내라의 이스람 모자
a.k.a Naera's Veil (Piece 2)
Flashsback
Di kejauhan, seorang pria tinggi menggunakan pakaian hitam dan penutup wajah
memantau Naera dari dahan pohon. Tatapannya tajam. Sepasang mata sipitnya
cemerlang, terang seperti cahaya rembulan. Tenang bagaikan malam, tapi penuh ketegasan.
"Tolong sampaikan surat ini pada seseorang di sana," dagunya menunjuk
ke sebuah Banua Tanda dengan tsuboniwa yang cukup indah.
Ia menaburkan bubuk arang secara tidak merata ke sebagian bulu Rong Yi,
"Jatuhkan saja di atas kolam lalu segera kembali. Mengerti?"
Seekor merpati belang mengepakkan sayapnya dengan gesit, meninggalkan tuannya.
Pria itu naik ke dahan pohon yang lebih tinggi. Tubuhnya begitu ringan.
Flashback end
Karena terbentur tiang di pelataran kamarnya, Naera terbangun. Ia masih
menggenggam surat itu. Ahh, beberapa koleksi baju wanita tadi hanya mimpi di
siang bolong.
Pantas saja ada yang aneh. Hampir setengah tahun ia tinggal di rumah bibi Wa
Ode Laila dan paman Kiyomizu Haru di Baubau, masih saja belum terampil
menjahit, apalagi membuat pakaian. Yang bisa dilakukannya hanya membuat
lapa-lapa.
Ketika hendak mengambil kombo di lemari, tanpa sengaja ia menjatuhkan kain
penutup kepala yang didapatnya dari Nyonya Or Lin. Sudah beberapa minggu ini ia
ingin mengenakan kain penutup kepala tersebut, berusaha membulatkan tekad untuk
berubah menjadi lebih baik, namun hati kecilnya masih berbisik, sepertinya
aku butuh persiapan sedikit lagi.
Flashback
Keluarga Chang menjamu tetangga baru mereka, keluarga Kiyomizu. Walaupun tak
direncanakan sebelumnya, namun acara berlangsung dengan baik. Kedua keluarga
tersebut nampak nyaman satu sama lain. Karena profesi yang sama, obrolan mereka
tak jauh seputar perdagangan. Naera tidak tertarik dengan perbincangan para
orang tua. Setelah memberi penghormatan, ia meminta izin untuk keluar sebentar.
Di taman, Naera mengamati ukiran indah di sebuah pohon besar. "Aneh. Apa
ini sebuah tulisan?" dahinya berkerut keheranan, "Bagaimana cara
membacanya?"
"Syajarah thayyibah," sahut seorang pria muda di belakangnya.
Naera segera berbalik dan membungkukkan badanya untuk memberikan salam.
Lelaki itu membalas salamnya, "Apa kau tetangga baru kami?"
"Ya." Naera memperkenalkan dirinya, "Namaku Kiyomizu Naera, Tuan
Muda. Senang bertemu dengan Anda."
"Aku Chang Hu Saen. Senang bertemu denganmu juga," senyumannya
membuat Naera terpesona.
"Tapi, mengapa itu seperti ..." ia meraba-raba dagunya yang
berjenggot, mengamati anak kecil berbaju pendekar pria di hadapannya.
Menghela napas, "Maaf Tuan Muda, apakah ada yang salah dengan
penampilanku?"
"Oh, maafkan aku Nona Kiyomizu." Wajah Naera begitu polos dan
mengemaskan, "Kalau begitu panggil saja aku Orabi-san. Ya?" pinta Hu
Saen.
"Orabi-san?" Hanya memastikan, apakah ia salah dengar atau
tidak.
"Ya, panggil aku seperti itu, Nona Kiyomizu." Tampaknya Hu Saen ingin
menjadi lebih akrab, sampai menciptakan panggilan unik begitu.
Naera tidak merasakan canggung sama sekali dengan pria itu dan langsung
menawarkan Hu Saen untuk memanggil namanya, bukan nama marganya.
"Kalau boleh tahu, apa artinya syajarah thayyibah,
Orabi-san?" Comel juga anak satu ini. Seperti ada daya tarik tersendiri
walaupun wajahnya tak terlalu cantik.
"Pohon yang baik," Hu Saen tersenyum lagi. "Tidak semua pohon
itu baik, subur dan banyak manfaat. Perumpamaan seorang mukmin,
ibarat pohon yang baik."
Bingung, Naera mengulangi kata asing yang Hu Saen katakan, "Mukmin?"
ia belum pernah mendengar kata itu sebelumnya, "Apa itu?"
"Orang yang memenuhi lima rukun-rukun Islam dengan sebaik-baiknya itu
disebut muslim. Islam sendiri adalah kepercayaan yang kami
anut," terang Hu Saen perlahan. "Nah, seorang muslim dikatakan
sebagai mukmin ketika ia mengimani rukun-rukun iman. Iman
berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan perbuatan. Ketika ia mengimani Allah sebagai Tuhan, maka ia melaksanakan
apa yang Tuhan perintahkan dan meninggalkan apa yang Tuhan larang. Oleh karena
itu, mukmin berada setingkat di atas muslim dalam penerapan apa yang ia
yakini." Dahi Naera mulai berkerut, "Oh, maaf," tersadar akan
sesuatu, ia meminta maaf dan gadis di hadapannya nampak sedang memikirkan
sesuatu. "Tidak seharusnya aku mengatakan ini. Maafkan aku Naera."
"Tidak Orabi-san, lanjutkan saja. Aku cukup mengerti apa yang kau katakan,
hanya ... aku perlu sedikit berpikir lagi." Hu Saen membiarkannya sejenak.
"Emm. Dapatkah kau meneruskan syajarah thayyibah-nya?" Ia
begitu antusias.
"Baiklah," jawab Hu Saen, "Kalau itu maumu."
"Tapi, kalau aku ingin bertanya sesuatu, bersediakah kau menjawabnya
dengan senang hati, bolehkah?"
"Tentu saja," Hu Saen tersenyum. "Apa yang akan kau tanyakan,
adik kecil?
"Belum tahu. Hanya ... mungkin saja, nanti ada sesuatu yang belum aku
mengerti dan membuatku penasaran. Kau tidak akan membuatku patah hati kan,
Orabi-san, wahai kakak berbadan tinggi?"
Hu Saen tertawa lepas. "Lucu sekali. Kau benar-benar ...," tawanya
berlanjut kemudian suaranya melirih. "Memangnya, apa yang membuatmu patah
hati, Naera?"
"Aku bertanya dan orang yang kutanya mengabaikanku karena
pertanyaanku," bibirnya membulat. "Seperti itulah patah
hatiku," jawabnya polos. "Walaupun kedengarannya aneh, aku harap
pertanyaanku dapat ditemukan jawabannya dan tidak membuatku penasaran
lagi," Naera tersenyum. Manis sekali.
Hu Saen menepuk-nepuk sebelah pundak Naera, "Tenang saja, sebagai kakak
barumu, aku akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaanmu." Kakak baru? Naera
mengerutkan kedua alisnya. Entahlah terserah orang ini
saja, pikirnya. "Dan bersabarlah, kalau pertanyaan itu belum dapat
kujawab. Akan aku coba carikan jawabannya, ya."
"Aku cukup sabar," ujar Naera. "Terima kasih banyak,
Orabi-san." Ia mengacungkan kedua jempolnya, "Kau adalah tetangga
yang sangat baik!"
Hu Saen menjelaskan bahwa pohon dapat disebut "thayyibah" atau baik, apabila ia memiliki empat sifat mendasar, seperti halnya manusia. Pertama, bentuk luar yang indah dipandang. Maknannya, secara fisik, penampilan mukmin harus indah dan bersih. Wajah serta senyumannya menyenangkan orang lain. Sebisa mungkin tidak murung, meski sedang bersedih ataupun marah. Tetaplah tersenyum, karena senyuman akan mendatangkan sinyal positif. Kedua, pohon itu memiliki aroma yang sedap, wangi, seperti kayu gaharu atau pohon yang menghasilkan bunga dan dedaunan yang harum. Seorang mukmin pun harus menjaga aroma tubuhnya agar tetap wangi, atau minimal tidak menimbulkan bau tak sedap yang dapat mengganggu orang lain. Ketiga, memiliki buah yang harum dan lezat rasanya. Seperti halnya mukmin yang harus senantiasa menjaga lisannya. Kata-kata yang terlontar menentramkan, menyenangkan, dan menghibur. Jika tidak, hendaklah diam agar perkataan tersebut tak menyakiti perasaan orang lain. Keempat, baik dari akar, batang, dan dedaunannya memiliki manfaat dan khasiat bagi lingkungan sekitar. Begitu pula dengan keberadaan mukmin yang memberikan mafaat bagi dirinya dan orang lain. Syajarah thayyibah itu adalah kaligrafi Arab buatan adiknya.
Glossary~~~
Banua Tanda: Rumah adat Sulawesi Tenggara
Tsuboniwa: Taman sempit bergaya Jepang di halaman rumah (taman minimalis ala Jepang)
Lapa-lapa: Makanan yang terbuat dari beras ketan putih atau ketan hitam,
kuliner Sulawesi Tenggara
Orabi-san: Orabi atau yang biasa dipakai adalah sebutan Orabeoni berarti panggilan adik perempuan pada kakak laki-laki di Korea (identik dengan zaman kerajaan), sedangkan penggunaan akhiran ~san adalah panggilan ala Jepang yang universal, baik itu untuk kalangan tua, muda, laki-laki maupun perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar