Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Cemilan Emuh

Di suatu malam yang tidak mencekam. Masih sekitar pukul setengah sepuluh, memang.

"Mba... tolong bikinin Emuh nasi goreng, Mba Anis...," nadanya agak memelas manja.

"Kan tadi Emuh sudah makan."

"Ayolah, Mba Anis...," mimiknya semakin over.

"Muh bikin sendiri saja, ya. Kan masak mie instan juga bisa."

"Ayolah..., bikinin Mba Anis aja. Ayolah...," kok jadi kayak Upin-Ipin yang ngidam ayam goreng. Sejak beberapa hari yang lalu ia mendadak sering minta dibuatkan nasi goreng.

Sejarahnya sederhana. Pada tanggal 3 Syawal, seluruh anggota keluargaku pergi berkunjung ke Depok, berhubung kurang enak badan, aku tetap tinggal di rumah. Home alone. Dari pagi sampai sore. Komplek sepi. And me? Just by myself. Ya sudahlah. Sudah terbiasa sendiri.

"Mba Anis, sebentar lagi Maghrib, goreng telur saja ya, Mamah cuma punya nasi." Mereka baru tiba di rumah sejam lalu.

"Iya, Mah."

Serius, sekitar lima belas menit lagi. Ah, malas betul kupas-kupas bawang dan ulek-ulek bumbu. Jari-jemariku masih bau bawang, sisa kemarin. Kemarin, kemarin, dan kemarinya lagi. Awet betul? Entahlah, sudah aku cuci, baunya hampir hilang, tapi bermain bawang lagi, dan lagi. Searching bagaimana cara menghilangkan bau bawang di internet? Belum kesampaian.

Well, masih ada upacara pemotongan. Bukan bawang sih, melainkan daunnya dan daun temannya. Tumis-tumis ria si daun bawang, masukkan telur, oseng-oseng, taburkan irisan sawi, oseng-oseng, tambahkan sepiring nasi putih, beri bumbu racik nasi goreng serta lada bubuk dan garam secukupnya. Aih, tutorial singkat memasak nasi goreng rupanya.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar..." Alhamdulillah, bahagianya.

"Mba Anis, Emuh nyobain ya, nasi gorengnya?" Gayanya sok imut. Tapi imut, sih. Gimana dong?

"Muh, Mba Anis lagi buka puasa. Emuh kan baru makan, tadi," kata ibuku.

"Gak apa Muh, sini makan sama Mba Anis."

"Kan boleh, Mah. Muh ditawarin sama Mba Anis," cengirannya itu, loh, "Ya kan, Mba Anis?" Tanyanya manja. Ini bocah ngapa, ya? Ngapa, ya? Batinku tak dapat memungkiri tak mengatakannya.

"Hemm, enak Mba Anis," ucapnya sok manis. Tapi menggemaskan. Sumpah, ini bukan dusta.

Sederhana bukan? Berawal dari situ, hobinya beralih jadi makan nasi goreng. Entah sampai kapan. Dulu pun seperti itu, hobi makan tumis kangkung. Hobi makan? Bukan. Bukan hobi, tapi keperluan. Cikgu Jasmin kata pun seperti itu.

"Mba Anis..., ayolah..., bikinin Muh nasi goreng...."

"Muh bikin sendiri ya," padahal akhir Ramadhan dia lagi senang-senangnya makan seblak, level 1, "Tuang minyak sedikit di teflon, orak-arik telur, masukkan nasi, tambahkan bumbu racik, aduk rata. Selesai..."

"Ayolah Mba Nis... Emuh bikin, tapi Mba Anis bantuin...," aduh, anak satu ini.

"Ya, ya. Muh ambil telur ya, Mba Anis panasin minyak dulu," mau tak mau aku menuju dapur.

"Nih Mba Anis, telurnya."

"Muh bisa pecah cangkang telurnya?"

"Nggak..." tanpa merasa berdosa ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku menghela napas. Wajar, usianya baru sebelas tahun kurang. "Muh siapin nasinya , ya."

"Iya, Mba Anis."

"Muh lapar lagi? Tadi kan, baru makan malam?" tanganku masih beraksi dengan sendok. Say no to spatula. Oseng-oseng nasgornya bukan pakai spatula tapi pakai sendok, sekalian buat makan. Maafkan kakakmu ini, Muh.

"Ini kan cemilan, Mba Anis." What? Bocah kecil, nasi goreng jadi cemilan?

"Muh, kalau lapar mah, bilang. Nasi goreng kok, cemilan?"

"Cemilan Mba Anis.... Tadi kan, Emuh sudah makan malam." Nasi gorengnya sudah matang. 

"Punten ambil piring ya, Muh."

"Yeay. Nasi gorengnya sudah jadi," dengan senang hati ia memberikan piringnya kepadaku.

Aya-aya wae ieu bocah. Priben, Priben? Sego goreng dadi cemilan? Kalau sudah menjadi pilihannya, apa boleh buat. 

***

"Mba Anis..." tangan Muh gatal. Kebiasaan deh, masa cubit-cubit pipi. Gemas katanya.  Masa iya, gemas sama kakak tua? Tertua maksudnya, "Muh mau dibikinin nasi goreng?"

"Iya Mba Anis. Tolong bikinin Emuh Nasi goreng, Mba Anis...."

"Cemilan?"

"Bukan. Nasinya yang banyak."

"Muh tadi pagi makan baca doa nggak?"

"Baca. Memang kalau belum baca doa, kenapa?

"Nggak apa-apa." Ah, akhirnya tulisanku ini selesai kuketik. Siap posting.

Dari balik pintu kamarku Muh berkata, "Mba Anis nasi goreng.... Nasi goreng, yah?"

"Iya."

"Mah, Emuh ditawarin makan nasi goreng sama Mba Anis." Lah, siapa juga yang nawarin. Dasar ragil. Hadeuhh

"Bikin nasi gorengnya dikasih sayuran, Mba Anis. Biar Muh makan sayuran."

"Iya, Mah."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tak Merasa Kehilangannya

"Masihkah kau mencintainya saat ia pergi? Masihkah kau menyayanginya saat ia tak kembali? Masihkah kau merindukannya saat ia tak berada di sisi?"

Kemudian kau menjawab: "Mengapa tidak? Aku tak merasa kehilangannya."

Takdir pohon bambu, atau seperti takdir benang merah?

Hanya menjalani takdirku saja, entah apapun, bagaimanapun. Atau mungkin jenis itu hanya imajinasiku? Sepertinya sekadar gambaran. Boleh jadi, lukisan seni kehidupan. 

Tak merasa kehilangan dengan apa yang tak berada di sisi. Apa yang dimiliki sebenarnya ialah milik-Nya yang dititipkan kepadaku, kepada kita.

Cinta, kasih sayang, dan kerinduan. Kau masih menyimpannya. Tiada kata "kehilangan", untuk apa yang sudah tak terjangkau oleh pandangan mata.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bukit-Bukit Harapan

Mengharapkan sesuatu dari makhluk, rasanya seperti patah hati. Ada rasa ingin, tapi takut yang lebih mendominasi. Trauma. Seperti itu, kah?  Entahlah.

Mengharapkan sesuatu dari-Nya, aku ingin. Aroma kepastian tercium sangat pekat. Inikah keyakinan? Namun aku malu. Dengan kondisi seperti ini, adakah harapan itu pantas untukku?

Lalu bagaimana? Apakah kau merasakan yang sama, adakah pikiranmu sejalan denganku, atau kemungkinan kesamaan yang lainnya. Aku belum tahu.

Harapan mestinya berupa keindahan, kesukaan, dan segala yang mengundang ketertarikan hati. Bila harapan terkabul, betapa senangnya hati ini. Bahagianya.

Aku ingin berharap. Aku akan berharap. Aku berharap, segalanya berjalan dengan baik dan semestinya.

Aku... Aku harus melakukan yang terbaik semampuku. Harapan bukanlah buah dari "cuma-cuma". Layakkah harapan terkabul tanpa melakukan apapun? Bukit-bukit harapan akan gersang bila tak ada tanaman yang menghiasinya. Ia tak akan menyenangkan bila aku dan kau tak membuatnya senang. Tentu tidak, kaupun tahu itu.

Apakah harapanmu saat ini? Adakah kita memiliki harapan yang sama? Atau mungkin harapanmu sama sekali tak terjangkau olehku? Hemhh, siapa tahu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Empat Tanggung Jawab Manusia

Jinsei wa okurimonodeari, jinsei wa yoriyoi ningen ni naru tame no tokken, kikai, sekinin o watashitachi ni ataete kuremasu.

人生は贈り物であり、人生はより良い人間になるための特権、機会、責任を私たちに与えてくれます

Hidup adalah sebuah pemberian, dan hidup memberikan kita keistimewaan, kesempatan, dan tanggungjawab untuk menjadi seseorang yang lebih baik.

Bicara soal tanggungjawab, Almaghfurlah Abah Masruri Abdul Mughni pernah menyampaikan dalam pengajian Tanbihul Ghafilin bahwa; manusia memiliki empat tanggung jawab. Pertama adalah pertanggungjawaban umur. Allah menganugerahkan umur, kita gunakan untuk apa saja? Apa yang telah diperbuat di setiap hembusan napas kita.

Kedua, pertanggungjawaban fisik. Allah swt. mengaruniai raga, dari ujung kepala hingga ujung kaki yang tidak lain memiliki manfaatnya masing-masing. Dari sekian banyak rutinitas, apakah anggota tubuh kita dioperasikan untuk hal-hal yang semestinya dan berfaedah?

Ketiga, pertanggung jawaban ilmu. Setelah belajar ke sana kemari, bagaimana implementasi dari ilmu yang telah kita dapatkan?

Keempat, pertanggung jawaban harta. Dari mana ia berasal dan dibelanjakan untuk apa saja?

Di hari kiamat kelak, manusia pasti dimintai keempat pertanggungjawaban tersebut.
Semoga kita senantiasa diberikan hidayah, rahmat, keridhaan-Nya, serta masuk ke dalam golongan orang-orang yang husnul khatimah. Allahumma amiin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS