MAKALAH
NIKAH
TAHLIL
Untuk Memenuhi Tugas Ayat Ahkam Munakahat
yang diampu oleh :
Tohirin,
Lc, MA
Disusun oleh:
Nama
|
NIM
|
Annisa Ratna Pratiwi
|
13011261
|
Jamiliyah
|
13011280
|
FAKULTAS
SYARI’AH
PRODI
FIQIH DAN USHUL FIQH
MA’HAD
‘ALY SA’IIDUSSHIDDIQIYAH JAKARTA
JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah swt.,
atas rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada kita. Semoga shalawat
dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan nabi besar Muhammaad saw.,
beserta sahabat dan keluarganya, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Kami penyusun makalah, alhamdulillah telah
berhasil menyelesaikan makalah “Ayat Ahkam Munakahat” tentang “Nikah Tahlil”
yang kami ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini, diharapkan dapat
membantu mahasiswa dalam memahami nikah tahlil dan argumentasi hukumnya
menurut pandangan ulama beserta status haditsnya.
Kami menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun
kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini
dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat ridha Allah swt.. Amin.
Jakarta, 1 Maret 2014
Penyusun.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR...................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan Makalah...................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Status Hadits..................................................................................................................................... 5
B.
Pengertian Nikah Muhallil/ Tahlil...................................................................................... 7
C.
Pandangan Ulama Mengenai Nikah Tahlil..................................................................... 7
1. Pernikahan yang Menghalalkan Wanita Setelah
Ditalak Tiga.......................... 7
2.
Hukum
Nikah Tahlil..................................................................................................................... 8
3.
Hikmah Larangan Nikah Tahlil............................................................................................. 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................
12
Bismillaahirrahmaanirrahiim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang
luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan yang baik
adalah sebuah ikatan seumur hidup dan memerlukan sesuatu yang lebih dari
sekadar “peduli”, “pemenuhan diri” dan “komitmen”, bukannya merugikan seperti
“nikah tahlil” yang masuk dalam pernikahan terlarang karena memanfaatkan
status pernikahan kedua sang wanita dengan laki-laki lain guna menghalalkan
pernikahan dengan suami pertama yang telah mentalak tiga-nya yang akan penulis
paparkan dalam makalah ini.
B. Perumusan Masalah
Dengan
memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi
perumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
status hadits nikah tahlil?
2.
Apakah pengertian
nikah tahlil?
3.
Bagaimana
pandangan ulama mengenai nikah tahlil dan argumentasinya?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Mengetahui
status hadits tentang nikah tahlil
2.
Memahami
pengertian nikah tahlil
3.
Mengetahui
pandangan ulama mengenai nikah tahlil dan argumentasinya
BAB II
PEMBAHASAN
A. STATUS HADITS
عَنْ عَلِيٍّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِسْمَعِيلُ وَأُرَاهُ قَدْ رَفَعَهُ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
2076.
Diriwayatkan oleh Ali bin Abu Thalib ra., sesungguhnya Rasulullah saw.
pernah bersabda, "Allah swt. telah melaknat muhallil (orang yang menikahi
wanita yang dithalak tiga supaya suaminya yang pertama dapat menikahi kembali)
dan muhallal lahu (orang yang menthalak istrinya dengan thalak tiga dan ingin
menikahinya kembali). " (Shahih)[1]
Hadits
di atas merupakan hadits shahih tentang pelarangan nikah tahlil.
Kata shahih (الصَّحيح) dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as–saqim
(السَّقيم) orang yang sakit, jadi
yang di maksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar, tidak
terdapat penyakit dan cacat . Dalam istilah hadis shahih adalah.
هو ما اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضِّابِطِ
ضَبْطًا كاَمِلا عن مِثْلِهِ وخَلا مِنَ الشُّذُوذِ والعِلَّة
“Hadis yang muttasil (bersambung) sanad-nya, diriwayatkan oleh orang adil
dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna
dari sesamanya selamat dari kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat ).”[2]
Perawi
hadits tersebut adalah Imam Abu Daud dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud.
Menurut Abdurrahman bin Abi Hatim, bahwa nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al
Asy’ats bin Syadad bin ‘Amru bin ‘Amir.
Menurut Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Hasyimi; Sulaiman bin al Asy’ats bin
Basyar bin Syadad.
Ibnu Dasah dan Abu ‘Ubaid Al Ajuri berkata; Sulaiman
bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad. Pendapat ini di perkuat oleh
Abu Bakr Al Khathib di dalam Tarikhnya. Dan di dalam bukunya beliau menambahi
dengan; Ibnu ‘Amru bin ‘Imran al Imam, Syaikh as Sunnah, Muqaddimu al huffazh,
Abu Daud al-azadi as-Sajastani, muhaddits Bashrah.
Tidak ada ulama yang menyebutkan tanggal dan bulan
kelahiran beliau, kebanyakan refrensi menyebutkan tahun kelahirannya. Beliau
dilahirkan pada tahun 202 H.. Disandarkan kepada keterangan dari murid beliau,
Abu Ubaid Al Ajuri ketika beliau wafat, ia berkata “Aku mendengar Abu Daud
berkata : ‘Aku dilahirkan pada tahun 202 Hijriah’”.
Semenjak kecil Imam Abu Daud memfokuskan diri untuk
belajar ilmu hadits, maka kesempatan itu beliau gunakan untuk mendengarkan
hadits di negrinya Sijistan dan sekitarnya. Kemudian beliau memulai rihlah
ilmiah-nya ketika menginjak umur delapan
belas tahun.
Imam Abu Daud menyusun kitabnya di Baghdad. Prioritas
penysusnan kitabnya adalah masalah hukum, sebagaimana yang di ungkapkan oleh as
Suyuthi bahwasannya Abu Daud hanya membatasi dalam bukunya pada hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum saja.
Abu Bakar bin Dasah menuturkan; “Aku mendengar Abu
Daud berkata, ‘Aku menulis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebanyak lima ratus ribu hadits, kemudian aku pilah-pilah dari hadits-hadits
tersebut dan aku kumpulkan serta aku letakkan dalam kitabku ini sebanyak empat
ribu delapan ratus Hadits. Aku sebutkan yang shahih, yang serupa dengannya dan yang
mendekati kepada ke shahihan. Cukuplah bagi seseorang untuk menjaga agamanya
dengan berpegangan terhadap empat hadits, yaitu; yang pertama : “Segala
perbuatan harus di sertai dengan niat,” yang kedua : “Indikasi baik islamnya
seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya,” yang
ketiga : “Tidaklah seorang mu’min menjadi mu’min yang hakiki, sehingga dia rela
untuk saudaranya sebagaimana dia rela untuk dirinya sendiri,” dan yang keempat :
“Yang halal itu sudah jelas.”’”
Adapun hasil karya beliau yang sampai kepada kita
adalah :
- As Sunan
- Al Marasil
- Al Masa’il
- Ijabaatuhu ‘an Su’alaati Abi ‘Ubaid Al Ajuri
- Risalatuhu Ila Ahli Makkah
- Tasmiyyatu Al Ikhwah alladziina Rowaa ‘anhum Al Hadits
- Kitab Az Zuhd
Adapun kitab beliau yang hilang dari peredaran adalah :
- Ar Radd ‘ala Ahli Al Qadar
- An Nasikh wal Mansukh
- At Tafarrud
- Fadla’ilu Al Anshar
- Musnad Hadits Malik
- Dala’ilu An Nubuwwah
- Ad Du’aa’
- Ibtidaa’u Al Wahyi
- Akhbaru Al Khawarij
- Ma’rifatu Al Awqaat
Abu ‘Ubaid al Ajuri menuturkan, “Imam Abu Daud
meninggal pada hari Jum’at tanggal 16 bulan Syawwal tahun 275 hijriah, berumur
73 tahun. Beliau meninggal di Busrah. Semoga Allah selalu melimpahkan
rahmat-Nya dan meridhai beliau.”
B. PENGERTIAN NIKAH MUHALLIL/ TAHLIL
Muhallil secara bahasa berarti
yang menjadikan halal. Nikah Muhallil adalah pernikahan di mana seorang
laki-laki menikahi seorang wanita yang sudah ditalak tiga kemudian ia
mentalaknya dengan maksud agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh
suaminya yang dahulu yang telah mentalak tiga.
Pernikahan
ini biasanya terjadi ketika si mantan suami yang telah mentalak isterinya tiga
kali bermaksud untuk kembali lagi kepada isterinya, namun karena sudah ditalak
tiga, ia tidak boleh langsung menikahi mantan isterinya itu kecuali si isteri
tadi menikah dahulu dengan laki-laki lain. Untuk tujuan itu, kemudian si
laki-laki menyewa atau membayar laki-laki lain agar menikahi mantan isterinya
dengan catatan tidak boleh disetubuhi atau boleh disetubuhi tapi harus sesegera
mungkin diceraikan, agar sang mantan suami dapat menikahinya kembali. Orang
yang dibayar untuk menikahi mantan isterinya, dalam istilah fiqh disebut
dengan almuhallil (yang menjadikan halal), sedangkan mantan suami yang
membayar laki-laki tadi disebut dengan al-muhallal lah.[3]
C.
PANDANGAN
ULAMA MENGENAI NIKAH TAHLIL
1.
Pernikahan
yang Menghalalkan Wanita Setelah Ditalak Tiga
Jika
seorang mentalak istrinya dengan talak tiga, maka tidak halal baginya untuk
kembali hingga si wanita selasai masa iddahnya, lalu menikah lagi dengan
laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, dan tidak ada maksud untuk tahlil
(penghalalan). Jika si wanita menikah dengan suami kedua dengan didasari rasa
cinta, lalu sang suami menggaulinya hingga merasakan kenikmatan (seksual)
antara keduanya, kemudian sang suami menceraikannya dengan talak atau mati,
maka bagi sami yang pertama boleh menikahi wanita tersebut setelah selesai
iddahnya. [4]
Seperti
sabda rasul saw. :
عن عائشة رضِيَ الله قالت : جاءتِ امرأةُ رِفاعةَ
القُرَظِيِّ إلى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم فقالت : كُنْتُ عند رِفاعةَ القرظيّ
فطلَّقَني قَبَتَّ طلاقي فتزوّجتُ بعده عبدَ الرّحمن بنِ الزَّبير وإنّما معه
مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ. فتبسّم رسولُ الله صلّى الله عليه وسلّم وقال :
أتريدين أن ترجِعي إ لى رِفاعةَ؟ لا, حتّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ ويَذوقَ عُسَيْلَتَكَ.
فقالتْ : وأبو بكرٍ عنده, وخالِدُ بنُ سعيدٍ بِالْبابِ يَنْتَظِرُ أن يُؤْذَنَ له,
فَنَادَى : يا أبا بكرٍ, ألَا تسْمَعُ إلى هذه ما تَجْهَرُ به عند رسولِ الله صلّى
الله عليه وسلّم؟
Dari
Aisyah ra., ia berkata, “Istri Rifa’ah Al-Qurazhi datang kepada Nabi saw. lalu
berkata, ‘Sebalumnya aku adalah istri Rifa’ah Al-Qurazhi, lalu menjatuhka
ntalak terakhir padaku. Setelah itu aku menikah dengan Abdurrahman bin Zabir,
namun punyanya hanya seperti rumbai kain.’
Rasulullah saw. Tersenyum lalu bilang, ‘Apa kau ingin kembali kepada
Rif’ah? Tidak, sebelumnya kau merasakan kenikmatan berhubungan badan dengannya
(Abdurrahman bin Zabir) dan ia pun merasakan kenikmatan berhubungan badan
denganmu.’ Aisyah berkata, “Saat itu Abu Bakar ada di dakat beliau sementara Khalid bin Sa’id
berada di depan pintu menantikan izin untuk masuk, lalu Khalid memanggil dengan
suara keras, ‘Wahai Abu Bakar! Apa kau tidak mendengar si wanita itu wanita itu
berkata terus terang di hadapan Rasulullah saw?”[5]
2. Hukum Nikah Tahlil
Pernikahan
ini haram hukumnya berdasarkan hadits
di atas dan dalil berikut ini:
عن ابن مسعود قال : لَعَنَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم المحلِّلَ والمحلَّلَ
لَه (أخرجه الترمذي و النسائي وأحمد)
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Rasulullah melaknat
al-muhallil (yang menjadikan halal) dan almuhallal lah (yang dijadikan halal
karenanya)." (HR. Turmudzi, Nasai dan Ahmad).
عن عُمَر بن الخطّاب قال : لاأوتِيَ بمحلِّل و محللة إلا رَجَمْتْهماَ (رواه
إبن الرزاق بإسناد الصحيح )
Artinya:
Umar bin Khatab berkata: "Tidak didatangkan kepadaku muhallil dan wanita
yang dijadikan halal karenanya, kecuali aku akan meranjam keduanya." (HR.
Abdur Razak dengan sanad yang shahih).[6]
Ini adalah nash yang shahih tantang batal dan tidak
sahnya pernikahan tahlil, karena laknat tidak akan terjadi kecuali pada perkara
yang haram dalam syariat. Tidak halal bagi seorang wanita menikah dengan suami
pertama, selagi ada niatan untuk tahlil, karena suatu amalan itu dilihat dari
maksud dan niatnya. Dan inilah pendapat yang benar yang dipilih oleh Malik,
Ahmad, Ats-Tauri, Ahlu Zahir dan selain mereka fari kalangan fuqaha, di
antaranya Al-Hasan, An-Nakha’I, Qatadah, Al-Laits dan Ibnu Al- Mubarak.[7]
At-Tirmidzi ra. berkata: "Pengamalan atas hal ini
dilakukan para ulama dari kalangan Sahabat Nabi saw. di antaranya adalah ‘Umar
bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selainnya, serta
ini pun adalah pendapat fuqaha dan Tabi’in.
Asy-Syafi’i ra. berkata, "Pernikahan muhallil,
yang diriwayatkan bahwa Rasulullah melaknatnya, bagi kami (wallaahu a’lam)
sama halnya dengan nikah mut’ah, karena pernikahan ini tidak mutlak,
jika disyaratkan agar menikahinya hingga melakukan persetubuhan. Pada dasarnya,
dia melakukan akad nikah terhadapnya hingga dia menyetubuhinya. Jika dia telah
menyetubuhinya, maka selesailah status pernikahannya dengan wanita
tersebut."
Ibnu Qudamah ra. mengatakan bahwa secara keseluruhan
pernikahan muhallil adalah haram lagi bathil menurut pendapat
semua ahli ilmu, baik wali mengatakan: “Aku menikahkanmu dengannya hingga kamu
menyetubuhinya,” maupun mensyaratkan bila telah menggaulinya, maka tiada
pernikahan di antara keduanya, atau bila telah menggaulinya untuk pertama
kalinya maka dia harus menceraikannya. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa
pernikahan tersebut sah tetapi syaratnya tidak sah.
Ibnu Mas’ud berkata “Muhallil dan muhallal lahu
dilaknat melalui lisan Muhammad saw. dan kami mempunyai riwayat dari Nabi saw.:
'Semoga Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.'”
‘Umar bin al-Khaththab ra. berkata ketika beliau
berkhutbah: "Demi Allah, tidaklah dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal
lahu melainkan aku merajam keduanya. Sebab, keduanya adalah pezina."
Dan karena pernikahan hingga suatu masa, atau di dalamnya terdapat syarat yang
menghalangi kelangsungan pernikahan tersebut, maka ini serupa dengan nikah mut'ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra. pernah ditanya tentang
orang yang berucap: “Jika wanita yang dicerai telah disetubuhi seseorang (yang
menikahinya) pada duburnya, maka dia halal untuk suaminya; apakah ini benar
ataukah tidak?” Beliau menjawab: “Ini adalah ucapan bathil, menyelisihi
pendapat para Imam kaum muslimin yang masyhur dan para Imam kaum muslimin
lainnya. Sebab, Nabi saw. bersabda kepada wanita yang ditalak tiga (kemudian
menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama):
لاَ حَتَّى
تَذُوْقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقَ عُسَيْلَتَكِ
“Tidak, hingga engkau merasakan madunya dan dia merasakan
madumu.”
Ini adalah nash (teks) tentang keharusan merasakan madu
masing-masing dan ini tidak terjadi dengan (cara menyetubuhi) dubur. Tidak
diketahui adanya pendapat yang menyelisihi hal ini. Pendapat tersebut adalah
pendapat aneh yang diselisihi oleh sunnah yang shahih, lagi pula
telah ada ijma’ sebelumnya dan sesudahnya.
Beliau juga ditanya tentang tahlil yang dilakukan
manusia pada hari ini: "Jika terjadi pada apa yang mereka lakukan berupa
pemberian hak, kesaksian, dan siasat-siasat lainnya; apakah itu sah ataukah
tidak?" Beliau menjawab: "Tahlil yang mereka sepakati bersama suami
(baik lafal maupun kebiasaan) agar menceraikan wanita itu, atau suami meniatkan
demikian adalah diharamkan. Nabi saw. melaknat-nya.”[8]
3. Hikmah Larangan Nikah Tahlil
Para Ahli tafsir dan ulama berkata tentang hikmah
pelarangn ini; jika seorang laki-laki mengetahui bahwa seorang wanita tidak
halal baginya setelah ditalak tiga, kecuali jika telah menikah dengan laki-laki
lain, maka itu akan membuatnya tidak akan melakukan talak tiga, karena itu
adalah sesuatu yang tidak dapat diterima bagi kecemburuan laki-laki dan
kejantanan mereka, terutama jika suami yang baru adalah musuh atau rival bagi
suami yang lama.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah tahlil atau muhalil adalah nikah yang dilakukan kerena
adanya hasrat atau keinginan rujuk oleh suami atau istri pertama, akan tetapi
sudah terjadinya talak tiga. Oleh karena
itu apabila ingin melakukan rujuk harus mengadakan nikah tahlil terlebih dahulu. Yang mana istri yang di talaq tiga harus menikah lagi dengan laki –
laki lain dan dalam terjadinya pernikahan tersebut harus mlelakukan hubungan
suami istri yang di dasari rsa cinta. Akan tetapi dengan syarat si wanita
apabila ingin melakukan nikah tahlil harus menunggu selesai masa iddah-nya,
barulah boleh minikah dengan laki – laki lain dengan pernikahan yang sah dengan
syarat tidak ada maksud untuk tahlil ( muhalil )
Sesungguhnya nikah tahlil ataupun yang melakukannya akan di laknat
oleh nabi melalui lisanya, karena laknat tidak akan terjadi kecuali pada
perkara yang haram syariatnya.
Dengan adanya nikah tahlil ini dapat diambil hikmahnya. Yaitu
seorang suami tidak akan lagi – lagi mengucapakan sesuatu perkataan yang tidak
sesuai dengan syariat islam termasuk dalam perkataan untuk menjatuhkan talak
tiga, karena dengan terjadinya talak tiga tidak mengurangi kemungkinan terjadi
pula talak tiga.
Yang kedua akan mengurangi martabat si laki – laki karena dengan terjadinya
nikah tahlil, terjadi pula perbandingan antara si suami pertama dengan
suami yang ke dua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faifi,
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyyid Sabiq. Jakarta:
PUSTAKA AL-KAUTSAR. 2013
Bassam,
Abdullah Ali. Fikih Hadits Bukhari-Muslim. Jakarta: UMMUL QURA. 2013
Darusmanwiati,
Aep Saepulloh. Serial Fiqh Munakahat.pdf. www.indonesianschool.org
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis cet.5. Jakarta : AMZAH. 2011
[1] http://contentrumahislam.blogspot.com/2013/05/shahih-sunan-abu-daud-kitab-nikah-16.html (diakses, 25 Februari 2014 06:56)
[3] Aep Saepulloh Darusmanwiati, Serial
Fiqh Munakahat.pdf, hal. 7, www.indonesianschool.org
[4] Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan
Fikih Sunnah Sayyyid Sabiq, ( Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR 2013) hal. 418
[5] Abdullah Ali Bassam, Fikih Hadits
Bukhari-Muslim, (Jakarta: UMMUL QURA 2013) hal. 894-895
[6] Darusmanwiati, Op. Cit., hal. 8
[7] Al Faifi, Op. Cit., hal. 418
[8] http://almanhaj.or.id/content/3562/slash/0/pernikahan-yang-diharamkan-nikah-syigar-nikah-tahlil-nikah-dalam-masa-iddah/ (diakses, 14 Februari 2014 06:30)
0 komentar:
Posting Komentar