Hari sudah semakin sore, tapi aku tidak bisa
melihat momen syahdu terbenamnya dedek mentari. Sepetinya dia terlalu
besar untuk sebutan itu. Bagaimana kalau kakak mentari? Yah, bagaimanapun, aku
menyukainya ketika dia mulai menampakkan dirinya maupun saat ia tenggelam di ufuk timur.
Aku iseng mencuci beberapa pasang pakaian. Aku
berharap bisa menyelesaikannya dengan cepat, tapi ternyata waktu terus berlalu
tanpa ampun, dan akhirnya aku telat. Telat mengaji rutinan di hari Senin
bakda maghrib.
Riri membuka pintu kamarku, “Ra, mau ngaji
enggak?”
Entah mengapa rasanya senang, “Ih, pas banget
deh. Emang dasar bestie keterlambatan. Emang boleh kita sekompak ini?”
Riri mengangguk sambil tersenyum. Dia seperti
matahari yang memberikan sinar kehangatan pada setiap momen., “Helleee. Udah buruan.”
Gadis Blora itu mencangking kitabnya, “Aku tunggu di depan gerbang, ya.”
Sesampainya di depan rumah kiai, kami
menunduk-nunduk dan jalan mengendap-endap lewat samping mobil kiai. Syukurlah,
masih ada ruang untuk kami lewat dan masuk ke dalam, biasanya ramai.
Setelah
mengaji di kediaman kiai, aku dan Riri duduk bersama di angkringan pinggir
jalan, masih dalam suasana khidmat setelah menyimak pelajaran tentang penyucian
diri. Kami memesan beberapa jajanan favorit untuk merayakan kebersamaan
dan nikmat yang telah diberikan Allah.
Sambil
mencicipi aci tusuk, aku berkata, “Tau gak, Ri? Aku selalu merasa begitu
tenang setelah mengaji. Rasanya hatiku jadi lebih lapang dan penuh dengan
kebaikan.”
Riri tersenyum simpul, “Iya, betul banget, Ra. Mengaji itu seperti membersihkan
hati dan pikiran kita dari kekhilafan-kekhilafan kecil yang pernah diperbuat. Sungguh nikmat yang tidak
bisa diukur dengan apapun.”
Sambil
menikmati sate mie, aku menambahkan, “Kita harus bersyukur atas kesempatan ini,
Riri. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk belajar agama secara langsung
dari seorang kiai.”
Riri
mengangguk setuju, “Bener banget, Ra. Kita harus selalu bersyukur atas nikmat
yang Allah berikan. Baik itu kesempatan belajar agama, keberadaan sahabat
seperti kita, atau pun jajanan enak seperti yang kita nikmati sekarang.”
Kami
melanjutkan makan dengan penuh rasa syukur dalam hati, menikmati kebersamaan
dan nikmat yang telah diberikan Allah. Setelah selesai makan, kami berjalan
pulang sambil bercerita dan tertawa bersama, merasa penuh berkat atas setiap
momen yang telah kami jalani bersama.
0 komentar:
Posting Komentar