuk dalam definisi akad maliyah.

b)     Wasiat (baca; (al-Isha) الإيصاء atau (al-Wishayyah), الْوِصَايَةِ)
Akad yang berupa wasiat (untuk mengelola sesuatu) secara muthlak tersebut termasuk akad ghairu maliyah, karena transaksi di sini lebih mengarah pada pekerjaan yang ingin diperoleh. Misalkan, Zaid berkata: “Aku wasiatkan pada Umar dalam melunasi hutangku, atau dalam mengembalikan barang yang dititipkan kepadaku.” Dapat disimpulkan bahwa Zaid lebih mengarahkan pada pekerjaan Umar yang tanpa kompensasi tersebut, oleh karena itu masuk dalam definisi akad ghairu maliyah.

Jawaban 2.
Wasiat yang berupa harta benda itu termasuk akad maliyah dari satu sisi, karena akad tersebut berkaitan dengan harta benda yaitu sesuatu yang diwasiatkan dan termasuk akad ghairu maliyah dari sisi yang lain, karena pada dasarnya atau pada umumnya wasiat termasuk akad ghairu maliyah.

Kedua, pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya, dibagi dua:
1.      Akad lazim, adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad kecuali dengan kerelaan pihak yang lain. Contoh: akad jual-beli, sewa-menyewa, hiwalah, dan semacamnya.
2.      Akad jaiz atau akad ghairu lazim, adalah akad yang tidak mengikat. Artinya salah satu pihak  boleh membatalkan akad tanpa persetujuan rekannya. Contoh: akad pinjam-meminjam, wadi`ah, mewakilkan, dan lain-lain.

Ketiga, pembahasan akad ditinjau dari keterkaitan dengan hak pilih.
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:
1.         Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua bentuk:
a.       Akad yang memberi kesempatan untuk khiyar majlis dan khiyar syarat. Misalnya akad jual beli yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh (serah terima), transaksi jasa untuk suatu pekerjaan tertentu.
b.      Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Seperti transaksi tukar-menukar uang, transaksi salam, dan transaksi tukar menukar barang ribawi. Semua transaksi ini tidak boleh ada khiyar.

2.         Akad mengikat namun bukan komersial. Seperti akad pernikahan, khulu`, wakaf, atau hibah. Semua akad ini tidak ada hak pilih untuk membatalkan dari salah satu pihak.

3.         Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak mengikat pihak lainnya. Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi pihak rahin (orang yang menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat bagi murtahin (orang yang memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi ini tidak ada hak khiyar. Karena akad bagi murtahin adalah akad jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi kapan saja tanpa menunggu persetujuan pihak rahin.

4.         Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat transaksi. Seperti akad syirkah, mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah, atau wasiat. Pada kasus transaksi semacam ini tidak ada hak khiyar karena masing-masing bebas menentukan keberlanjutan transaksi tanpa harus ada persetujuan dari pihak lain.

5.         Akad pertengahan antara jaiz dan lazim, seperti musaqah dan muzara`ah. Yang lebih mendekati kebenaran, keduanya adalah akad jaiz. Sehingga tidak perlu ada hak khiyar, karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak lain.

6.         Akad lazim, dimana salah satu pihak transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah. Dalam akad ini tidak ada khiyar, karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya tidak memiliki hak khiyar. Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak memiliki hak khiyar maka pihak yang lain juga tidak memiliki khiyar.

Keempat, akad ditinjau dari tujuannya, dibagi dua:
1.      Akad Tabarru` (akad non komersial). Contoh akad hibah, `ariyah, wadi`ah, wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dan lain-lain.
2.      Akad Mu`awadhat (akad komersial). Contoh: jual beli, salam, tukar-menukar mata uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara`ah, musaqah, dan lain-lain.

Kelima, pembagian akad berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat ataukah tidak dibagi menjadi dua:
1.      Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan hak kemanfaatan dalam sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual beli yang sah maka konsekwensinya, penjual berhak mendapatkan uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
2.      Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap tidak sah jika tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan konsekwensi apapun. Baik karena bentuk transaksinya yang dilarang, seperti judi, riba, jual beli bangkai, dan seterusnya. Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak terpenuhi, misalnya menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila, dan seterusnya.

Keenam, akad terkait adanya qabdh (serah-terima) dibagi dua:
1.      Akad yang tidak dipersyaratkan adanya qabdh di tempat akad. Misalnya akad jual beli secara umum, ijarah, nikah, wasiat, wakalah, hiwalah, dan yang lainnya. Dalam akad jual beli, transaksi jual beli sah jika sudah ada ijab-qabul. Baik sekaligus dilakukan serah terima barang maupun serah terimanya ditunda. Demikian pula akad nikah. Tepat setelah akad, masing-masing telah berstatus suami istri, baik serah terima mahar dilakukan di tempat akad maupun ditunda.
2.      Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat transaksi. Akad ini dibagi menjadi beberapa macam:
a.       Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh untuk dinyatakan sah berpindahnya kepemilikan. Meskipun akadnya dianggap sah sebelum adanya qabdh, namun kepemilikan belum berpindah sampai  Seperti hibah, hutang, atau `ariyah (pinjam-meminjam). Dalam transaksi hibah, barang yang hendak dihibahkan tidak secara otomatis pindah kepada orang yang diberi hanya dengan ijab-qabul. Namun disyaratkan adanya penyerahan barang dengan izin orang yang memberi. Demikian pula dalam transaksi hutang-piutang. Kreditur tidak secara otomatis memiliki uang yang dihutangkan dengan sebatas ijab-qabul, sampai dia menerima uang tersebut dari debitur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, andaikan uang yang hendak dihutangkan itu hilang sesudah transaksi namun sebelum dilakukan serah terima, maka uang itu menjadi tanggungan debitur bukan kreditur.
b.      Akad yang dipersyaratkan adanya  qabdh untuk bisa dinilai sah. Jika tidak ada serah terima di tempat transaksi maka transaksi dianggal batal. Contoh: transaksi tukar-menukar mata uang, tukar-menukar barang ribawi, transaksi salam, mudharabah, musaqah, atau muzara`ah. Ini berdasarkan hadis, Nabi saw. bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali yang beratnya sama dan tunai”. (HR. Muslim 1584). Untuk jual beli salam (uang dibayar di muka, barang tertunda), mayoritas ulama berpendapat bahwa uang harus sudah diserahkan sebelum berpisah antara penjual dan pembeli. Ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa yang ingin melaksanakan transaksi salam maka hendaknya dia tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya”. (HR. Muslim 1604).

Ketujuh, ditinjau dari konsekwensinya, akad dibagi dua:
1.      Akad Nafidz (terlaksana). Akad yang sempurna untuk dilaksanakan; akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. Akad dianggap nafidz ketika akad tersebut sah dan tidak ada lagi keterkaitan dengan hak orang lain. Contoh akad jual beli yang sempurna. Barang yang dijual tidak ada sangkut pautnya  dengan orang lain, sementara uang yang diserahkan adalah murni milik pembeli. Akad nafidz hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyatu tasharruf (kemampuan untuk bertransaksi).
2.       Akad Mauquf (menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain tanpa izin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad mauquf hukumnya sah, hanya saja konsekwensi akad bergantung pada pemilik barang atau pemilik uang. Sehingga pembeli tidak boleh menerima barang sampai mendapatkan izin dari pemiliknya. Demikian pula penjual tidak boleh menerima uang sampai dia mendapat izi dari pemilik uang.

Kedelapan, Akad ditinjau dari batas waktunya
1.      Akad Muwaqqat (terbatas dengan batas waktu tertentu). Akad muwaqqat adalah semua akad yang harus dibatasi waktu tertentu. Misalnya: ijarah, musaqah, atau hudnah (perjanjian damai).
2.      Akad Mutlaq (tanpa batas waktu), ada dua bentuk:
  1. Akad yang tidak boleh dibatasi waktu tertentu. Misalnya: akad nikah, jual beli, jizyah, atau wakaf. Tidak boleh seseorang nikah untuk jangka waktu tertentu. Demikian pula terlarang menjual barang, tetapi untuk jangka waktu tertentu.
b.      Akad yang boleh dibatasi waktu, namun terkadang tidak membatasi, seperti hutang. Terkadang dibatasi waktu, namun jika kreditur tidak mampu melunasi pada batas waktu yang ditentukan maka wajib ditunggu.[12]

F.      AKIBAT HUKUM DARI AKAD

Menurut ulama fikih, setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula. Seperti perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal yang dibenarkan syarak.  Seperti terdapat cacat pada objek akad, atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.[13]










BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu. Terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad.
Adapun mengenai macam-macam akad dapat dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, konsekwensinya, tujuannya, dan lain-lain. Semua mengandung unsur yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari.















                                    DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: AMZAH.
Rasyid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ulama Kementrian Agama Kuait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Maktabah Syamilah.



                                                    




[1] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat. (Jakarta: AMZAH. 2010) hal. 15-18
[5] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2012) hal. 286-287
[7] Drs. H. Hendi Suhendi, M.Si., Fiqih Muamalat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002) hal. 48-49
([9]) الوَصية شرعاً : تبرع بحق مضاف ولو تقديراً لما بعد الموت ، ليس بتدبير ولا تعليق عتق .
صورة الوصية :
الوصية للمعين، أن يقول زيد : أوصيت لعمرو بمائة دينار . الوصيّة للجهة، أن يقول زيد : أوصيت للفقراء بهذه الصيغة .
([10]) الوِصاية قد عبرت بـالإيصاء، والإيصاء شرعاً : إثبات تصرف مضاف لما بعد الموت .
صورة الإيصاء:
أن يقول زيد : أوصيت إلى عمرو في قضاء ديوني ، و رد ودائعي و النظر على أولادي و محاجيري .
انظر: (الياقوت النفيس، ص: 33)
[11] Ulama Kementrian Agama Kuait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 30, hal. 227-228, (Maktabah Syamilah).
[12] http://yufidia.com/akad (diakses 19 Januari 2014)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS