Bismillahirrahmanirrahim
Sekarang hari Selasa, sa, sa, sa, sa, sa... (bacanya pakai nada, ala suara gaung yang berulang-ulang deh, hehehe). Sorenya hujan, euy. Selesai zikir salat Ashar di masjid, bingung mau pulang. Hujan deras sederas-derasnya, banjir pulak. Sandal-sandal santri sampai pada mengambang udah kayak kapal-kapalan. Galau kan jadinya, mau ngerasa senang karena penampakannya kok lucu gitu, tapi sedih juga karena serba basah dan licin.
Santri putri sudah pasti heboh, teriak karena kebasahan menerjang hujan, rempong mencari sandalnya yang berlayar entah ke mana, dan lain sebagainya. Yah, wanita memang seperti itu.
Karena takut hanyut, ada yang mengamankan sandalnya ke pinggiran tangga masjid. Bukan di tangga, tapi di pinggirannya sodara-sodara, kan repot kalau hilang, lapor mamah nanti, Mah, sandalku hilang, hanyut pas banjir di pondok, mau minta tolong bawakan sandal baru ya, Mah. Hmm, ada saja yang modelnya begitu.
Ada juga yang keasyikan mainan air, mentang-mentang hujan. Emang dasar anak-anak. Ya sudah, lah. Insyaallah berkah.
Alhamdulillah hujan mulai mereda. Nggak reda-reda amat, tapi seengaknya nggak segeger tadi, rombongan air hujannya membasahi pondok kami. Aku juga mau ikut mengamankan sandal, deh.
Lah, yang satunya sudah ada di tengah sana. Wahai sandalku, kalau kalian berjodoh insyaallah akan bersatu kembali, kok. Yang sebelah kanan aku taruh di pinggiran tangga masjid, yang kiri aku biarkan menggenang di sana. Kiri, aku titipkan kamu sama Allah, ya. Semoga kamu tidak hilang dan menjadikan si kanan menjomblo.
Aku masuk lagi ke dalam masjid, menunggu hujannya lebih reda dari sekarang. Daripada bengong, mending baca salawat. Mulutku komat kamit, tapi pandanganku jelalatan melihat santri putri yang berusaha pulang ke asrama untuk rapi-rapi karena sore ini waktunya belajar di Madrasah Diniyah a.k.a. Madin. Masyallah. Memang mondok itu membahagiakan sekali, pemirsa. Aku senyam-senyum saja dari tadi melihat fenomena ini.
Subhanallah, ada seorang anak membawa payung dan dia beralih profesi menjadi ojek payung dengan suka rela. Baik banget dia, bolak-balik menjemput temannya agar bisa balik ke asrama. Diriku terharu.
Aku masih duduk di samping jendela. Eh iya, kamarku kebanjiran nggak, ya? Kayaknya sih, iya. Mau pulang tapi masih belum pengen, gimana dong.
Melihat genangan air yang modelnya seperti itu, lebih baik aku pulang saja, deh.
Sambil memegang sajadah dan sandal kanan, aku tolah-toleh mencari pasangannya.
"Miss Rara, itu sandal Miss," Moza menunjuk-nunjuk ke samping tangga.
"Oh, iya. Makasih Moza."
"Sama-sama, Miss." Moza meraih tanganku, salim.
"Miss, ayo bareng sama saya pakai payung, Miss," kata anak tadi yang namanya tidak kuketahui. Aku hanya tahu kalau dia santri kelas 1 SMP penghuni asrama lantai satu, kamar nomor 1, selorong dengan kamarku.
"Kamu baik banget minjemin payung, Dek." Senang sekali diriku ini. Alhamdulillah.
"Iya Miss. Kan bulan Ramadhan, Miss." Dia tersenyum.
Sesampainya di dekat gerbang aku berterima kasih kepadanya, "Makasih banyak ya, Dek. Semoga berkah." Nggak mau berhenti senyum aku tuh, melihat gadis kecil itu.
"Sama-sama, Miss." Raut wajahnya nampak bahagia. Apalagi aku, yang sudah dibantu.
Antara kaget dan tidak. Benar, kamarku kebanjiran. Samping masjid banget soalnya, di bagian selatan kamarku tadinya adalah pintu, hanya saja sekarang ditutup permanen tetapi tidak disemen, jadi kalau hujan deras dan volume air yang menggenang di sekitar naik, kamarku terdampak banjir.
"Miss, banjir banget, ini. Ya, Allah...," kata Fia yang memindahkan seperangkat alat tidurku.
"Kasurku basah banget ya, ujungnya."
"Iya Miss, tadi pas aku mau ke lemari nggak nggeh. Tau-tau, kok kaki aku menerjang air." Fia, Fia, kata-katamu itu, loh. Gimana nggak bikin ngakak, coba. Ya, meskipun ngakaknya cuma di dalam hati.
Kami pun bahu-membahu mengeringkan airnya. "Kayak gini enaknya pakai pengki ya Fi, tapi mau pinjam pengki anak-anak yang ada malah jadi kotor semua," kataku sambil memeras bajuku yang kupakai mengelap genangan air. Bajunya sudah robek, sekalian saja nanti dibuang. Maafkan diriku duhai baju, aku tak sanggup memuseumkan dirimu.
"Pakai pengki mini Miss aja, kan ada," Fia memeras kain pel.
"Oh iya, bener banget deh kamu, Fia." Aku punya satu set pengki dan sapu mini.
Airnya banyak juga ya, hampir seember penuh. "Kok nggak abis-abis ya, airnya," kata Fia.
"Iya nih, kita berasa main air di tepi pantai, deh." tanganku menggenggam pengki mini, menyerok air yang menggenang ke dalam ember.
Tidak lama kemudian airnya mulai surut. Makin semangat nih, ngelap-ngelap mode on-nya. Setelah dipel semua lantainya, aku menyalakan kipas, biar cepat kering.
Setelah mencuci kain pel dan bersih-bersih diri, lantai kamarnya sudah kering. Alhamdulillah bisa selonjoran deh, kita.
😇 Have a blessed day.
1 komentar:
Ceritanya seru, tengtang santri banget😎
Posting Komentar