Bismillahirrahmaanirrahiim
Mentari menebarkan hawa panasnya yang terik di tengah kota, menyengat siapa saja yang beraktivitas di luar ruangan. Namun bagi Pak Harun, seorang ojek online berusia 52 tahun, hal itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Sejak muda ia terbiasa bekerja di bawah terik matahari sebagai seorang tukang becak, tukang gorengan, ojek pangkalan, dan beberapa profesi lainnya.
Di usia senjanya, nasib memaksanya untuk tetap bekerja keras mencari nafkah. Apakah ia bisa memilih untuk tidak menjadi seperti sekarang? Entahlah, Pak Harun sudah berupaya sekuat tenaga, tetapi itu lah takdir yang harus ia jalani dan syukuri.
Perkembangan zaman yang kian pesat membuatnya harus beralih profesi menjadi ojek online agar tetap bisa menghidupi keluarganya.
Siang itu, sambil menunggu orderan di sebuah warung kopi, Pak Harun berbincang dengan Pak Salman, rekan sejawatnya yang juga berprofesi sebagai ojek online. Keduanya sudah saling kenal sejak muda, dulu sama-sama berprofesi sebagai tukang becak.
“Zaman dulu mah enak, Man. Kita cuma teriak-teriak nyari penumpang aja.” Pak Harun menyeruput kopinya, “sekarang kudu bela-belain lihat hape, kalau telat dikit bisa keburu disambar orang lain, penumpangnya.”
Pak Salman mengangguk, “iya, ya, Run. Gak pusing mikirin aplikasi kayak begini. Sekarang kalau gak ikut perkembangan zaman, bisa ketinggalan.”
Keduanya lalu terdiam sejenak, merenungi bagaimana perubahan zaman yang begitu cepat. Di usia senja, mereka harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tetap dapat bertahan hidup.
“Yang penting kita masih bisa cari rezeki, Man. Meski cara dan alatnya beda, yang penting niat kita ikhlas berusaha,” ujar Pak Harun.
Pak Salman mengangguk setuju. Keduanya pun melanjutkan mengobrol ringan, sesekali tertawa mengenang masa muda mereka. Meski zaman terus berubah, semangat dan ikatan persahabatan mereka takkan pernah lapuk dimakan waktu.
Setelah beberapa saat, obrolan mereka mulai merambah ke nostalgia lucu masa lalu, ketika mereka masih berprofesi sebagai tukang becak.
“Ingat nggak Man, waktu kita masih narik becak, terus kejar-kejaran sama polisi? tanya Pak Harun sambil tertawa kecil.
Pak Salman terbahak-bahak bukan main, “ingat banget lah, Run. Waktu itu sampai kita sembunyi segala, di gang sempit. Takutnya bukan main, euy,” bapak dengan tiga orang anak itu membenarkan posisi kaca matanya, “tapi sekarang mah, yang dikhawatirkan kalau sampai ketinggalan orderan!”
Pak Harun mengangguk, “iya Man. Zamannya sudah berubah, tantangannya ya, tambah-tambah. Tapi yang penting kita masih bisa ketawa, ya?”
“Ya, setidaknya kita masih bisa menyambung hidup,” pria itu tiba-tiba teringat almarhumah istrinya, “anak-anak muda sekarang mungkin nggak tahu rasa susah seperti kita dulu, tapi kesulitan mereka ya, ada di bentuk yang berbeda.”
Seiring obrolan mereka yang mengalir, suasana kedai kopi itu mulai ramai dengan kedatangan ojek online lain yang juga menunggu orderan.
Angin semilir bertiup menyejukkan jiwa-jiwa yang terpanggang oleh panasnya realita. Di tengah kota yang penuh sesak dan sibuk itu masih ada tempat sederhana yang nyaman untuk dikunjungi. Sekilas, tempat itu terlihat seperti kafe bergaya vintage yang mahal, tapi owner kedai kopi itu adalah teman seangkatan Pak Harun dan Pak Salman. Dengan hati yang baik, ia tidak mematok harga mahal untuk menu yang tersedia di tempat usahanya tersebut.
Sahabat senja itu menikmati momen yang ada dengan penuh syukur, membiarkan pikiran mereka menganang masa-masa lampau.
Angin kembali berembus lembut, membawa serta suara-suara kota yang seakan menjadi latar bagi kilasan memori itu. Pak Salman tersenyum sendiri, mengenang seluruh perjuangan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan akan menjadi seseru itu.
Beberapa saat kemudian, Pak Salman merasakan ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari aplikasi ojek online menunjukkan bahwa ada orderan yang masuk. Senyumnya kian mengembang.
“Dapat orderan ke mana, Man?” tanya Pak Harun.
“Deket. Ke sekolahan SD.”
“Eh, ada yang dapat penumpang, nih,” ujar Pak Deden, sang pemilik kedai.
Pak Salman segera meraih helemnya dan bangkit dari tempat duduk, “alhamdulillah, ada orderan. Rezeki nggak boleh ditolak, kan?”
Pak Deden tersenyum, “iya, Man. Semoga lancar, ya.”
Pak Salman pun berpamitan dan melangkah menuju motornya. Seperti biasa, ia merapikan helm, dan memastikan semuanya siap sebelum memulai perjalanan.
Pak Deden pun duduk di bangku menemani Pak Harun berbincang ringan sembari menunggu giliran rezekinya tiba.
“Har, bagaimana keluarga di rumah, sehat?” tanya Pak Deden sambil menyeruput kopi.
“Alhamdulillah sehat, Den.” Pak Harun menyunggingkan senyum tipis di wajahnya.
“Alhamdulillah. Keluarga memang jadi semangat kita untuk terus berjuang, ya.”
“Iya. Walaupun pusing dan capek sama orderan yang kadang sepi, tapi ya, demi keluarga mah, harus diperjuangkan,” tambah Pak Harun sambil mengaduk kopinya.
Semilir angin kembali berembus sepoi-sepoi. Suasana di kedai kopi itu terasa nyaman, dengan obrolan ringan dan gelak tawa yang sesekali menghangatkan suasana.
“Aku jadi ingat pas kita masih muda dulu, Har. Ingat nggak, kita sering ke sini pas masih cuma warung kecil di pinggir jalan?” tanya Pak Deden mengenang masa lalu.
“Pak Harun tertawa, “jelas inget, lah. Nongkrong sampai malam, ngobrol macam-macam. Siapa sangka, sekarang kita masih bisa kumpul di tempat yang sama, ya, meskipun sudah banyak yang berubah, Den.”
Pak Deden tersenyum, “benar, Har. Meskipun dunia telah banyak yang berubah, semoga saja persahabatan kita tetap sama.”
“Amin. Semoga kita selalu diberi kesehatan dan rezeki yang cukup, ya. Toh, yang penting kan, kita tetap bersyukur dan saling mendukung.”
♣♣♣
Di tempat lain, Pak Salman sedang menikmati perjalanannya mengantar seorang anak SD yang tadi dipesankan ojek oleh orang tuanya melalui aplikasi ojek online.
Suara mesin motor, kebisingan kota, dan bunyi klakson yang terdengar di sana-sini seakan menjadi irama yang mengiringi setiap langkah perjuangannya.
Di tengah perjalanan, pikiran Pak Salman melayang, mengingat keluarganya. Cucu-cucu yang sedang lucu-lucunya, kedua anaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama dengannya di satu rumah sederhana, semuanya adalah karunia yang tak terkira. Setiap tetes keringat yang jatuh‒meskipun tidak se-ngoyo dulu‒adalah bentuk cinta untuk mereka.
“Aminah, meskipun kau telah tiada, tapi aku dan anak-anakmu di sini tetap berjuang untuk melanjutkan kehidupan kami. Kami selalu mengirimkan doa-doa kami untukmu, Aminah,” batin Pak Salman, mengenang istri tercintanya.
Di tengah kesibukan Pak Salman, kenangan tentang Aminah selalu hadir, memberikan semangat dan kekuatan. Perjalanan hari itu terasa lebih ringan. Meski orderan datang silih berganti, Pak Salman merasa ada kekuatan baru yang menyertainya. Ia menyadari bilamana setiap perjalanan, setiap tarikan gas kendaraan bermotor tuanya, serta setiap langkah yang diambil adalah bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna.
Menjelang senja, ketika kubah langit berubah warna mejadi jingga kemerahan, Pak Salman kembali ke warung kopi tempat biasa ia menghabiskan waktu senggangnya. Di sana ia bertemu lagi dengan Pak Deden dan rekan-rekan lainnya. Kebetulan Pak Harun tidak ada di sana karena masih ada orderan.
“Bagaimana Man, hari ini lancar?” tanya Pak Deden sambil menikmati pisang goreng yang hangat.
“Alhamdulillah, lancar, Den. Walaupun capek, tapi hati ini senang rasanya. Setiap hari adalah berkah.”
Di bawah langit sandikala yang indah, mereka menemukan ketenangan. Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai kebersamaan, kerja keras, serta rasa syukur akan selalu menjadi pegangan yang harus tetap dijaga dan dipegang teguh. Suara azan maghrib pun berkumandang, menandai waktu untuk berhenti sejenak dari segala aktifitas dan bersujud kepada Sang Pencipta mayapada dan seisinya.










0 komentar:
Posting Komentar