Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Rencana dan Keputusan

Manusia dapat membuat/merancang rencana, tapi Allah yang menentukan. Allah yang berkehendak. 

Baru saja merencanakan untuk pergi berziarah, berwisata ke Banten, lalu bersilaturahmi ke rumah teman di Lampung, sekalian mampir sowan ke rumah guruku di sana, tapi ternyata belum diberi kesempatan. 

"Madin ziarah ke makam Kramat, Cigundul, dan wisata ke Taman Cibodas." begitulah keputusan ketua rihlah Madin aka Madrasah Diniyah. 

"Mba Anis, aku kayaknya gak tahu ini jadi pulang atau enggak, soalnya lautnya lagi naik airnya." chat Laila, mengabarkan berita yang bisa dibilang berita duka. 

"Yah..., serem yah?"

"Iya, cuma belum ngomong lagi sama bapak, lagi pergi, di rumah ada mbak doang,  tapi kayaknya sih, nggak boleh." serasa berat, tapi inilah kenyataan (alay mode on).

"Lagi rame juga di pengurus Madin tentang Anyer. Rencana besok, ziarah dialihkan ke Bogor," jawabku memberikan info terbaru. 

"Mbakku yang rencana kita kunjungi rumahnya di depan laut juga ngungsi. Air masuk, pintu-pintu jebol."

"Ya Allah, semoga aman ya saudara kita di sana."

"Amiiin. Rumahku juga depan laut Mba Anis." 

Sabar. Semoga kita semua senantiasa dilindungi Allah. Amin ya Allah. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Anti Tikus, Anti Banget

Well, ini bukan sekadar iseng, melainkan berbagi kesenangan belaka. 

Alkisah, hiduplah manusia-manusia yang terganggu oleh tikus yang merajalela. 

Jadi begini pemirsa, berhubung gue tinggal di asrama, dan liburan pun telah tiba, otomatis kita-kita (manusia) pada mudik ke desa dan kotanya masing-masing. Lalu, asrama kosong melompong begitu saja? Tidak. Waktunya para tikus unjuk gigi dan berpesta, plus buang hajat mereka dengan jahatnya (seenaknya udel, dan di mana saja, semaunya, sekeluarnya).

Fix, liburan dimulai pada tanggal 22 Desember, otomatis gue pulang ke kota gue, di Bekasi (asrama gue di Jakarta, Kebon Jeruk, tepatnya). Rencananya balik ke asrama lagi tanggal 23, (cepat amat?) orang pulang buat pembekalan doang (bekal jajan dan sebagainya). Tanggal 24 mau ziarah ke Banten lalu refreshing ke pantai, tanggal 25 langsung berlayar ke Lampung (asyik bener dah, trepeling). Semuanya baru rencana, entah bagaimana nantinya, semuanya kehendak Allah. 

"Mah, kok pas Mba Anis goreng nasi kayak ada yg lompat ya, hitam dan kecil," tanya gue ke nyokap

"Jangan-jangan tikus kecil kali, di bawah wastafel, ya?"

"Eh, iya bener, di sekitaran situ, tadi."

"Padahal sudah mamah taruh mengkudu di bawah wastafel," eh, mengapa gerangan si mengkudu diletakan di situ?

"Kok dikasih mengkudu, Mah?"

"Iya, dikasih Mpok Titi biar tikusnya kabur. Bau mengkudu kan nggak enak." Dari situ gue punya ide. 

"Mamah, Mba Anis juga mau dong mengkudunya, buat ngusir tikus."

"Ya udah ambil aja. Emang di asrama ada tikus?"

Yak elah, nyokap gue tahu aja, "Banyak malah Mah, apalagi kalau wayah liburan."

Malam pun berganti pagi, dan Mpok Titi pun belanja lagi di toko nyokap gue lagi
"Nis, nih lihat mengkudunya, dicium dulu," nyokap seraya menyodorkan buah berkhasiat itu ke, gue. "Mau dicariin lagi sama Mpok Titi, tuh." 

"Kok udah matang, mengkudunya? Memang manjur?"

"Yang masih muda malah, nggak bau. Nih, coba cium dulu, yang ini."

Dengan berpose manis, gue mengendus aroma mengkudu yang pahit.


"Alah, mak. Baunya nggak banget, Mah," aroma yang sekali endus, serasa mau mampus.

Beberapa menit kemudian, sekantung keresek hitam kecil mengkudu pun tiba.

"Nih, dari Mpok Titi."

"Ini yang muda, Mah?" gue endus, tapi nggak bikin mampus yang ini, mah. Nggak berbau.

"Udah bawa aja, nanti juga matang."

"Ya udah. Makasih ya, Mah. Nanti Mba Anis taruh di depan pintu deket balkon kamar asrama. Ew, semoga manjur.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nenek Daun

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan (Book 2)

Sepertinya Salza terlampau lelah. Seharian ia mengerjakan laporan untuk dua instansi. 

"Teh Mita, Salza minta dibangunin jam empat katanya kalau tidur-tidurannya jadi tidur beneran." Semoga setengah jam cukup buat dia istirahat. 

"Iya Ki, nanti aku bangunin." Semilir angin merembes masuk melalui pintu balkon kamarku, sore ini sepertinya akan turun hujan. 

Sejak seminggu lalu ia sering mengigau, sesekali merintih. Badannya pasti kelelahan, biasanya begitu. 

Aku teringat mimpinya, tumben-tumbenan ia bercerita. 

"Teh, aku mimpi, tapi jelas, padahal biasanya setting dalam mimpiku itu berantakan. Pindah-pindah gitu, Teh."

"Eh, mimpi apa kamu, Sa?"

"Mimpi nenek di masjid," wajahnya masih polos seperti biasanya. 

"Nenekmu, Sal? ia menggeleng lalu tersenyum. 

"Bukan, Teh. Nenek nggak dikenal." Ah, beruntung sekali, pantas saja kamu beberapa kali dipanggil "dek", coba mereka tahu berapa usiamu. "Teteh, dengerin ceritaku, ya?"

"Sok, atuh."

"Sepertinya waktu itu siang hari. Nggak tahu kenapa tiba-tiba aku masuk ke pekarangan masjid yang sepi dan hanya dipenuhi dedaunan di tanah."

"Kamu sendirian, Sa?"

"Ada nenek nggak dikenal. Nenek itu mungutin dedaunan, padahal jumlahnya banyak dan berserakan di pekarangan."

"Cuma berdua berarti?"

"Sepertinya begitu, nggak ada orang lain soalnya," ia menghela napas sejenak, "Lihat daunnya, aku males banget Teh, tapi nenek itu mungutin satu-satu, mulutnya komat-kamit apa gitu, nggak kedengaran, posisi kami masih berjauhan. Lalu daun yang diambilnya dari tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik besar."

Salza mencari sapu, setelah menemukannya di pojokan gudang, ia menghampiri nenek tadi.

"Jangan, jangan pakai sapu lidi!" 

"Tapi dedaunannya banyak sekali, Nek. Lebih cepat pakai ini," sembari melakukan gerakan menyapu. 

"Nak, biarkan saya melakukan ini sendiri."

"Tapi nanti Nenek capek, Nek."

"Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?" tanya si nenek sambil merebut pelan sapu lidi itu dari tangan Salza. 

Katanya, mendengar ucapan nenek itu, seperti ada yang menusuk di sanubarinya. Bukan hanya Salza, aku yang mendengar ceritanya pun merasakan hal yang sama. 

Salza terdiam cukup lama setelah mendengar perkataan si nenek, tubuhnya terasa kaku. Ia hanya bisa memandangi nenek tua yang memungut daun seraya mengucapkan "Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa 'ala ali sayyidina Muhammad," lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik besar. 


Inspirated by: 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

49 Hari

Days by Days: Dua Misteri Masa Depan 
(Book 1)

Layar komputerku masih menyala. Ah, sedikit lagi. 

"Saya sangat senang karena kamu nggak kabur, panik, atau punya permintaan yang aneh-aneh, tapi...," diam, aku memerhatikan sosok berjubah hitam di hadapanku, "Kamu sadar kan, setiap kali saya ingatkan kalau waktumu terus berkurang?"

"Saya ingat kok, tinggal 49 hari lagi Tuan Malaikat."

"Karena itu saya harap kamu berpikir untuk terus berbuat baik, tanpa memusingkan perkara yang kurang perlu."

"Baik. Saya mengerti." Kok duduknya jadi formal begini, biasanya juga santai. Ah..., ini canggung atau sikap siap siaga, ya? 

"Kamu ingat, kapan terakhir kali benar-benar berniat untuk berbuat kebaikan?"

Aku malu, "Ah, itu nggak..."

"Itu maksud saya."

"Siap. Saya mengerti, Tuan Malaikat."

Aku tidak tahu mengapa memanggilnya dengan sebutan itu, sepertinya karena suara Tuan Malaikat terdengar agak berat. Sudah menjadi kebiasaan dan ia tidak mempermasalahkannya. 

"Maaf ya Sa, saya nggak mau waktumu sia-sia begitu saja."

"Nggak apa-apa. Saya yang membuat kamu kesulitan ya, Tuan Malaikat?"

"Eh, saya sih nggak, tapi..." dia menunjukkan sesuatu di telapak tangannya, "Si Shahih jadi buncit karena tidak ada kerjaan. Kamu nggak berbuat baik, dia jadi gabut." 

Kaget, "Hah, memang dia bisa buncit juga? 

Makhluk kecil berjubah merah memandangi teman di sampingnya yang mengeluarkan sesuatu dari balik jubah putihnya. 

"Nggak ding, itu kertas dari buku catatannya yang dia sumpal ke perutnya," bisa-bisanya bercanda seperti itu. Kok, kesal yah? "Jangan salahkan saya, habis kamu nggak memberinya sesuatu untuk dicatat, sih."

Makhluk itu disebut Shahih yang artinya benar karena tugasnya mencatat kebaikan, perbuatan baik yang aku lakukan. Sedangkan yang berjubah merah di sampingnya bernama Khata yang berarti salah, ia memiliki tugas kebalikan dari apa yang Shahih lakukan. Mereka sama-sama mengenakan jubah, hanya saja berbeda warna dan ukuran. Shahih dan Khata berukuran kecil, sedangkan Tuan Malaikat berukuran tinggi dan besar. Aku tak dapat melihat bagaimana wajah di balik jubah tersebut, yang dapat kusaksikan hanya jubah dengan tudung kepala, itu saja.


Inspirated by: 90 Days

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS