|
|
||||||||
|
||||||||
|
KATA PENGANTAR
Hanya pertolongan-Mu, ya Allah, yang kami damba. Segala
puji bagi Allah swt., yang telah menganugerahkan nikmat kehidupan di dunia
menuju kehidupan di akhirat kelak. Shalawat serta salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammaad saw., beserta sahabat dan
keluarganya, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Saya penyusun makalah, alhamdulillah telah
berhasil menyelesaikan makalah “Fiqh Muamalat” tentang “Fiqh Uqud (Perikatan
dan Perjanjian)” yang saya ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban
sebagai mahasiswa.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini, diharapkan dapat
membantu mahasiswa dalam memahami uraian seputar “Fiqh Uqud”.
Saya menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun
kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini
dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat ridha Allah swt.. Amin.
Jakarta, 24 Mei 2014
Penyusun.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... 1
KATA PENGANTAR...................................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan Makalah............................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi Akad............................................................................................. 5
B.
Fungsi Akad............................................................................................... 6
C.
Rukun-Rukun Akad............................................................................... 7
D.
Syarat-Syarat Akad............................................................................... 10
E.
Macam-Macam Akad............................................................................ 10
F. Akibat Hukum dari Akad.................................................................. 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makhluk sosial yang tak terlepas
dari hubungan antar sesamanya guna pemenuhan kebutuhan hidup yang beragam,
itulah manusia. Fiqih muamalah merupakan
segala peraturan yang diciptakan Allah swt. untuk mengatur tata
kehidupan hubungan manusia dengan manusia
lain. Salah satu dari ruang lingkup fiqih muamalah yang beragam sesuai dengan
pembagiannya adalah pembahasan tentang ‘uqud (perikatan dan perjanjian).
Sesuatu yang mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang
mengadakan janji kemudian ada orang lain menyetujui janji tersebut serta menyatakan
pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah
perikatan dua buah janji ('ahdu) dari dua orang yang mempunyai hubungan
antara yang satu dengan yang lain disebut perikatan (‘aqad).
Selain
itu akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja
dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing.
Sebelum
membahas lebih lanjut tentang fungsi akad, rukun-rukun serta syarat-syaratnya, pembagian
atau macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum
yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya
secara khusus dan kita pun dapat mengetahui akibat dari hukum akad tersebut.
Maka dari itu, dalam makalah ini saya akan mencoba untuk menguraikan mengenai
berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam
kehidupan kita sehari-hari.
B. Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang
menjadi
perumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Apakah
definisi akad ?
2.
Apakah fungsi
akad?
3.
Apa
sajakah rukun-rukun akad?
4.
Apa
sajakah syarat-syarat akad?
5.
Ada
sajakah macam-macam akad?
6.
Apakah
hukum akibat dari akad?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Memahami
pengertian akad.
2.
Mengetahui
fungsi akad.
3.
Mengetahui
rukun-rukun akad.
4.
Mengetahui
syarat-syarat akad.
5.
Mengetahui
macam-macam akad.
6.
Mengetahui
akibat hukum dari akad.
BAB II
PEMBAHASAN
Manusia telah mengenal
ihwal akad sejak dahulu kala. Bukan suatu hal yang aneh, jika ada orang yang
mengikat dirinya dengan transaksi yang harus dilaksanakan saat itu juga atau
beberapa waktu berikutnya. Namun belum diketahui secara pasti bagaimana pemikiran
untuk mengadakan transaksi itu muncul dan faktor dominan yang
melatarbelakanginya. Semua yang diungkap dalam masalah ini hanyalah perkiraan
semata.
A. DEFINISISI AKAD
Kata ‘aqad menurut bahasa berarti ikatan dan
tali pengikat. Jika dikatakan ‘aqada al habla maka itu menggabungkan
antara dua ujung tali lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal
yang bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak tampak antara dua
ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog.
Akad secara etimologi mencakup makna ikatan, pengokohan
dalam penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini
sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqih, di
mana kita mendapati sebagian kalangan ulama fiqih menyebutkan akad adalah
setiap ucapan yang keluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada
kecocokan. Sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak dinamakan akad tetapi dinamakan janji.
Dengan landasan ini Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad
mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali
dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang.
Adapun makna akad secara terminologi syar’i yaitu:
“Hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang diperbolehkan oleh
syari’at yang mempunyai pengaruh secara langsung.” Ini artinya bahwa akad
termasuk dalam katagori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’
antara keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul.
Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi
semua syarat yang ada, maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara
keduanya dan akan terlihat hasilnya pada barang yang diakadkan berupa harta
yang menjadi tujuan kedua belah pihak pembuat akad. Pengaruhnya dari kondisi
pertama kepada kondisi baru, jika pada jual beli, maka barang-barang yang
dijual akan berpindah ke tangan pembeli dan nilai harga dari tangan pembeli ke
tangan penjual.
Dibatasinya makna ikatan harus dalam bentuk yang
diperbolehkan oleh syariat untuk mengeluarkan semua ikatan yang tidak
dibolehkan oleh syariat seperti jika ada orang berkata: “Saya sewa engkau untuk
membunuh si fulan dengan bayaran begini, atau merusakkan tanamannya, atau
mencari harta,” lalu ia menjawab: “Saya terima,” maka ini tidak boleh dan tidak
ada pengaruh dari akad yang dibuat.[1]
B. FUNGSI AKAD
Akad dalam Islam mempunyai
kedudukan dan fungsi yang sangat penting, karena akad merupakan alat paling
utama dalam menentukan sah atau tidaknya muamalah dan menggambarkan tujuan
akhir dari muamalah. Jadi dapat dikatakan bahwa, apabila akadnya tidak sesuai,
maka transaksi yang dilakukan menjadi tidak sah.[2]
URGENSI AKAD DALAM
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Manusia sebagai makhluk
sosial pasti butuh pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ini berarti,
setiap orang pasti butuh untuk hidup bersama dengan orang di sekelilingnya.
Allâh yang Maha Pengasih dan Maha Tahu memberikan anugerah kepada manusia
dengan menciptakan alam semesta untuk mereka.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ Ѻ وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَѺ
Allâh-lah yang menundukkan
lautan untukmu supaya kapal-kapal berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan
supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu
bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi kaum yang berfikir.
(al-Jâtsiyah(45):12-13)
Semakin jelas rincian dan
kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan yang
mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim
mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari
menyusun konsep, managemen dan mensukseskannya. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (al-Mâidah(5):1)
Oleh sebab itu, sangat
diperlukan penjelasan umum tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan transaksi,
terutama saat berbagai transaksi menggiurkan bermunculan seperti jamur di musim
hujan. Antusias masyarakat luas dan respon positif mereka telah mengecoh banyak
kaum muslimin untuk ikut andil. Padahal seharusnya sebagai seorang muslim, kita
harus melihat dan menimbangnya dengan aturan agama kita. Jika transaksi
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama dan berminat melakukannya, barulah
kita diperbolehkan ikut andil. Namun jika bertentangan dengan syariat, maka
tinggalkanlah meski nafsu sangat menginginkannya.[3]
C.
RUKUN-RUKUN AKAD
Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menentukan
rukun akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad tersebut terdiri atas:
1.
Pernyataan untuk
mengikatkan diri atau sigah al-‘aqd (ijab-qabul);
2.
Pihak-pihak yang berakad (muta’akidain);
dan
3.
Objek akad (barang yang
diakadkan).
Ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu
hanya satu, yaitu sigah al-‘aqd. Sedangkan pihak-pihak yang berakad dan
objek akad, menurut mereka, tidak termasuk rukun akad tapi termasuk syarat akad.
Karena menurut mereka, yang dikatakan rukun itu adalah suatu esensi yang berada
dalam akad itu sendiri. Sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad sudah
berada di luar esensi akad.[4]
Berikut adalah perincian
dari rukun-rukun akad.
Pertama: Kalimat Transaksi
(Shigh al-‘Aqd).
Yang dimaksudkan adalah
ungkapan atau yang mewakilinya yang bersumber dari transaktor untuk menunjukkan
keinginannya terhadap keberlangsungan transaksi dan sekaligus mengisyaratkan
keridhaannya terhadap akad tersebut. Para Ulama ahli fiqih membahasakannya dengan
îjâb dan qabûl (serah terima), namun mereka berbeda pendapat
tentang definisi ijâb dan qabûl. Menurut madzhab Hanafiyyah, ijâb
adalah kalimat transaksi yang diucapkan sebelum qabûl, baik bersumber
dari pihak pemilik barang (dalam akad jual-beli, sewa-menyewa) ataupun
bersumber dari pembeli (jika dalam akad jual beli).
Sementara menurut jumhur ulama,
îjâb adalah statemen penyerahan dan qabûl adalah statemen
penerimaan. Sehingga menurut jumhur ulama, ijâb itu mestinya diucapkan
oleh orang pemilik barang pertama, seperti penjual, pemberi sewaan, wali calon
isteri dan lain sebagainya. Dan qabûl karena dia adalah penerimaan, maka
berasal dari orang yang akan menjadi pemilik kedua, seperti pembeli, penyewa,
calon suami dan lain sebagainya. Jadi, pemilik pertama yang mengucapkan ijâb
sementara calon pemilik kedua yang mengucapkan qabûl.
Kedua: Pihak Pihak yang
Melakukan Akad (Transaktor).
Maksudnya adalah dua orang
yang terlibat langsung dalam transaksi. Kedua orang ini harus memenuhi syarat
sehingga transaksinya dianggap sah. Syarat-syarat tersebut adalah :
a). Rasyîd (mampu
membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya). Ini ditandai dengan ‘aqil
baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena
dianggap ediot atau bangkrut total, jika melakukan akad maka akadnya tidak sah.
b). Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah. (عن تراض)
b). Sukarela dan tidak terpaksa. Akad yang dilakukan dibawah paksaan tidak sah. (عن تراض)
c). Akad itu dianggap
berlaku dan berkekuatan hukum, apabila tidak memiliki khiyâr (hak
pilih/opsi, boleh memilih antara dua, meneruskan akad atau mengurungkan).
Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar
‘aib (cacat) dan sejenisnya.[5]
Ketiga: Obyek Akad (mahallul aqd/ al-ma’qûd ‘alaihi).
Ketiga: Obyek Akad (mahallul aqd/ al-ma’qûd ‘alaihi).
Sesuatu yang menjadi obyek
akad, terkadang berupa harta benda/ barang dan terkadang non barang atau berupa
manfaat (jasa). Misalnya barang yang dijual dalam akad jual beli, atau yang
disewakan dalam akad sewa-menyewa dan sejenisnya.
Obyek ini juga harus
memenuhi syarat, baru dikatakan akadnya sah. Syarat-syarat itu adalah :
1) Obyek akad adalah suatu
yang bisa ditransaksikan sesuai syariat. Syarat ini disepakati para ulama fiqih.
Penulis Bidâyatul Mujtahid (2/166), Ibnu Rusyd rahimahullah mengatakan,
"(Jika obyek akad itu) barang, maka (syaratnya adalah) boleh
diperjual-belikan, sedangkan (jika obyek akad itu adalah) manfaat (jasa) maka
harus dari sesuatu yang tidak dilarang syari'at. Dalam masalah ini, ada
beberapa masalah yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Di
antara yang sudah disepakati (oleh para ulama') adalah batalnya akad
sewa-menyewa atas semua manfaat (jasa) yang digunakan untuk sesuatu yang zatnya
haram. Demikian juga semua manfaat (jasa) yang diharamkan oleh syariat, seperti
upah menangisi jenazah dan upah para penyanyi. Berdasarkan ini, apabila obyek
akad itu tidak bisa ditransasikan secara syariat, maka akadnya tidak sah.
Misalnya pada akad mu’awadhah (transaksi bisnis), maka yang menjadi
obyek haruslah barang yang bernilai, sepenuhnya milik transaktor dan tidak
terkait dengan hak orang lain.
2) Obyek akad itu ada ketika
akad dilakukan.
3) Obyek transaksi bisa
diserahterimakan. Barang yang tidak ada atau ada tapi tidak bisa
diserahterimakan, tidak sah dijadikan sebagai obyek akad.
4) Jika obyeknya adalah
barang yang diperjualbelikan secara langsung, maka traksaktor harus mengetahui
wujudnya. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, apabila barang-barang
itu berada dalam kepemilikan transaktor namun barang tersebut tidak ada di
lokasi transaksi, seperti dalam jual beli as-Salam, berdasarkan sabda
Nabi saw., "Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam, hendaknya ia
menjual barangnya dalam satu takaran yang jelas atau timbangan yang jelas,
dalam batas waktu yang jelas." [6]
Mengucapkan dengan lidah
merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, ada pula hal-hal
lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad, maka para ulama
menerangkan beberapa cara yang ditempuh, yaitu:
1.
Dengan cara tulisan (kitabah),
seperti dua aqid yang berjauhan tempatnya, maka ijab-qabul boleh
dengan cara ini, atas dasar para Fuqaha membentuk kaidah:
الكِتابة كالخِطاب
“Tulisan
itu sama dengan ucapan.” Dengan ketentuan kitabah tersebut dapat dipahami
kedua belah pihak dengan jelas.
2.
Isyarat, bagi orang-orang tertentu
akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, seperti seorang yang
bisu tidak dapat mengadakan ijab-qabul dengan bahasa orang yang pandai
baca tulis, lalu orang bisu dan tidak pandai baca tulis tersebut dapat
melakukan akad dengan cara isyarat. Maka dibuatlah kaidah:
الإشارة المَعْهودَةُ لِأحْرَسٍ
كالبَيان بالِّلسان
D. SYARAT-SYARAT AKAD
Syarat dalam akad ada
empat, yaitu :
a.
syarat berlakunya akad (in’iqod);
b.
syarat sahnya akad (shihah);
c.
syarat terealisasikannya
akad (Nafadz); dan
d.
Syarat Lazim.
Syarat in’iqod ada
yang umum dan khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti
syarat yang harus pada pelaku akad, objek akad dan shigah akad, akad
bukan pada sesuatu yang diharamkan dan akad-akad pada sesuatu yang bermanfaat.
Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu yang harus ada pada akad-akad
tertentu, seperti syarat minimal dua saksi pada akad nikah. Syarat Shihah,
yaitu syarat yang diperlukan secara syariah agar akad berpengaruh, seperti
dalam akad perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz yaitu
kepemilikan (barang dimiliki oleh pelaku dan berhak menggunakannya). Syarat Lazim,
yaitu bahwa akad dilaksanakan apabila tidak ada cacat.[8]
E.
MACAM-MACAM AKAD
Akad dibagi menjadi beberapa bentuk, tergantung dari
aspek tinjauannya.
Pertama, pembagian akad ditinjau
dari keterkaitannya dengan harta, akad dibagi menjadi dua:
1. Akad maliyah, yaitu semua akad yang melibatkan harta atau benda
tertentu. Baik untuk transaksi komersial, seperti jual-beli maupun non
komersial, seperti hibah, hadiah. Termasuk juga akad terkait dengan
pekerjaan dengan kompensasi tertentu, seperti akad mudharabah, muzara`ah atau
musaqah.
2. Akan ghairu maliyah, adalah akad yang hanya terkait dengan perbuatan saja
tanpa ada kompensasi tertentu. Seperti akad hudnah (perjanjian damai),
mewakilkan, wasiat, dan lain-lain.
Ada akad yang tergolong maliyah dari satu sisi dan ghairu
maliyah dari sisi yang lain. Contohnya: akad nikah, khulu’, shulhu, dan
sebagainya.
Bagaimana bila sesuatu yang diwasiatkan berupa harta
benda?
Jawaban 1.
1.
Apabila
yang ditanyakan tentang‘ warisan’, maka itu bukan termasuk akad maliyah
atau akad ghairu maliyah, karena salah satu rukun akad yakni harus
adanya shighah (ijab dan qabul), sedangkan dalam hal warisan tidak
terdapat shighah.
2.
Apabila
yang ditanyakan tentang ‘wasiat yang berupa harta’, maka itu termasuk akad
maliyah.
Wasiat yang ada dalam contoh akad ghairu maliyah di
atas adalah wasiat yang dalam bahasa fiqihnya al-Wishayyah atau al-Isha.
Sedangkan ‘wasiat yang berupa harta’ itu termasuk akad maliyah dengan
bahasa fiqihnya al-Washiyyah. Kalau warisan bukan termasuk akad, karena
di dalamnya tidak ada rukun ijab dan qabul.
الْعُقُودُ الْمَالِيَّةُ وَالْعُقُودُ غَيْرُ الْمَالِيَّةِ :
الْعَقْدُ إِذَا وَقَعَ عَلَى عَيْنٍ مِنَ الأَعْيَانِ
يُسَمَّى عَقْدًا مَالِيًّا بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، سَوَاءٌ أَكَانَ نَقْل
مِلْكِيَّتِهَا بِعِوَضٍ، كَالْبَيْعِ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهِ مِنَ الصَّرْفِ
وَالسَّلَمِ وَالْمُقَايَضَةِ وَنَحْوِهَا أَمْ بِغَيْرِ عِوَضٍ، كَالْهِبَةِ وَالْقَرْضِ وَالْوَصِيَّةِ
بِالأَعْيَانِ([9])وَنَحْوِهَا،
أَوْ بِعَمَلٍ فِيهَا ، كَالْمُزَارَعَةِ وَالْمُسَاقَاةِ وَالْمُضَارَبَةِ
وَنَحْوِهَا.
أَمَّا إِذَا وَقَعَ
عَلَى عَمَلٍ مُعَيَّنٍ دُونَ مُقَابِلٍ كَالْوَكَالَةِ وَالْكَفَالَةِ ،
وَالْوِصَايَةِ([10])،
أَوِ الْكَفِّ عَنْ عَمَلٍ مُعَيَّنٍ كَعَقْدِ الْهُدْنَةِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
وَأَهْل الْحَرْبِ ؛ فَهُوَ عَقْدٌ غَيْرُ مَالِيٍّ مِنَ الطَّرَفَيْنِ.[11]
Kita pahami terlebih dahulu pengertian di atas, yakni:
1)
Akad maliyah: yaitu
apabila transaksi tersebut bersangkutan pada harta benda tertentu dinamakan akad
maliyah menurut kesepakatan ulama fiqih, sama halnya dengan tukar menukar
barang secara komersial seperti: jual beli dan segala macam jenisnya dari thasarruf,
salam, muqayyadah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat non
komersial seperti: hibah, qard, wasiat dengan harta, dan lain sebagainya
ataupun yang berkaitan dengan pekerjaan dengan kompensasi tertentu sepert: akad
muzara’ah, mudharabah, dan lain sebagainya
2)
Akad ghairu maliyah: yaitu apabila transaksi tersebut hanya berkaitan
dengan pekerjaan tertentu tanpa adanya kompensasi seperti: akad perwakilan (wakalah),
akad jaminan (kafalah), dan wasiat, atau cukup dengan perbuatan
seperti akad hudnah baina al-Muslimin wa ahlu al-Harb, maka itu
adalah akad ghairu maliyah dari dua sisi.
Selanjutnya
kita pahami perbedaan kedua contoh di atas, yakni:
a) Wasiat yang berupa harta (baca; (al-Washiyyah) الوصية)
Akad yang berupa wasiat
dengan harta tersebut termasuk akad maliyah, karena transaksi di sini
lebih mengarah pada wasiat pada harta atau benda yang diwasiatkan. Misalkan,
Zaid berkata: “Aku wasiatkan 100 dinar ini kepada Umar.” Dapat disimpulkan
bahwa Zaid memfokuskan akad tersebut pada hartanya yang dituju, oleh karena itu
masuk dalam definisi akad maliyah.
b) Wasiat (baca; (al-Isha) الإيصاء atau (al-Wishayyah), الْوِصَايَةِ)
Akad yang berupa wasiat
(untuk mengelola sesuatu) secara muthlak tersebut termasuk akad
ghairu maliyah, karena transaksi di sini lebih mengarah pada pekerjaan yang
ingin diperoleh. Misalkan, Zaid berkata: “Aku wasiatkan pada Umar dalam
melunasi hutangku, atau dalam mengembalikan barang yang dititipkan kepadaku.”
Dapat disimpulkan bahwa Zaid lebih mengarahkan pada pekerjaan Umar yang tanpa
kompensasi tersebut, oleh karena itu masuk dalam definisi akad ghairu
maliyah.
Jawaban 2.
Wasiat yang berupa harta benda itu termasuk akad
maliyah dari satu sisi, karena akad tersebut berkaitan dengan harta benda
yaitu sesuatu yang diwasiatkan dan termasuk akad ghairu maliyah dari
sisi yang lain, karena pada dasarnya atau pada umumnya wasiat termasuk akad
ghairu maliyah.
Kedua, pembagian akad ditinjau
dari konsekwensinya, dibagi dua:
1. Akad lazim, adalah akad yang mengikat
semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak tidak punya hak untuk
membatalkan akad kecuali dengan kerelaan pihak yang lain. Contoh: akad jual-beli,
sewa-menyewa, hiwalah, dan semacamnya.
2.
Akad jaiz atau akad ghairu lazim, adalah akad yang tidak
mengikat. Artinya salah satu pihak boleh membatalkan akad tanpa
persetujuan rekannya. Contoh: akad pinjam-meminjam, wadi`ah, mewakilkan,
dan lain-lain.
Ketiga, pembahasan akad ditinjau
dari keterkaitan dengan hak pilih.
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:
Ditinjau dari adanya khiyar (hak pilih) dan tidak diterimanya hak pilih, akad dibagi menjadi enam:
1.
Akad mengikat yang tujuan utama komersial. Ada dua
bentuk:
a.
Akad yang memberi kesempatan untuk khiyar majlis
dan khiyar syarat. Misalnya akad jual beli yang tidak dipersyaratkan
adanya qabdh (serah terima), transaksi jasa untuk suatu pekerjaan
tertentu.
b.
Akad yang dipersyaratkan adanya qabdh di tempat
transaksi. Seperti transaksi tukar-menukar uang, transaksi salam, dan transaksi
tukar menukar barang ribawi. Semua transaksi ini tidak boleh ada khiyar.
2.
Akad mengikat namun bukan komersial. Seperti akad
pernikahan, khulu`, wakaf, atau hibah. Semua akad ini tidak ada
hak pilih untuk membatalkan dari salah satu pihak.
3.
Akad yang hanya mengikat salah satu pihak namun tidak
mengikat pihak lainnya. Seperti akad rahn (gadai), yang mengikat bagi
pihak rahin (orang yang menggadaikan barang). Sebaliknya, tidak mengikat
bagi murtahin (orang yang memberi hutang dengan gadai). Dalam transaksi
ini tidak ada hak khiyar. Karena akad bagi murtahin adalah akad
jaiz, sehingga dia bisa membatalkan transaksi kapan saja tanpa menunggu
persetujuan pihak rahin.
4.
Akad jaiz dari semua pihak yang terlibat
transaksi. Seperti akad syirkah, mudharabah, ju’alah, wakalah, wadi’ah,
atau wasiat. Pada kasus transaksi semacam ini tidak ada hak khiyar
karena masing-masing bebas menentukan keberlanjutan transaksi tanpa harus ada
persetujuan dari pihak lain.
5.
Akad pertengahan antara jaiz dan lazim,
seperti musaqah dan muzara`ah. Yang lebih mendekati kebenaran,
keduanya adalah akad jaiz. Sehingga tidak perlu ada hak khiyar,
karena masing-masing pihak memiliki wewenang untuk membatalkan transaksi tanpa
persetujuan pihak lain.
6.
Akad lazim, dimana salah satu pihak
transaksi tidak terikat. Contoh akad hiwalah. Dalam akad ini tidak ada khiyar,
karena pihak yang tidak ditunggu persetujuannya tidak memiliki hak khiyar.
Jika dalam akad, pada salah satu pihak transaksi tidak memiliki hak khiyar
maka pihak yang lain juga tidak memiliki khiyar.
Keempat, akad ditinjau dari
tujuannya, dibagi dua:
1. Akad Tabarru` (akad non komersial). Contoh akad hibah, `ariyah,
wadi`ah, wakalah, rahn, wasiat, hutang-piutang, dan lain-lain.
2. Akad Mu`awadhat (akad komersial). Contoh: jual beli, salam,
tukar-menukar mata uang, ijarah, istishna`, mudharabah, muzara`ah, musaqah,
dan lain-lain.
Kelima, pembagian akad
berdasarkan sah dan tidaknya
Akad ditinjau dari hukumnya, apakah diakui secara syariat
ataukah tidak dibagi menjadi dua:
1. Akad yang sah. Akad dianggap sah jika semua syarat dan rukunnya
terpenuhi. Konsekwensi akad yang sah adalah adanya perpindahan hak kemanfaatan
dalam sebuah transaksi. Misalnya, dalam akad jual beli yang sah maka konsekwensinya,
penjual berhak mendapatkan uang dan pembeli berhak mendapatkan barang.
2. Akad yang tidak sah. Kebalikan dari akad yang sah, akad dianggap tidak sah
jika tidak diakui secara syariat dan tidak memberikan konsekwensi apapun. Baik
karena bentuk transaksinya yang dilarang, seperti judi, riba, jual beli
bangkai, dan seterusnya. Maupun karena syarat atau rukun transaksi tidak
terpenuhi, misalnya menjual barang hilang, transaksi yang dilakukan orang gila,
dan seterusnya.
Keenam, akad terkait adanya qabdh
(serah-terima) dibagi dua:
1. Akad yang tidak
dipersyaratkan adanya qabdh di tempat akad. Misalnya akad jual beli
secara umum, ijarah, nikah, wasiat, wakalah, hiwalah, dan yang lainnya.
Dalam akad jual beli, transaksi jual beli sah jika sudah ada ijab-qabul.
Baik sekaligus dilakukan serah terima barang maupun serah terimanya ditunda.
Demikian pula akad nikah. Tepat setelah akad, masing-masing telah berstatus
suami istri, baik serah terima mahar dilakukan di tempat akad maupun ditunda.
2. Akad yang dipersyaratkan
adanya qabdh di tempat transaksi. Akad ini dibagi menjadi beberapa
macam:
a. Akad yang dipersyaratkan
adanya qabdh untuk dinyatakan sah berpindahnya kepemilikan. Meskipun
akadnya dianggap sah sebelum adanya qabdh, namun kepemilikan belum
berpindah sampai Seperti hibah, hutang, atau `ariyah
(pinjam-meminjam). Dalam transaksi hibah, barang yang hendak dihibahkan
tidak secara otomatis pindah kepada orang yang diberi hanya dengan ijab-qabul.
Namun disyaratkan adanya penyerahan barang dengan izin orang yang memberi.
Demikian pula dalam transaksi hutang-piutang. Kreditur tidak secara otomatis
memiliki uang yang dihutangkan dengan sebatas ijab-qabul, sampai dia
menerima uang tersebut dari debitur. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Oleh
karena itu, andaikan uang yang hendak dihutangkan itu hilang sesudah transaksi
namun sebelum dilakukan serah terima, maka uang itu menjadi tanggungan debitur
bukan kreditur.
b. Akad yang dipersyaratkan
adanya qabdh untuk bisa dinilai sah. Jika tidak ada serah terima
di tempat transaksi maka transaksi dianggal batal. Contoh: transaksi
tukar-menukar mata uang, tukar-menukar barang ribawi, transaksi salam,
mudharabah, musaqah, atau muzara`ah. Ini berdasarkan hadis, Nabi saw. bersabda: “Janganlah kalian menjual emas
dengan emas kecuali yang beratnya sama dan tunai”. (HR. Muslim 1584). Untuk
jual beli salam (uang dibayar di muka, barang tertunda), mayoritas ulama
berpendapat bahwa uang harus sudah diserahkan sebelum berpisah antara penjual
dan pembeli. Ini berdasarkan hadis: “Barangsiapa yang ingin melaksanakan
transaksi salam maka hendaknya dia tentukan takarannya, timbangannya, dan
waktunya”. (HR. Muslim 1604).
Ketujuh, ditinjau dari
konsekwensinya, akad dibagi dua:
1. Akad Nafidz (terlaksana). Akad yang sempurna untuk dilaksanakan; akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang
untuk melaksanakannya. Akad dianggap nafidz
ketika akad tersebut sah dan tidak ada lagi keterkaitan dengan hak orang lain.
Contoh akad jual beli yang sempurna. Barang yang dijual tidak ada sangkut
pautnya dengan orang lain, sementara uang yang diserahkan adalah murni
milik pembeli. Akad nafidz hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki
ahliyatu tasharruf (kemampuan untuk bertransaksi).
2. Akad Mauquf
(menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih memiliki
keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain tanpa
izin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa akad mauquf hukumnya sah, hanya
saja konsekwensi akad bergantung pada pemilik barang atau pemilik uang.
Sehingga pembeli tidak boleh menerima barang sampai mendapatkan izin dari
pemiliknya. Demikian pula penjual tidak boleh menerima uang sampai dia mendapat
izi dari pemilik uang.
Kedelapan, Akad ditinjau dari batas
waktunya
1. Akad Muwaqqat (terbatas
dengan batas waktu tertentu). Akad muwaqqat
adalah semua akad yang harus dibatasi waktu tertentu. Misalnya: ijarah,
musaqah, atau hudnah (perjanjian damai).
2. Akad Mutlaq (tanpa
batas waktu), ada dua bentuk:
- Akad yang tidak boleh
dibatasi waktu tertentu. Misalnya: akad nikah, jual beli, jizyah,
atau wakaf. Tidak boleh seseorang nikah untuk jangka waktu tertentu.
Demikian pula terlarang menjual barang, tetapi untuk jangka waktu
tertentu.
b.
Akad yang boleh dibatasi
waktu, namun terkadang tidak membatasi, seperti hutang. Terkadang dibatasi
waktu, namun jika kreditur tidak mampu melunasi pada batas waktu yang
ditentukan maka wajib ditunggu.[12]
F.
AKIBAT HUKUM DARI AKAD
Menurut ulama fikih, setiap akad mempunyai akibat hukum,
yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula. Seperti perpindahan
hak milik dari penjual kepada pembeli. Dan akad itu bersifat mengikat bagi
pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal-hal
yang dibenarkan syarak. Seperti terdapat cacat pada objek akad, atau akad
itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
beberapa penjelasan yang telah teruai di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan
bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau
kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan
memiliki implikasi hukum tertentu. Terkait dalam implementasinya tentu akad
tidak pernah lepas dari rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi
sah dan sempurnanya sebuah akad.
Adapun
mengenai macam-macam akad dapat dilihat dari berbagai perspektif, baik dari
segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, konsekwensinya, tujuannya,
dan lain-lain. Semua mengandung unsur yang sama yakni adanya kerelaan
dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari
satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya
akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga
tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta: AMZAH.
Rasyid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalat. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ulama Kementrian Agama
Kuait. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah. Maktabah Syamilah.
[3] http://almanhaj.or.id/content/3621/slash/0/akad-dan-rukunnya-dalam-pandangan-islam/ (diakses 17 Januari 2014)
[4] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/01/m071sx-ensiklopedi-hukum-islam-akad (diakses 17
Januari 2014)
[6] http://almanhaj.or.id/content/3621/slash/0/akad-dan-rukunnya-dalam-pandangan-islam/ (diakses 17
Januari 2014)
صورة الوصية :
الوصية للمعين،
أن يقول زيد : أوصيت لعمرو بمائة دينار . الوصيّة للجهة، أن يقول زيد : أوصيت
للفقراء بهذه الصيغة .
صورة الإيصاء:
أن يقول زيد : أوصيت إلى عمرو في قضاء
ديوني ، و رد ودائعي و النظر على أولادي و محاجيري .
انظر: (الياقوت النفيس، ص: 33)
[11] Ulama Kementrian Agama
Kuait, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 30, hal. 227-228, (Maktabah Syamilah).
[13] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/01/m071sx-ensiklopedi-hukum-islam-akad (diakses 17 Januari 2014)
0 komentar:
Posting Komentar