Katanya, kalau dia menggenggam tangannya, menatapnya dengan penuh kasih dan tanggung jawab, pasti akan menyenangkan.
Genggaman, tatapan itu, akan menjadi yang pertama dan selamanya.
Genggaman, tatapan itu, akan menjadi yang pertama dan selamanya.
Mendengar yang lain berbincang mesra, rasanya ingin sekali. Ah, belum saatnya menikmati hidangan seperti itu. Bagaimana kalau hanya mencicipi sedikit, saja? Tidak, terima kasih. Ia berbisik, "Belum saatnya. Menyenangkan sepertinya, tapi sejujurnya cukup menakutkan."
Mengapa menakutkan? Mungkin... sudahlah.
Mengapa menakutkan? Mungkin... sudahlah.
Sepertinya menyenagkan, berjalan-jalan menikmati langit jingga seraya mendengar kicauan gerombolan burung yang terbang menyambut hadirnya rembulan. Menyatu dengan semilir sore, menyatu bersamanya.
Memandang hamparan hijau padi yang mulai menguning. Lalu diperdengarkan sepenggal kisah tentangnya di masa lalu. Semuanya sudah cukup. Bagaimana kalau menikmati deburan ombak bersama camar yang tak lelah-lelahnya mengitari langit di sana? Harum aroma Marmara menembus hidung, merayap, masuk ke pintu hati. Menebarkan ketenangan, menyegarkan jiwa yang telah lama gersang. Siraman yang menyejukkan. Begitu indah. Betapa bahagianya. Istimewa. Istimewa bersamanya. Ya, bersamanya yang penuh berkah.
0 komentar:
Posting Komentar