بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Bila masih ada istilah 'Aku menerima dan memberi maaf, tapi tak akan melupakan perbuatanmu,' itu artinya, hati masih terimpit oleh kemarahan. Hati yang semacam itu lama-lama bisa menjadi keras. Lebih keras dari batu yang paling keras. Meminta dan memberi maaf, mestinya meluluhkan semua. Memulai dari yang baru dan tidak lagi mengingat-ingat perbuatan yang pernah menyakiti dan disakiti.” – hal. 79
Maaf dan harga diri yang terluka. Rasanya, masih belum menemukan ukuran yang sesuai, bagaimana cara menakar kemudian menjadikannya komposisi yang pas untuk dijadikan bahan bakar kapal kehidupan yang masih baru berlayar ini.
Bukan hal besar memang, meskipun tidak semuanya harus diungkapkan, tetapi sesuatu yang tidak dikomunikasikan dengan jelas, adakalanya membuat sebelah pihak bertanya-tanya. Sebenarnya ada apa, mengapa demikian, apakah itu...? Ya sudah, berpura-pura saja tidak terjadi apa-apa. Tetapi, setiap kepura-puraan tentu memiliki kenyataan.
Tetapi, bagaimana kalau hal tersebut tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, melainkan berkali-kali? Sudah bertanya tetapi tidak ada balasan apapun. Membuat angan-angan terbang tak tentu arah. Apa rasanya tergantung seperti itu?
Tetapi, jiwa yang sedang tidak baik karena hati yang sempit mungkin (kebanyakan manusia fluktuatif betul kadar keimanannya, kesabarannya) atau barangkali hormon yang sedang tidak stabil karena pengalaman biologis, hal simpel saja bisa menjadi hal yang rumit. Yah, seperti wanita yang sedang kedatangan tamu rutin bulanan, ataupun sedang hamil, pasca melahirkan, saat menyusui, dan lain sebagainya. Laki-laki juga mengalami ketidakstabilan tersebut dengan kondisi yang berbeda.
Tetapi, terus saja tetapi-tetapi itu beranak pinak.
Segalanya mesti memiliki alasan, entah itu memang alasanya atau sekadar alasan, dan alasan yang masih tersimpan seringkali membuat kita meraba-raba.
Kira-kira yang seperti itu bisa menjadi pemicu rasa sakit dan luka, kah? Hati yang sakit dan harga diri yang terluka?
Hei, apakah kau sedang melantur? Mengapa sampai pada pembahasan itu?
Entahlah, kalau begitu anggap saja tidak apa-apa. Bukan. Bukan mencoba melarikan diri. Tapi setiap pribadi memiliki caranya sendiri untuk melakukan pertahanan.
Tunggu, ada apa dengan pertahanan diri?
"Kapal Karam Dilanda Badai" Raden Saleh (1840) |
Nampaknya kapal kehidupan itu sedang dilanda badai, jadi ia sedang melakukan upaya untuk tetap bertahan di lautan yang sedang tidak baik-baik saja.
Kabarnya, yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang menyakitkan hati kita, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allah tidak mengizinkannya. Begitu pula dengan tindakan kita yang disadari ataupun tidak telah melukai orang lain.
Mengapa tidak saling maaf-memaafkan?
Pemaafan, ya, itu adalah langkah untuk menghentikan perasaan jengkel, marah, ataupun dendam karena merasa tersakiti atau terzalimi.
Lebih dari itu, kiranya, pemaafan juga proses menghidupkan sikap dan perilaku positif terhadap orang lain yang pernah menyakiti.
Setiap orang pernah melakukan kekhilafan, apa salahnya untuk memaafkannya, toh kita pun pernah melakukan kesalahan. Bukan kah senang, lega, jika keluputan itu termaafkan?
Pasti memerlukan proses dan perjuangan untuk memaafkan. Adanya kebaikan bagi diri kita dan orang lain, akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan. Tuhan saja memafkan, mengampuni hamba-Nya, mengapa sesama hamba tidak bisa melakukan hal serupa.
Konon, para ahli psikologi pun memercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual.
Mengapa tidak introspeksi?
Apakah sakit dan luka itu memang berasal dari luar, atau boleh jadi dari dalam diri kita sendiri.
Ya, yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk rasa sakit, luka hati, kegundahan, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Agaknya, yang membuat gelisah bukanlah masalah yang menguji, tetapi bahasa rindu Allah yang gagal kita pahami.
0 komentar:
Posting Komentar