Bismillahirrahmaanirrahiim
Dosen :
H. Moh. Riadlul
Badi’, MA. Nama : Annisa Ratna Pratiwi
Mata Kuliah :
Fiqih Mawaris Semester : III
A. FURUDHUL MUQADDARAH DAN ASHABUL FURUDNYA
Furudhul muqaddarah adalah bagian yang sudah ditentukan jumlahnya
untuk waris dari harta peninggalan baik dengan nash ataupun ijma’,
nash itu baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah.[1]
Sedangkan Ashabul Furudh adalah waris-waris yang
mempunyai bagian yang telah ditentukan pada harta peninggalandengan nash
atau ijma’.[2]
1.
Macam-macam Furudhul Muqaddarah
1) Bagian ⅔ (الثلثان)
2) Bagian ⅓ (الثلث)
3) Bagian 1/6 (السدس)
4) Bagian ½ (النصف)
5) Bagian ¼ (الربع)
6) Bagian ⅛ (الثمن)
2.
Ahli Waris yang Memiliki Furudhul Muqaddarah
I.
Para ahli waris yang memperoleh fardh ⅔ ada
empat orang, yakni:
1)
Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan bila mereka tidak
bersama-sama dengan mu’ashshibnya (orang yang menjadikan ‘ashabah).
2)
Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki atau
lebih, dengan ketentuan bila mereka tidak bersama-sama dengan anak perempuan
kandung atau mu’ashib-nya.
3)
Dua orang saudari sekandung atau lebih, dengan ketentuan mereka tidak bersama-sama
dengan mu’ashib-nya.
4)
Dua orang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan bila si mati tidak
mempunyai anak perempuan kandung atau cucu perempuan pancar laki-laki atau
saudari kandung. Saudari-saudari tunggal ibu tidak termasuk ahli waris yang
memiliki ⅔, karena jika ia seorang diri ia tidak manerima ½ fardh.
II.
Para ahli waris yang memperoleh fardh ⅓ ada
dua orang, yakni:
1)
Ibu, dengan ketentuan bila ia tidak bersama-sama dengan far’u-warits[3] laki-laki
maupun perempuan atau bila ia tidak bersam-sama dengan dua orang
saudara-saudari sekandung atau seayah atau seibu saja.
2)
Anak-anak ibu (saudara seibu bagi si mati)
laki-laki maupun perempuan, dua orang atau lebih, dengan ketentuan bila mereka tidak
bersama-sama dengan far’u-warits laki-laki maupun perempuan atau tidak
bersama-sama dengan ashlu-warits[4]
laki-laki (seperti ayah dan kakek shahih).
III.
Para ahli waris yang memperoleh fardh ada tujuh orang, yakni:
1)
Ayah, dengan ketentuan bila ia besama-sama dengan far’u-warits
laki-laki (yaitu anak laki-laki atau cucu laki-laki pancar laki-laki ke
bawah).
2)
Ibu, dengan ketentuan bila ia bersama-sama dengan far’u-warits
secara mutlak atau bersama-sama dengan dua orang atau lebih saudara-saudari
secara mutlak.
3)
Kakek-shahih, bila ia mewarisi bersama-sama dengan far’u-warits
laki-laki.
4)
Nenek-shahihah, bila ia tidak bersama-sama dengan ibu.
5)
Saudara seibu, laki-laki maupun perempuan, bila ia mewarisi
bersama-sama dengan far’u-warits laki-laki maupun perempuan atau
mewarisi bersama-sama dengan ashlu-warits laki-laki.
6)
Cucu perempuan pancar laki-laki, bila ia bersama-sama dengan seorang anak
perempuan kandung.
7)
Seorang saudari seayah atau lebih, bila ia bersama-sama dengan saudaari
sekandung.
IV.
Para ahli waris yang memperoleh fardh ½ ada
lima orang, yakni:
1)
Seorang anak perempuan, dengan ketentuan bila ia tidak bersama
dengan anak laki-laki yanag menjadi mu’ashib-nya.
2)
Seorang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan bila ia tidak bersama-sama
dengan anak perempuan atau orang laki-laki yang menjadi mu’ashib-nya.
3)
Suami, bila ia tidak bersama-sama dengan far’u-warits.
4)
Seorang saudari sekandung, bila ia tidak mewarisi bersama-sama dengan mu’ashib-nya.
5)
Seorang saudari seayah, bila ia tidak bersama-sama dengan anak
perempuan kandung, atau cucu perempuan pancar laki-laki atau saudari sekandung.
V.
Para ahli waris yang memperoleh fardh ¼ ada
dua orang, yakni:
1)
Suami, dalam keadaan bila ia mewarisi bersama-sama
dengan far’u-warits, baik yang lahir dari perkawinannya dengan suami
tersebut, maupun yang lahir dari perkawinannya dengan suami terdahulu.
2)
Istri, dengan ketentuan bila ia tidak mewarisi
bersama-sama dengan far’u-warits, baik yang lahir dari perkawinannya
dengan istri itu sendiri, maupun yang lahir dari perkawinannya dengan istri
terdahulu.
VI.
Para ahli waris yang memperoleh fardh ⅛ hanya
seorang saja, yakni:
1)
Istri, dalam keadaan bila ia mewarisi bersama-sama
dengan far’u-warits bagi suami,
baik yang lahir dari perkawinannya dengan istri tersebut, maupun yang
lahir dari perkawinannya dengan istri terdahulu.
B. JUMLAH ASHABUL-FURUDH
a. Menurut Hukum Islam
Ashabul-furudh golongan perempuan terdiri dari:
1.
Istri
2.
Anak perempuan
3.
Cucu perempuan pancar laki-laki (bintu
al-ibn) ke bawah
4.
Saudari sekandung
5.
Saudara seayah
6.
Saudari seibu
7.
Ibu
8.
Nenek shahihah
Ashabul-furudh golongan laki-laki terdiri dari:
1.
Suami
2.
Ayah
3.
Kakek shahihah ke atas
4.
Saudara seibu
b. Menurut Hukum Adat
Pembagian dan penetapan besar kecilnya harta
pusaka menurut hukum adat biasanya dilakukan atas dasar kerukunan dan keadilan
antara para ahli waris.
Bila terjadi perselisihan antara para ahli
waris lantaran terjadi pembagian yang tanpa memperhitungkan perbandingan nilai,
maka Hakim Pengadilan Negeri haruslah bijaksana menyelesaikan permasalahan ini guna
menjunjung keadilan.
c. Menurut Burgerlijk Wetboek
1.
Membagi rata nilai harta peninggalan si mati
berdasarkan jumlah ahli waris dalam golongan yang berhaak menerima.
2.
B.W. tidak mengistimewakan bagian anak
laki-laki daripada perempuan dan tidak membedakan bagian anak dengan istri si
mati (ibunya anak).
3.
Penggantian kedudukan pewaris
“plaatsvervulling” oleh anak itu dibenarkan, bila pewaris lebih dahulu
meninggal dari orang yang mewariskan. Hal ini sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Washiat Mesir, yang disebut “washiyat-wajibah”. Namun dalam washiyat-wajibah
ada batasan maksimalnya.
4.
Ahli waris golongan terjauh terhalang oleh
golongan yang lebih dekat.
5.
Bila ahli waris tidakk ada semua harta
peninggalan jatuh pada negara.[5]
C. PUSAKA AHLI WARIS SABABIYAH
a) Bagian Istri
1.
Seperempat. Diperoleh bila suami yang diwarisinya tidak
mempunyai far’u-warits. Yakni anak turun si mati yang berhak waris baik
secara fardh maupun secara ‘ushubah.
2.
Seperdelapan. Diperoleh bila suami yang diwarisinya
mempunyai far’u-warits, baik yang lahir melaui istri pewaris ini maupun
melaui istrinya yang lain.
1) Dasar Hukum
Dalil yang menetapkan dua macam bagian istri terdapat
pada firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 12;
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ
لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”
2) Hajib dam Mahjub
Hajib ialah ahli waris yang menutup hak pusaka ahli
waris yang lain. Sedang mahjub ialah ahli waris yang ditutup hak
pusakanya. Perbuatan menutupnya disebut hijab.
Istri tidak dapat menjadi hajib bagi
ahli wais siapapun dan tidak dapat di-hijab-hirman (hijab yang berakibat
haram mempusakai) oleh ahli waris siapapun juga. Tetapi ia dapat di-hijab-nuqshan
(hijab yang berakibat berkurangnya fardh) oleh:
a. Anak laki-laki/ perempuan.
b. Cucu laki-laki/ perempuan pancar laki-laki.
3) Kaidah Berhitung
a. Sistem Asal-Masalah
Cara-cara menyelesaikan masalah mawaris
menurut sisteem ini adalah:
1. Mencari bagian para ahli waris terlebih dahulu, baik yang berupa furudul-muqaddarah maupun
‘ushubah.
2. Mencari asal-masalahnya setelah diketahui fardh masing-masing ashabul-furudh-nya.
Asal-masalah ialah kelipatan persekutuan bilangan terkecil
(KPK), yang dapat dibagi oleh setiap penyebut furudhul-muqaddarah para ashabul-furudh.
Istilah-Istilah dan Kaidah-Kaidah Untuk Mencari
Asal Masalah
a. Kasr (bentuk jamaknya kusur) ialah angka pecahan, seperti ½, ¼, dll.
b. Basth, ialah pembilang dalam pecahan.
c. Maqam, ialah penyebut dalam pecahan.
d. Makhraj, ialah tempat keluarnya satu suku bagian. Bagian angka (maqam) yang
akan diperbandingkan.
Contoh: 2
adalah makhraj dari pecahan ½ dan
4
adalah makhraj dari pecahan ¼.
Kedua makhraj tersebut yakni; 2 dan 4
disebut makharij-mufradah (makhraj-makhraj tunggal).
Sedang 12 dan 24 disebut makharij-murakkabah
(makhraj-makhraj berganda), karena makhraj 12 adalah hasil kali
dari dua maqam yang bebeda yakni; 3 dan 4. Makhraj 24 adalah
hasil kali dari 3 (separuh dari 6)
dengan 8 atau 4 (separuh dari 8) dengan 6.
e. Tamatsul, ialah bila maqam bagian para ahli waris bernilai sama besar dalam
asal-masalahnya, meskipun basth-nya berbeda.
Contoh: 2
orang saudari kandung fardh-nya →
⅔
2
orang saudari seibu fardh-nya →
⅓
Maka maqam kedua pecahan itu tamatsul.
f. Tadakhul, ialah bila maqam fardh para ahli waris dapat dibagi oleh maqam yang
terkecil.
Contoh: Anak
perempuan fardh-nya →
½
Ibu
fardh-nya → 1/6
Tadakhul → 6 dapat dibagi dengan 2
Untuk menetapkan asal-masalah dam nisbah (perbandingan)
maqam yang tadakhul ialah dengan membuang penyebut yang terkecil.
Jadi asal-masalahnya adalah 6
g. Tawafuq, ialah bila maqam fardh para ahli waris dapat dibagi dengan pembagi
yang sama.
Contoh: Istri fardh-nya → ¼
Maka nishbah kedua maqam tersebut
(4 dan 6) ialah tawafuq-binnishfi (dapat dibagi dua), karena sama-sama
bisa dibagi dengan angka 2.
Adapun perbedaan antara tawafuq dan tadakhul,
yakni:
Pada tadakhul, maqam tekecil dapat
dipakai untuk membagi maqam terbesar dengan hasil bagi 2 kali, 3 kali
dan seterusnya.
Sedangkan tawafuq, maqam terkecil tidak
dapat digunakan untuk membagi maqam terbesar. Namun masing-masing maqam
dalam tawafuq memiliki persamaan dalam angka pembaginya.
h. Tabayun, ialah bila maqam pecahan para ahli waris tidak dapat dibagi dengan
maqam terkecil dan tidak dapat dibagi dengan pembagi yang sama.
Contoh: Suami fardh-nya → ¼
2
orang anak perempuan fardh-nya →
⅔
Maka nisbah kedua maqam 4 dan 3
adalah tabayun. Kedua maqam tersebut tidak bisa dibagi selain
dengan angka 1 saja.
Apabila semua ahli warisnya terdiri dari ‘ashabah
(penerima sisa), tidak ada seorangpun dari mereka yang termasuk ashabul-furudh,
maka cara penetapan asal-masalahnya ialah dengan menghitung jumlah kepala (‘adadur-ru-us)
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Jika semua ahli waris ‘ahabah itu laki-laki (‘ashabah bin-nafsi),
maka setiap ‘ashabah dihitung satu kepala.
Contoh: 5
orang anak laki-laki → asal-masalahnya
= 5
b. Jika ahli waris ‘ashabah terdiri dari laki-laki dan perempuan (‘ashabah-bil-ghair),
maka untuk setiap ‘ashabah laki-laki dihitung mempunyai 2 buah kepala,
sedangkan ‘ashabah perempuan dihitung mempunyai sebuah kepala.
Contoh: 2 orang
anak laki-laki → 4
3
orang anak perempuan → 3
asal-masalahnya 7
3. Mencari berapa saham yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris.
Untuk mencari saham para ashabul-furudh ialah
dengan mengkalikan fardh mereka masing-masing dengan asal-masalah.
Contoh: Suami
fardh-nya →
½
2
orang saudari seibu fardh-nya → ⅓
Ibu
fardh-nya → 1/6
asal-masalahnya adalah 6
Saham untuk suami → 3
Saham untuk 2 orang saudari seibu →
Saham untuk ibu →
4. Kemudian mencari nilai satu saham, yaitu dengan membagi harta peninggalan dengan asal
masalah. Setelah diketahui nilai satu saham, akan diketahui pula penerimaan
mereka masing-masing.
Sebelum mencari nilai per saham, kita
jumlahkan terlebih dahulu semua saham ahli waris lalu cocokkan dengan
asal-masalah.
Jika jumlah saham ahli waris lebih besar dari
asal-masalahnya, solusinya ialah dengan meng-‘aul-kan (menaikkan) asal-masalah agar tak terjadi
kekurangan harta peninggalan.
Sedangkan jika jumlah saham para ahli waris
lebih kecil dari asal-masalahnya, hendaknya asal-masalah itu di-radd-kan
(diturunkan) agar tidak terjadi kelebihan harta peninggalan.
Contoh: Jumlah
harta peninggalan yang akan dibagi adalah Rp. 149.040,-
Asal-masalahnya
adalah 24
Maka nilai setiap saham → Rp. 149.040,- : 24 =
Rp. 6210,-
a. Bila asal-masalah di’aulkan 27, nilai saham menjadi lebih kecil dari semula.
Rp. 149.040,- : 27 = Rp. 5.520,-
b. Bila asal-masalah diraddkan 23, nilai saham menjadi lebih besar dari semula.
Rp. 149.040,- : 23 = Rp. 6.480,-
b. Sistem Perbandingan
Cara-cara menyelesaikan pembagian menurut
sitem ini adalah:
1.
Mengetahui fardh ahli waris kemudian
bandingkan satu sama lain sehingga menjadi angka yang utuh, mengalikannya
dengan Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) yang dapat dibagi oleh tiap maqam
yang diperbandingkan.
Contoh: Suami
fardh-nya → ½
2
saudari seibu fardh-nya → ⅓
Ibu
fardh-nya →
KPK-nya adalah 6
perbandingan fardh mereka →
2.
Jumlahkan hasil perbandingan yang sudah
menjadi angka utuh.
bagian.
3.
Mencari nilai 1 bagian, yakni dengan membagi
harta peninggalan dengan jumlah bagian para ahli waris.
4.
Kemudian kalikan besarnya bagian masing-masing
ahli waris dengan nilai satu bagian.
4) Contoh-Contoh Penerimaan Istri dan Penyelesaiannya
a. Penerimaan ¼
Harta peninggalan si mati sejumlah Rp.
312.000,-
Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu, saudari
seayah dan saudari seibu, maka:
2.
Penyelesaian Menggunakan Sistem Perbandingan
Harta yang akan dibagi = Rp. 312.000.-
Perbandingan furudh: istri, ibu, sdri.
seayah. dan sdri. seibu
Perbandingannya →
Istri →
Ibu →
Sdri. seayah →
Sdri. seibu →
b. Penerimaan ⅛
Harta peninggalan si mati sejumlah 16 h.a.
sawah.
Ahli warisnya terdiri dari istri dan cucu
laki-laki pancar laki-laki, maka:
5) Hikmah Istri Dapat Mempusakai dari Sebab Perkawinan
5) Hikmah Istri Dapat Mempusakai dari Sebab Perkawinan
Pencipta hukum yang bijaksana membenarkan
adanya hak pusaka-mempusakai antara suami-istri dan menggolongkan mereka kepada
kelompok-kelompok kerabat ahli waris.
Adapun hikmahnuya istri memperoleh ⅛ fardh dalam
suatu keadaan dan mendapat ¼ fardh keadaan yang lain sedang suami
mendapat ¼ fardh atau ½ fardh adalah kembali pada ketentuan bahwa
laki-laki itu mendapat dua kali lipat bagian perempuan, karena laki-laki
mempunyai kelebihan dari perempuan dalam beberapa hal. Di sini ia sebagai suami
dan pemimpin rumah tangga yang lebih berat tanggung jawabnya.
b) Bagian Suami
1.
Separuh. Didapat bila istrinya tidak memiliki far’u-warits.
Dengan demikian kalau istri ini memiliki far’u-ghairu-warits, suami
tetap memperoleh ½ fardh.
2.
Seperempat. Didapat bila sang istri meninggalkan far’u-warits.
1) Dasar Hukum
Dalil yang menetapkan dua macam bagian suami
terdapat pada firman Allah dalam surat An-Nisa (4) ayat 12;
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ
مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya.”
2) Hajib dan Mahjub
Suami tidak dapat menjadi hajib terhadap
seorang ahli waris. Ia tidak dapat di-hijab-hirman oleh ahli waris siapa
pun. Namun dapat di-hijab-nuqshan oleh far’u-warits, yakni dari ½ fardh berkurang
menjadi ¼ fardh.
3) Contoh-contoh Penerimaan Suami dan Penyelesaiannya
a. Penerimaan ½
Harta peninggalan si mati sejumlah Rp. 4jt.
b. Penerimaan ¼
Harta peningalan si mati sejumlah uang Rp.
31.200,-
4) Contoh Membagi Harta Pusaka Bersamaan dengan Wasiat Ikhtiyariyah
Seorang suami mati meninggalkan uang sebesar
Rp. 2.700.000,- dengan mewashiyatkan ⅓ harta peninggalannya kepada Yayasan
Pendidikan Islam. Biaya untuk merawat jenazahnya menelan uang sebesar Rp. 300.000,-. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari istri dan anak perempuan,
maka:[10]
[1] Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddiqy, Fiqh mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2010),
hal. 57
[2] Ash-Shiddiqy, Ibid., hal. 58
a.
‘Ushubah, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki ke bawah.
b.
Fardh, yaitu anak perempuan, cucu perempuan pancar laki-laki ke bawah, cucu
perempuan pancar perempuan dan cucu laki-laki pancar perempuan termasuk far’u-ghairu-warits.
[4] Ashlu-warits ialah leluhur si mati yang berhak menerima waris,
seperti; ayah, ibu, kakek shahih dan nenek shahihah ke atas.
[5] Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung:
PT. Alma’arif Bandung. 1975), hal. 128-133
[6] A.m. (asal-masalah)
→ tawafuq, sama-sama bisa
dibagi dngan angka 2. Asal masalah → maqam → (a.m.1)
= (a.m.1) :
½ → tadakhul. Jadi
asal masalahnya adalah 12 (a.m.2)
= (a.m.2) : → tadakhul.
Jadi asal masalahnya
adalah 12 (a.m.3)
=
=
=
=
→ Jumlah saham 13 kita jadikan sebagai a.m. baru sebab ‘aul.
→ Jumlah saham 13 kita jadikan sebagai a.m. baru sebab ‘aul.
[8] ‘Ubn. = ‘Ushubah bin nafs (atau
bisa juga disebut ‘ashabah bin nafs), yakni sisa peninggalan yang
diberikan kepada ahli waris (laki-laki) yang menjadi ‘ashabah tanpa
orang lain.
Kalau
perempuan disebut ‘ashabah bil ghair.
Sama saja bila ditulis → , karena 8 saham yang
dikurangi 1 saham istri sisanya adalah 7 saham.
[10] Fatchur Rahman, Ibid, hal.
136-157
[11] Di samping fardh ½ anak
perempuan juga masih menerima radd, karena masih ada sisa lebih
sedangkan istri tidak dapat menerima radd selama masih ada ashabul-furudh.
Sebenarnya
istri juga termasuk ashabul-furudh, namun dari jalur sababiyah. Sedang
anak adalah ashabul-furudh dari jalur nasabiyah. Menurut jumhur
ulama, yang paling kuat menerima radd adalah ashabul-furudh
nasabiyah.
Berhubung
saham keseluruhan berjumlah 8 dan 1 saham sudah menjadi bagian istri, maka sisa 3 saham ditambahkan ke
bagian anak perempuan yang menerima radd.