Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Setangkai Bunga

 


Bunga purple sapphire sendiri sebenarnya bukan benda atau entitas dengan filosofi yang mapan seperti batu permata atau simbol tertentu. Namun, jika kita mengaitkannya dengan filosofi yang umumnya terkait dengan bunga dan batu permata, warna ungu sering kali dikaitkan dengan kemewahan, kebijaksanaan, dan spiritualitas.

Purple sapphire sebagai batu permata ungu mungkin dianggap sebagai simbol kekuatan spiritual dan ketenangan pikiran. Warna ungu dalam banyak budaya juga dikaitkan dengan kedalaman, kebijaksanaan, dan keanggunan.


Bunga, aku senang jika menyimbolkan seorang wanita sebagai setangkai bunga. Entah karena aku yang menyukainya atau karena terpikat dengan keindahannya. 

Wanita yang tangguh dan indah, mirip dengan bunga yang kukuh di hadapan tantangan dan memancarkan keindahan dalam kelembutan. Seperti bunga yang tetap tumbuh di tengah badai, wanita tangguh memiliki keteguhan hati dan semangat yang tak tergoyahkan di dalamnya. Keindahannya bukan hanya terletak pada penampilan fisik, tetapi juga dalam kelembutan sikap, kebijaksanaan, dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan. Sebagaimana bunga yang mempesona dengan warna-warna dan bentuknya, begitu pula wanita yang mampu menyinari dunia dengan kepribadian yang bersinar dan kekuatan yang mendalam.

Dia adalah wanita yang seperti bunga, mekar dengan kebaikan dan kelembutan. Dalam setiap langkahnya, dia membawa aroma kesabaran dan kepedulian. Seperti bunga yang merangkul sinar matahari, dia menyebar kehangatan kepada orang-orang di sekitarnya. Kecerdasannya bersinar seperti embun pagi, memberikan kejernihan dalam setiap situasi.

Tangguhnya tidak hanya terlihat dalam senyumannya yang tabah di tengah kesulitan, tetapi juga dalam tekadnya untuk terus tumbuh, belajar, dan berkembang. Seperti akar bunga yang mencari jalan di tanah untuk mencapai sumber nutrisi, dia tekun mengejar impian dan tujuannya.

Namun, keanggunannya tidak membuatnya rapuh. Sebagaimana bunga yang melambangkan keindahan yang tetap utuh meski diterpa badai, wanita ini memiliki ketahanan yang mempesona. Dia tahu bagaimana menjaga keunikan dan integritasnya, bahkan ketika dunia berusaha membentuknya.

Dia seperti kelopak bunga yang mengembang dengan keanggunan, menghadapi cobaan hidup sebagai batang bunga yang tegar. Ketangguhannya bukanlah bentuk kekerasan, melainkan kekuatan batin yang mampu menghadapi badai dengan ketenangan. Kelembutannya bukanlah kelemahan, tetapi keindahan dalam memberikan kasih sayang dan dukungan kepada orang-orang di sekitarnya.

Seperti bunga yang mekar di berbagai warna, dia membawa keberagaman dan keunikannya ke dalam dunia. Keindahan karakternya menciptakan harmoni, sebagaimana bunga yang menarik perhatian dan memancarkan aura positif. Keberaniannya untuk tumbuh di tengah tantangan mencerminkan tekadnya untuk mencapai potensi penuhnya.

Wanita ini adalah pembawa harapan, mirip dengan bunga yang mekar di musim semi setelah musim dingin yang membeku. Dia tidak hanya menghadapi masa-masa bahagia, tetapi juga melalui kesedihan dan tantangan dengan kepala yang berusaha ia tegakkan, namun bukan sebagai ajang kesombongannya. Keelokannya tidak hanya terlihat, tetapi juga terasa dalam sentuhan hatinya yang penuh empati dan kepedulian.

Wanita ini adalah karya seni alam yang hidup, mengingatkan kita bahwa kecantikan sejati terletak dalam perpaduan kekuatan dan kelembutan, dan bahwa melewati segala musim kehidupan dengan martabat adalah tanda dari kebesaran jiwa yang sesungguhnya.

Wanita yang seperti bunga ini adalah keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara ketangguhan dan keindahan. Dia adalah bukti bahwa kecantikan sejati tidak hanya ada di permukaan, melainkan juga dalam kebijaksanaan, kebaikan, dan kemampuan untuk melewati berbagai musim kehidupan dengan kemuliaan dan kelanggengan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Minggu

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


"Maah... Ba Anis mau pulang...."
"Balek ajaa balekkk," kata Wulan.

Sepulang mengajar sore, aku langsung siap-siap. Ambil charger, sedia payung sebelum hujan (meskipun nggak yakin juga bakalan turun hujan). Bawa air putih juga, barangkali tiba-tiba haus di jalan. Ok, siap. Berangkat.

Keluar gerbang asrama, aku memperhatikan kendaraan yang jalan sebelum menyebrang. Malas aku, kalau memutar jalan lewat jembatan transjakarta, lebih baik nyeberang lewat pintu bawah halte. 

Setelah sampai di halte, beberapa menit kemudian busnya tiba. Alhamdulillah tidak perlu menunggu lama, dapat tempat duduk pula. Nikmat mana lagi yang aku dustakan? Mau membatin "Alhamdulillah, rezeki anak shalehah," eh tapi nggak pede juga. Jarang soalnya, shalehah mode on tapi kerjaannya manjatin pager.

Pukul 18.22 WIB aku tiba di Halte Juanda. "Udah di Juanda," pesanku via chat di grup whatsapp keluarga. 

"Tunggu di Manggarai," balas Idan. 

Tidak lama kemudian kereta datang. Syukurlah dapat tempat duduk. Sepertinya kepalaku migrain lagi. Nggak begitu pusing, tapi cukup membuatku bengong sepanjang perjalanan. Tanpa sadar sudah di Cikini. Aku terperanjat, untung saja belum terlewat. Bisa gawat kalau kebablasan seperti sebelumnya.

"Kak, di sebelah mana? Yang gerbong awalan apa akhiran?" tanyaku via video call.

Aku berjalan seraya menatap layar handphone. "Pojok yang awal," kata Idan. 

Seseorang dengan hoodie hitam melambaikan tangannya, panggilan video kami pun berakhir.

"Assalamualaikum ya akhi...."

Ia meraih tanganku,  "Wa'alaikumussalam." Adik yang baik. Siapa sangka lelaki bongsor ini dulunya adalah adik kecil imut yang menggemaskan.

Aku dan Idan ndopok. Semilir angin bertiup, melambaikan jilbab abu-abu silver yang aku kenakan. Kami berbincang-bincang, aku menunggu kereta tujuan Bekasi sembari selonjoran. 

Ah, malam yang cukup melelahkan, kepalaku masih sedikit pening, tetapi sudah lebih baik dari yang tadi. Karena tidak dapat tempat duduk, kami berdiri sampai stasiun Bekasi. Setibanya di Bekasi, kami berjalan kaki ke tempat parkiran motor. 

"Mba Anis tunggu sini aja," kata Idan, kemudian ia masuk ke tempat parkiran motor di sebelah stasiun. Aku berdiri di luar memperhatikan ibu-ibu penjual masker. Karena tidak sadar akan keberadaan adikku, Idan melambaikan tangannya tepat di hadapan wajahku. 

"Eh, ojeknya udah ready," jawabku seolah tanpa dosa. 

"Huh, dari tadi kek. Ayo naik." Aku membonceng di belakangnya deh. 

Ya, malam minggu di jalanan naik motor dan sepertinya akan turun hujan. 

"Dan, di rumah udah ujan belom, sih? Aku mencondongkan kepalaku dan berbicara di dekat telinganya. 

"Ah, Asri mah kaga ujan."

"Tapi waktu itu di medsos Bekasi sudah turun hujan, kok."

"Iya itu Bekasi, bukan Wisma Asri."

"Lah, kok bisa?"

"Hujannya cuma di Bekasi, tapi pas bagian Wisma Asri air hujannya udah abis." Bisa gitu. Ada-ada saja. 

Tiba-tiba tetesan air langit membasahi telapak tanganku. "Bang, hujan tauk. Nih gerimis tipis-tipis." Suka random memang, kadang dia kupanggil kakak, di lain waktu abang. Sekeluarnya kata yang keluar dari mulutku saja. Iya, begitu. 

"Iya hujan, tapi ini kan Summarecon. Sampe Asri airnya udah abis, dah."

"Bang, ada kaga ye, orang kehujanan di motor pake payung? Abang bawa jas hujan nggak?"

"Ada. Tanggung, udah terobos aja." Ah, aku keluarkan saja payung yang ada di dalam tas. 

"Eh iya, susah kebukanya ya, pakai payung," Karena kecepatan laju motor, anginnya semakin kencang, jadi susah membuka payungnya. 

"Nggak enak tauk, air hujannya ngenain kepala. Jadi bletak-bletak." Tetesan air hujan semakin deras. Aku hanya menutupi kepala dengan payung yang tidak terbuka lebar. Nggak mau mekar payungnya. Suek bener, dah. 

Sesampainya di Duta Harapan air hujannya mulai menghilang. "Kan, ini aja udah di Duta, sampe Asri air hujannya udah abis bakalan." Aku malah ikutan setuju dengan asumsi si Idan. Kok bisa seperti itu? 

Lah, tiba-tiba langitnya nggak terima atau bagaimana, ya. Hujannya semakin deras, mau menunjukkan jati dirinya, kalau dia punya kekuatan dan tidak selemah itu. "Dan, jalannya jangan kenceng-kenceng. Ba Anis mau pake payung nih, kalau kecepetan dia kuncup, susah kebukanya." Alhasil, beneran dong, kita naik motor di bawah payung yang menyangga air hujan. Eh, tapi kok rasanya jadi seneng gitu, ya. Beneran deh, kayak ada sensasi yang membahagiakan, gitu

"Kak, nggak usah dipegangin payungnya. Nyetirnya dua tangan aja."

"Lah, payungnya nutupin mata." Seketika itu kami tertawa. 

Payungnya agak aku naikkan sedikit posisinya dan aku memegangi erat kerangka besinya agar tidak terbang. 

Sesampainya di depan rumah aku cekikikan, "Maah, ini anaknya pulang naik motor pakai payung." Ibuku hanya tersenyum. 

"Assalamualaikum Mamah...," aku meraih tangannya yang agak keriput itu. "Di rumah sebelumnya sudah hujan belum, Mah?" tanyaku. 

"Wa'alaikumussalam. Tadi siang hujan kok, pas Mamah ngaji." Ibuku biasa mengikuti pengajian mingguan di hari Sabtu. "Lumayan deras kok, Mamah lihat dari masjid, hujan."

"Assalamualaikum." Aku masuk ke dalam rumah, di kursi kasir warung aku menyalami tangan ayahku. "Papah... ini anaknya pulang kehujanan naik motor, tapi pakai payung."

"Wa'alaikumussalam. Anis sehat?" Alhamdulillah sudah hilang migrainnya. Ayahku pun sehat. Senangnya keluargaku dikaruniai rezeki kesehatan. 

Niat awal mau beli mie tek-tek, karena hujan,  tidak jadi, deh. "Mah, masih ada nasi, Mah?" Laper euy, tadi sore sebelum perjalanan baru makan roti gulung keju Aoka. 

Nasi masih ada, hanya saja lauknya yang tinggal sedikit. Sayur asemnya tinggal kuah beberapa sendok doang paligan, tuh. 

"Kak, Ba Anis mau goreng nugget, mau juga?" ia yang sedang sibuk membuka bungkus paketan manggut-manggut saja. 

"Mau bikin nasi goreng nih, sekalian nggak?" aku menyodorkan senampan kecil nasi putih yang akan kumasak, "Makannya banyak nggak, mau digoreng semua nih, nasinya?"

"Iya, gak papa." ia sedang memasang keran air di kamar mandi. 

Dengan bumbu seadanya, dan dua buah cabai saja (aku tidak begitu suka pedas) aku buat nasi goreng, dan di kompor satunya aku menggoreng nugget. 

Karena sibuk mengaduk-aduk nasi, aku lupa mengangkat gorengan dari minyak panas. Yah, nuggetnya gosong deh. 

"Kak, nasgornya dah ready, tapi nuggetnya sebagian gosong, nih."

"Nggak apa-apa. Dipotong-potong aja nuggetnya terus campurin ke nasgor, biar nggak keliatan banget gosongnya."

"Mau makan barengan nggak?" tanyaku seraya menyiapkan piring yang agak besar. 

"Iya."

Syukurlah, setelah kehujanan di perjalanan, lalu makan malam bersama, rasanya nikmat sekali. Entah karena memang sedang lapar, atau memang karena keberkahan dari kudapan yang disantap bersama. Yang jelas, setiap harinya pasti akan ada kenikmatan yang Allah berikan kepada setiap hambanya selama ia mensyukurinya. Alhamdulillah 'ala kulli hal

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS