Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Maaf, Hati yang Sakit, dan Harga Diri yang Terluka

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

“Bila masih ada istilah 'Aku menerima dan memberi maaf, tapi tak akan melupakan perbuatanmu,' itu artinya, hati masih terimpit oleh kemarahan. Hati yang semacam itu lama-lama bisa menjadi keras. Lebih keras dari batu yang paling keras. Meminta dan memberi maaf, mestinya meluluhkan semua. Memulai dari yang baru dan tidak lagi mengingat-ingat perbuatan yang pernah menyakiti dan disakiti.” – hal. 79 



Maaf dan harga diri yang terluka. Rasanya, masih belum menemukan ukuran yang sesuai, bagaimana cara menakar kemudian menjadikannya komposisi yang pas untuk dijadikan bahan bakar kapal kehidupan yang masih baru berlayar ini. 

Bukan hal besar memang, meskipun tidak semuanya harus diungkapkan, tetapi sesuatu yang tidak dikomunikasikan dengan jelas, adakalanya membuat sebelah pihak bertanya-tanya. Sebenarnya ada apa, mengapa demikian, apakah itu...? Ya sudah, berpura-pura saja tidak terjadi apa-apa. Tetapi, setiap kepura-puraan tentu memiliki kenyataan. 

Tetapi, bagaimana kalau hal tersebut tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali? Sudah bertanya tetapi tidak ada balasan apapun. Membuat angan-angan terbang tak tentu arah. Apa rasanya tergantung seperti itu? 

Tetapi, jiwa yang sedang tidak baik karena hati yang sempit mungkin (kebanyakan manusia fluktuatif betul kadar keimanannya, kesabarannya) atau barangkali hormon yang sedang tidak stabil karena pengalaman biologis, hal simpel saja bisa menjadi hal yang rumit. Yah, seperti wanita yang sedang kedatangan tamu rutin bulanan, ataupun sedang hamil, pasca melahirkan, saat menyusui, dan lain sebagainya. Laki-laki juga mengalami ketidakstabilan tersebut dengan kondisi yang berbeda. 

Tetapi, terus saja tetapi-tetapi itu beranak pinak.

Segalanya mesti memiliki alasan, entah itu memang alasanya atau sekadar alasan, dan alasan yang masih tersimpan seringkali membuat kita meraba-raba. 

Kira-kira yang seperti itu bisa menjadi pemicu rasa sakit dan luka, kah? Hati yang sakit dan harga diri yang terluka? 

Hei, apakah kau sedang melantur? Mengapa sampai pada pembahasan itu? 

Entahlah, kalau begitu anggap saja tidak apa-apa. Bukan. Bukan mencoba melarikan diri. Tapi setiap pribadi memiliki caranya sendiri untuk melakukan pertahanan. 

Tunggu, ada apa dengan pertahanan diri? 


"Kapal Karam Dilanda Badai" Raden Saleh  (1840)
"Kapal Karam Dilanda Badai" Raden Saleh  (1840)


Nampaknya kapal kehidupan itu sedang dilanda badai, jadi ia sedang melakukan upaya untuk tetap bertahan di lautan yang sedang tidak baik-baik saja. 



Kabarnya, yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang menyakitkan hati kita, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allah tidak mengizinkannya.  Begitu pula dengan tindakan kita yang disadari ataupun tidak telah melukai orang lain. 

Mengapa tidak saling maaf-memaafkan?

Pemaafan, ya, itu adalah langkah untuk menghentikan perasaan jengkel, marah,  ataupun dendam karena merasa tersakiti atau terzalimi. 

Lebih dari itu, kiranya, pemaafan juga proses menghidupkan sikap dan perilaku positif terhadap orang lain yang pernah menyakiti. 

Setiap orang pernah melakukan kekhilafan, apa salahnya untuk memaafkannya, toh kita pun pernah melakukan kesalahan. Bukan kah senang, lega, jika keluputan itu termaafkan? 

Pasti memerlukan proses dan perjuangan untuk memaafkan. Adanya kebaikan bagi diri kita dan orang lain, akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan. Tuhan saja memafkan, mengampuni hamba-Nya, mengapa sesama hamba tidak bisa melakukan hal serupa. 

Konon, para ahli psikologi pun memercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual.

Mengapa tidak introspeksi? 

Apakah sakit dan luka itu memang berasal dari luar, atau boleh jadi dari dalam diri kita sendiri. 

Ya, yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk  rasa sakit, luka hati, kegundahan, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Agaknya, yang membuat gelisah bukanlah masalah yang menguji, tetapi bahasa rindu Allah yang gagal kita pahami. 




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hujan Selasa Sore


Bismillahirrahmanirrahim 


Sekarang hari Selasa, sa, sa, sa, sa, sa... (bacanya pakai nada, ala suara gaung yang berulang-ulang deh, hehehe). Sorenya hujan, euy. Selesai zikir salat Ashar di masjid, bingung mau pulang. Hujan deras sederas-derasnya, banjir pulak. Sandal-sandal santri sampai pada mengambang udah kayak kapal-kapalan. Galau kan jadinya, mau ngerasa senang karena penampakannya kok lucu gitu, tapi sedih juga karena serba basah dan licin. 

Santri putri sudah pasti heboh, teriak karena kebasahan menerjang hujan, rempong mencari sandalnya yang berlayar entah ke mana, dan lain sebagainya. Yah, wanita memang seperti itu. 

Karena takut hanyut, ada yang mengamankan sandalnya ke pinggiran tangga masjid. Bukan di tangga, tapi di pinggirannya sodara-sodara, kan repot kalau hilang, lapor mamah nanti, Mah, sandalku hilang, hanyut pas banjir di pondok, mau minta tolong bawakan sandal baru ya, Mah. Hmm, ada saja yang modelnya begitu. 

Ada juga yang keasyikan mainan air, mentang-mentang hujan. Emang dasar anak-anak. Ya sudah, lah. Insyaallah berkah. 

Alhamdulillah hujan mulai mereda. Nggak reda-reda amat, tapi seengaknya nggak segeger tadi, rombongan air hujannya membasahi pondok kami. Aku juga mau ikut mengamankan sandal, deh. 

Lah, yang satunya sudah ada di tengah sana. Wahai sandalku, kalau kalian berjodoh insyaallah akan bersatu kembali, kok. Yang sebelah kanan aku taruh di pinggiran tangga masjid, yang kiri aku biarkan menggenang di sana. Kiri, aku titipkan kamu sama Allah, ya. Semoga kamu tidak hilang dan menjadikan si kanan menjomblo. 

Aku masuk lagi ke dalam masjid, menunggu hujannya lebih reda dari sekarang. Daripada bengong, mending baca salawat. Mulutku komat kamit, tapi pandanganku jelalatan melihat santri putri yang berusaha pulang ke asrama untuk rapi-rapi karena sore ini waktunya belajar di Madrasah Diniyah a.k.a. Madin. Masyallah. Memang mondok itu membahagiakan sekali, pemirsa. Aku senyam-senyum saja dari tadi melihat fenomena ini. 

Subhanallah, ada seorang anak membawa payung dan dia beralih profesi menjadi ojek payung dengan suka rela. Baik banget dia, bolak-balik menjemput temannya agar bisa balik ke asrama. Diriku terharu. 

Aku masih duduk di samping jendela. Eh iya, kamarku kebanjiran nggak, ya? Kayaknya sih, iya. Mau pulang tapi masih belum pengen, gimana dong. 

Melihat genangan air yang modelnya seperti itu, lebih baik aku pulang saja, deh. 

Sambil memegang sajadah dan sandal kanan, aku tolah-toleh mencari pasangannya. 

"Miss Rara, itu sandal Miss," Moza menunjuk-nunjuk ke samping tangga. 

"Oh, iya. Makasih Moza."

"Sama-sama, Miss." Moza meraih tanganku, salim. 

"Miss, ayo bareng sama saya pakai payung, Miss," kata anak tadi yang namanya tidak kuketahui. Aku hanya tahu kalau dia santri kelas 1 SMP penghuni asrama lantai satu, kamar nomor 1, selorong dengan kamarku. 

"Kamu baik banget minjemin payung, Dek." Senang sekali diriku ini. Alhamdulillah. 

"Iya Miss. Kan bulan Ramadhan, Miss." Dia tersenyum. 

Sesampainya di dekat gerbang aku berterima kasih kepadanya, "Makasih banyak ya, Dek. Semoga berkah." Nggak mau berhenti senyum aku tuh, melihat gadis kecil itu. 

"Sama-sama, Miss." Raut wajahnya nampak bahagia. Apalagi aku, yang sudah dibantu. 

Antara kaget dan tidak. Benar, kamarku kebanjiran. Samping masjid banget soalnya, di bagian selatan kamarku tadinya adalah pintu, hanya saja sekarang ditutup permanen tetapi tidak disemen, jadi kalau hujan deras dan volume air yang menggenang di sekitar naik, kamarku terdampak banjir. 

"Miss, banjir banget, ini. Ya, Allah...," kata Fia yang memindahkan seperangkat alat tidurku.

"Kasurku basah banget ya, ujungnya." 

"Iya Miss, tadi pas aku mau ke lemari nggak nggeh. Tau-tau, kok kaki aku menerjang air." Fia, Fia, kata-katamu itu, loh. Gimana nggak bikin ngakak, coba. Ya, meskipun ngakaknya cuma di dalam hati. 

Kami pun bahu-membahu mengeringkan airnya. "Kayak gini enaknya pakai pengki ya Fi, tapi mau pinjam pengki anak-anak yang ada malah jadi kotor semua," kataku sambil memeras bajuku yang kupakai mengelap genangan air. Bajunya sudah robek, sekalian saja nanti dibuang. Maafkan diriku duhai baju, aku tak sanggup memuseumkan dirimu. 

"Pakai pengki mini Miss aja, kan ada," Fia memeras kain pel. 

"Oh iya, bener banget deh kamu, Fia." Aku punya satu set pengki dan sapu mini. 

Airnya banyak juga ya, hampir seember penuh. "Kok nggak abis-abis ya, airnya," kata Fia. 

"Iya nih, kita berasa main air di tepi pantai, deh." tanganku menggenggam pengki mini, menyerok air yang menggenang ke dalam ember. 

Tidak lama kemudian airnya mulai surut. Makin semangat nih, ngelap-ngelap mode on-nya. Setelah dipel semua lantainya, aku menyalakan kipas, biar cepat kering. 

Setelah mencuci kain pel dan bersih-bersih diri, lantai kamarnya sudah kering. Alhamdulillah bisa selonjoran deh, kita. 

😇 Have a blessed day. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS