Adakalanya, sebab terlalu mengistimewakan sesuatu yang jauh, yang berada tepat di hadapan mata pun nampak buram.
Sampai-sampai, tanpa tahu dan tanpa sengaja terlewatkan oleh pandangan mata.
Kehidupan akan terus berjalan maju, yang berlalu hanyalah sebuah atau beberapa buah kenangan masa lalu.
Apa yang kita lakukan, disadari ataupun tidak, manalagi karena memang sengaja, sangat mungkin menjadi duri di hati seseorang.
Duri-duri kecil, kemudian menjadi gundukan besar.
Barangkali dapat menjadi lebih besar, atau menjelma sebesar apa lagi nantinya. Tak bisa diterka, tiada terkira.
Hati manusia sebenarnya sangatlah lembut.
Setiap orang pun pada dasarnya baik, sebagaimana seorang bayi yang lahir dalam keadaan suci.
Lalu, bagaimana dengan dia atau mereka yang sebaliknya?
Bisa jadi emosinya sedang bergejolak, goyah pertahanannya.
Egonya menjadi kabut, kemudian naik ke atas langit menjadi awan gelap. Kelabu itu semakin pekat.
Apakah ia lelah?
Entahlah. Ada kalanya manusia berada pada titik di mana ia tak kuasa mengendalikan diri, meskipun ia tahu betul laku apa yang telah diperbuat adalah keliru.
Mengakui kesalahan. Ya, seringkali terbesit rasa bersalah namun enggan untuk mengakuinya. Apalagi memenungkannya?
Malah mencari-cari sejuta alasan sebagai pembelaan.
Bahkan berkata-kata dengan nada meninggi sebagai bentuk pertahanan.
Atau berbicara dengan nada biasa, namun bahasanya kentara tak elok, terlebih benar-benar tak ramah di telinga.
Konon, pekertinya tak sedap dipandang maupun dirasa pula.
Lantas, bagaimana dengan kemaslahatan di ujung jalan sana?
Apakah nasib dari sebuah perbaikan diri menempati posisi terendah dari tangga pijakannya?
Pecah sudah. Meminta maaf pun termasuk perlakuan yang sulit kah?
Memohon maaf cukup sederhana sebenarnya, tapi pada kenyataannya tidak sesederhana itu.
Ada hati lain yang cedera karena tingkah langkah maupun perangai kita.
Butuh waktu untuk sembuh, perlu waktu untuk pulih.
Kendati waktu tak bisa diandalkan seutuhnya.
Kedoya, 31 Agustus 2023
0 komentar:
Posting Komentar