Percaya, kalau pengalaman itu adalah guru yang paling berharga? Hehe, tergantung keyakinan masing-masing sih, bagaimana seseorang bisa menyikapi, merespon, juga menilai sesuatu yang ada di hadapannya maupun yang pernah ia alami.
Ya, kepercayaan itu juga seperti debu, sebelum ia menumpuk, itu bukanlah apa-apa.
Awalnya, ketika pertama kali mondok aku diajarkan ayah untuk membuat list pengeluaran harian di buku tulis. Sederhana, cukup menuliskan tanggal, barang atau keperluan apa, dan menyantumkan harganya. Waktu itu rasanya biasa saja. Nggak kesal ataupun senang karena diminta ayah untuk membuat itu.
Aku beli lauk, gorengan, air kemasan, bahkan aku beli kertas nasi seharga Rp. 100 pun aku tuliskan. Nah, pada laporan sederhana tersebut, aku tuliskan semua sesuai pengeluaranku selama dua minggu. Aku dijenguk dua minggu sekali, sudah kesepakatan ayah denganku kala itu. Setiap aku dijenguk, selain dibawakan jajan dari rumah dan keperluan sehari-hari seperti sabun dan lainnya, aku juga menyerahkan laporan pengeluaran.
Ayah membaca dengan detail apa yang aku tuliskan, beliau tidak komentar, “kok jajannya banyak banget, ya,” atau “dikit ya, pengeluarannya.” Ayah tersenyum dan memintaku meneruskan kegiatan itu. Oke deh, aku mah, siap.
Setiap kali dijenguk, ayah selalu menanyakan kabar dan jika ada yang perlu diutarakan, ceritakan saja, nanti ayah coba bantu berikan pencerahan atau motivasi, tentunya menyesuaikan dengan kondisiku saat itu.
Pernah, ketika ke pondok, ayah melihatku dalam keadaan lemas, dan mungkin nampak agak pucat. Ayah bertanya perihal kondisiku, lalu aku jawab jika aku sedang mencoba melakukan ibadah puasa sunnah Senin-Kamis, karena sebentar lagi akan ada ijazah puasa tersebut dan kami wajib puasa selama setahun.
Dengan lembut dan gayanya yang santai, ayah bilang kalau aku tidak kuat puasa ya tidak apa-apa, masih ada ibadah lainnya yang bisa dilakukan seperti berzikir. Kata ayah, jangan sampai yang sunnah itu mengalahkan yang wajib.
“Nggak apa-apa kok, Yah. Rasanya lemes, tapi Anis masih bisa ikutin kegiatan yang ada,” kataku kemudian aku menyunggingkan sebuah senyuman yang, aduh bibirku yang kering agak pecah-pecah itu….
“Tuh kan, bibirnya aja retak gitu,” balas ayahku tanpa dosa. Astagfirullah auto ngakak dalam hati, deh.
Kemudian, aku memberikan laporan keuanganku. Ayah melihatnya sebentar lalu memintaku membandingkan pengeluaranku dari minggu yang satu dengan minggu lainnya.
“Pengeluarannya nggak beda jauh, Yah,” aku mengerjap.
“Berarti pengeluarannya stabil. Nanti ada kalanya kalau lagi banyak kebutuhan, Anis bisa ngabisin lebih dari pengeluaran yang biasanya. Begitu pula sebaliknya.”
Aku diam sejenak, berpikir. Ih, ayahku sedang mengajarkan manajemen keuangan ya, tapi pakai metode santai mode on. Jadi nggak kerasa lagi diajarin, kan. Waah, keren juga.
Kebetulan banget, di sekolah aku juga sudah belajar Tikom (Teknologi Informasi dan Komunikasi) bab Excel. Hehe, isinya rumus-rumus, ya. Emang boleh jadi sengitung itu. Ihhieww, ayah gak tahu kalau ujian semesteran kemarin aku juara pertama seangkatan, di mata pelajaran itu doang tapi.
Jadi bernostalgia. Setelah nilai ujian keluar, datanya ditempel di depan kantor SMP. Tidak dituliskan nama peserta ujian, hanya menyantumkan nomor peserta UAS, deretan jawaban dan peringkat. Waktu itu aku iseng, siapa tuh yang dapat peringkat satu di mata pelajaran Tikom, eh, itu nomor ujianku. Alhamdulillah aku senang tapi posisinya aku masih mematung. Diam sambil mikir, kalau diingat-ingat, soal ujiannya juga sama persisis kayak soal latihan di buku paket. Untung sudah aku isi semua latihannya. Ustaz Java, memang boleh aku seberuntung ini? Hmm, but at all, terima kasih banyak ya Allah. Terima kasih Ustaz Java, yang sudah mengajarkanku ilmu dan memberikan soal yang sama persis dengan latihan di buku.
•°••°•
Sesuatu yang tidak masuk akal terkadang bisa saja terjadi. Aku sudah menerima kiriman uang dari ayahku untuk kebutuhanku selama dua bulan kedepan, tapi di sisi lain, tanpa sengaja aku mematahkan gagang kacamata temanku.
Aku nggak tahu, padahal cuma pegang gagangnya, mau coba pakai, eh, malah patah, aku pegang gagang yang satunya lagi, patah lagi. Aku bengong. Beneran cuma pegang doang, tapi dia patah begitu saja. Pelan kok, aku pegangnya.
Karena masih jam istirahat, jadi aku langsung meminta maaf ke temanku dan lari ke luar pondok untuk pergi ke optik terdekat. Sebenarnya tindakanku itu termasuk kabur, karena keluar pondok tanpa izin. Ya sudahlah, maafkan aku yang melanggar, habisnya kepepet. Aslinya temanku biasa saja, tapi perasaanku yang tidak biasa, bawaannya kalau aku merusak barang milik seseorang meskipun itu tanpa sengaja, maunya langsung diperbaiki atau diganti saat itu juga.
Angin pegunungan berembus dengan sejuknya, setidaknya memberikan sedikit kenyamanan meskipun aku sedang galau. Duduk di samping jendela kelas memang favorit banget, deh.
“Yah, anak Ayah sudah sekolah di Aliyah, tapi rasanya masih pengin curhat aja. Aku nggak sengaja matahin gagang kacamata Dina, uang kiriman Ayah tinggal setengah, deh.” Aku berbisik seolah sedang berbicara dengan angin yang lewat.
Semenjak melanjutkan sekolah ke daerah pegunungan di Jawa Tengah, aku jadi tidak bisa dijenguk seperti ketika aku mondok waktu SMP dulu.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Matahari semakin tinggi, tapi aku masih terpaku di tepi jendela kelas, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dina tadi sudah bilang kalau dia nggak apa-apa, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Perasaan itu nggak kunjung hilang meskipun aku sudah berusaha memperbaiki kacamata Dina di optik.
“Aku nggak marah kok, Nis,” ucapnya dengan senyuman yang menenangkan.
Tapi tetap, pikiranku nggak bisa berhenti memikirkan bagaimana aku akan bertahan dengan uang yang tinggal setengah. Aku harus pintar-pintar mengatur pengeluaran sekarang. Di dalam hati, aku tahu ayah pasti akan memintaku untuk belajar dari kejadian ini.
Setiap kali aku mengingat pesan-pesan ayah, ada rasa hangat yang mengalir di dalam dada. Bukan hanya tentang uang, tapi tentang bagaimana menghadapi setiap masalah dengan tenang dan bijaksana. Terkadang, tanpa disadari, ayahku sudah mengajarkanku banyak hal. Seperti saat aku mulai terbiasa membuat laporan keuangan. Awalnya, terasa biasa saja, tapi perlahan aku mulai paham, ini bukan sekadar mencatat angka. Ayah sedang mengajarkanku disiplin, kesabaran, dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang nggak langsung terlihat, tapi terpatri dalam setiap tindakan kecil.
Dan kini, duduk di bangku Aliyah dengan pemandangan pegunungan yang indah, aku menyadari bahwa semua pelajaran itu datang dari pengalaman. Pengalaman yang mungkin dulu aku anggap sepele, ternyata adalah pelajaran penting.
Aku tersenyum kecil, di balik semua kekhawatiranku, ada keyakinan bahwa aku akan selalu bisa melewati segala tantangan. Karena, seperti kata ayah, “pengeluaran stabil itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana Anis menghadapinya dengan hati yang tenang.”
Angin pegunungan terus berembus, seolah membawa pesan dari kejauhan. Mungkin ayah benar, pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Dan hari ini, aku kembali belajar.
•°••°•
0 komentar:
Posting Komentar