Nabi Musa as. sadar bahwa dia
telah melakukan dua kali kesalahan, tetapi tekadnya yang kuat untuk meraih
makrifat mendorongnya bermohon agar diberi kesempatan terakhir.[1]
Namun, pada perjalanan ketiga, Nabi Muas as. tidak sengaja secara tegas
bertanya, tetapi memberi saran. Kendati demikian, karena dalam saran tersebut
terdapat semacam unsur pertanyaan apakah diterima atau tidak, ini pun telah
dinilai sebagai pelanggaran oleh hamba Allah itu.[2]
Sayyidina Umar bin Khattab
pernah bertutur:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا
“Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”
Sayyidina Umar menganggap
bahwa evaluasi diri lebih dini akan menguntungkan kita pada kehidupan kelak, karena
dengan mengevaluasi diri sendiri, manusia akan mengenali
kekurangan-kekurangannya yang diharapkan dapat diperbaiki sesegera mungkin.
Kondisi ini akan meminimalkan kesalahan sehinga tanggung jawab dalam kehidupan
di akhirat nanti menjadi sangat ringan.[3]
Dalam hadits Rasulullah
bersabda:
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ
نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ
هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Dari Syadad bin Aus ra., dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt.'” (HR Tirmidzi. Ia berkata, “Ini hadits hasan”).
Refleksi Nabi Musa terhadap apa
yang sudah terjadi pada peristiwa-peristiwa yang dilaluinya bersama Nabi Khidir
ini dapat menghadirkan kembali pengalamannya, mengelola emosi dan perasaannya,
serta melakukan evaluasi terhadap pengalamannya. Dengan demikian, Nabi Musa mendapatkan
suatu insight, menyadari kekeliruannya dan akan memperbaikinya di masa yang
akan datang.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), Cet ke-4, Vol: 7, h. 351.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h.
352.
[3] Alif Budi
Luhur, “Muhasabah, Jalan Perbaikan Diri,” http://www.nu.or.id/post/read/74281/muhasabah-jalan-perbaikan-diri
(diakses pada 22 April 2019)
[4] M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari
Surah-Surah Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h.
317.
0 komentar:
Posting Komentar