Day after day
Time pass away
And I just can't ...
Hop. Wong nggak mau ngelanjutin lagunya, kok.
Well, aku mau cerita tentang tahun ini yang begitu spesial. Spesial berkat kehadiran Dek Covid Nineteen, yang menjadikan manusia di bumi ini dapat belajar agar menjadi pribadi yang lebih sabar, tawakal, ikhlas, menghargai, sadar akan lingkungan dan pelajaran baik lainnya. Aku lho ya, jadi banyak belajar plus ikut-ikutan tren WFH (Work From Home). Sebetulnya aku ya bukan kerja, tapi ngabdi di pesantren. Sampeyan paham ngabdhi po ra, ee? Ya begitulah, mirip kayak kerja, tapi lebih mengarah ke 'membantu untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan, mengabdikan diri kepada pengasuh dan pesantren'. Yo, ceritane meluan WFH, to.
You know what? Pondok pesantrenku ada di tengah kota, tengah banget. Di depannya pas, ada halte Tranjayaraya (halte bus yang memiliki jalur khusus), super market Indo Giant dan perumahan Taman Raja, sampingnya ada apartemen Airlangga Residence, belakangnya perumahan elit Sunset Garden. Apa nggak jadi pusat perhatian? Kalau abai dan cari gara-gara sedikit saja, apa iya nggak viral nantinya?
Harus menghormati dan menjalankan peraturan pemerintah, dong. Waktunya PSBB ya nurut, KBMJJ (Kegiatan Belajar Mengajar Jarak Jauh) ya ikut. Santri, guru dan karyawan dipulangkan, kalau nggak bisa pulang ke rumah masing-masing, berada di pesantren dengan catatan, tetap memperhatikan protokol kesehatan, sering-sering cuci tangan pakai sabun, pakai masker, physical distancing (mumpung banyak yang pada pulang, jaga jarak yo aman, kondisi pondoknya juga sepi, kok). Sami'na wa atha'na, patuh dengan keputusan pemerintah. Lha wong itu demi kemaslahatan.
Aku juga pulang. Karena peraturan dari pesantren harus dijemput atau tidak boleh menggunakan transportasi publik, ya manut. Kebetulan pamanku tinggal di perumahan Taman Raja, aku pulang ke rumahku naik mobil paman dan tetap jaga jarak, pakai masker. Memang rumahku cuma di kota sebelah, kota Meikirta, tapi tetap memperhatikan protokol kesehatan lah, pokoknya.
Pengasuh dan pimpinan-pimpinan pesantren terus mengadakan rapat berkala dengan telekonferensi, memantau kondisi santri, guru dan karyawan yang sudah pulang maupun yang tetap ada di pesantren, bagaimana KBM dan ngaji diusahakan berjalan, agar tidak dzalim ke anak-anak tapi tetap mempertimbangkan kondisi dan lain sebagainya. Di sini tidak ada keputusan yang sifatnya tetap, tetapi sementara, terus berubah mengikuti situasi, kondisi dan kebijakan pemerintah.
Awalnya ngaji via streaming Instadam, Fastbook dan video di Metube saja, tapi ada keputusan terbaru untuk mengadakan KBMJJ. Rasanya aneh, KBM kok JJ, tapi ya dijalankan. KBMJJ dilakukan menggunakan aplikasi teleconference, Goom, tapi boros kuota, sinyalnya harus kenceng. Masih mending boros kuota, tandanya bisa internetan, KBM tetap ada. Lah, yang rumahnya di pelosok, jangankan nyalain kuota, beli pulsa saja sulit. Duh, siapa yang jual pulsa ini, di mana ya? Ya, kan? Pesantrennya memang di tengah kota, di ibukota Jayaraya, tapi kan penduduknya berasal dari berbagai wilayah nusantara. Lalu ada usulan belajar dalam sebuah grup sesuai dengan kelasnya masing-masing menggunakan aplikasi Talktalk yang dinilai lebih ramah kuota dan sinyal, ya sudah kali ini dicoba dulu.
Wetz, ternyata memang ramah dan mudah. Para guru pun jadi lebih kreatif. Ada yang materinya disampaikan melalui video Metube, Fastbook, membuat catatan di website/blog pribadi lalu para santri tinggal klik link yang dibagikan ke grup lalu dibaca, materi disampaikan via voice note, dan lain sebagainya, kalau santri masih kurang paham ya dipersilakan bertanya. Guru yang memiliki kendala sinyal di daerahnya, bisa menitipkan catatan atau tugas kepada admin grup Talktalk. Kalau santrinya yang ngalami susah sinyal, gimana? Ya sudah, semampunya saja. Dalam kondisi seperti ini pasti sudah maklum, to. Kalau ngajinya, it's definite tetap berjalan. Lebih banyak unggah video di Metube, sih. Ya, insyaallah berkah, tinggal berkunjung ke channel "Dawuh Abah Hasim" atau "Manba'ul Ulum IBS".
Saat Weekend, aku mampir Metube dan memperhatikan video tanya jawab bersama Abah Yaiku. Abah berkata, "Saya kutip dari hadis, wabah seperti ini bukan hanya terjadi di zaman kita. Sejak zaman dahulu, dunia diciptakan antara baik dan buruk, kaya dan miskin, sehat dan sakit, dan seterusnya. Dunia bukan surga, dunia hanya tempat untuk mampir, jadi jati diri dan karakteristiknya ya, seperti ini. Dulu di masa Sayyidina Umar ra. sudah ada wabah yang dikenal Thaun Amwas yang melanda negeri Syam. Dalam kitab-kitab turats diceritakan, korbannya sampai puluhan ribu. Kalau umat Islam saat itu kisaran ratusan ribu, sedangkan korbannya puluhan ribu, itu jelas memakan banyak korban. Nah, saat itu Sayyidina Umar dijadwalkan berkunjung ke Syam, tetapi di tengah jalan ada informasi bahwa di Syam ada wabah, dan itu cepat sekali menular. Sayyidina Mu'adz bin Jabbal termasuk yang wafat terserang wabah tersebut. Ketika di perjalanan, Sayyidina Umar pun bermusyawarah dengan para sahabat, untuk mencari tahu apakah nabi pernah memberi petunjuk ketika ada kejadian seperti itu. Kemudian ada yang menyampaikan, iya, nabi dulu pernah memerintahkan bila satu daerah terkena wabah, bahasa sekarangnya ya diisolasi. Penduduk dari daerah tersebut tidak boleh keluar dari daerahnya, sedangkan yang dari luar tidak boleh masuk. Setelah memastikan itu betul-betul valid dari kanjeng nabi, Sayyidina Umar memutuskan untuk pulang. Ketika beliau membatalkan kunjungan ke Syam, ada sahabat yang mengatakan, 'Anaa firru min qadharillah?' Apakah kita lari dari takdir Allah? Nah, ini jawabannya Sayyidina Umar tepat bukan main, 'Na'am, nafirru min qadharillah ila qadharillah.' Ya, Kami lari dari takdir Allah tapi menuju ke takdir yang lain. Manusia memang tidak bisa lepas dari takdir suka dan duka. Semua sudah takdir, jadi kalau dibilang kita lari dari takdir Allah, memang betul, tapi kami masuk ke takdir yang lain. Ini bukan persoalan menghindari takdir, tapi persoalan menghargai, menghormati. Ya kalau sekarang ini kita menghormati para ahli. Dalam al-Quran disebutkan: فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ fas`alū ahlaż-żikri in kuntum lā ta'lamụn, tanyalah kamu kepada ahli dzikri, dalam hal ini para ahlinya ya ahli kesehatan, bukan kita yang belajar di pesantren yang belajar agama. Kita sangat tidak tahu soal bahaya dari Covid Nineteen ini dan bagaimana perkembangan, cara penularannya dan seterusnya, lha wong kita nggak mempelajari itu. Kalau para ahli mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang membahayakan, kita pun yakin terhadap hal itu, lalu para ahli memberikan saran untuk menghindari ini adalah dengan social distancing, menghindari tempat kerumunan, jaga jarak konon minimal 1 meter. Lah, kalau sarannya seperti itu dan kita menganggap mereka orang yang kompeten dalam hal tersebut, ya kita harus hargai, dong. Kerumunan ini kan ada kerumunan duniawi dan kerumunan ibadah. Kerumunan orang beribadah ya sama saja dengan orang yang berkumpul-kumpul itu. Dari sisi fisik, sama-sama orang yang berkumpul. Lantas, apakah kalau kerumunan pasar virusnya mudah tertular, sedangkan kalau kerumunan di dalam masjid virusnya tidak menular? Ya, ndak, lah, sama saja itu namanya kerumunan, kok. Jadi kalau para ahli memberikan saran, ya karena mereka punya dasarnya. Kalau dalam bahasa agama disebut dharar, nabi mengatakan لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ laa dharara wa laa dhirara. Jadi, dharar adalah sesuatu yang membahayakan, merugikan, harus dihindari. Kita ikuti sarannya, kita terima. Qur'an sendiri mengatakan وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ wa lā tulqụ bi`aidīkum ilat-tahlukah (QS. Al-Baqarah: 195), jangan kau ceburkan dirimu ke jurang kebinasaan. Itulah agama Islam, menghargai, menghormati ilmu. Bila kita menghargai ilmu ini, kemudian kita tidak salat jamaah, ini bukanlah meninggalkan agama. Bukan, tetapi teknis pelaksanaanya itulah yang berbeda, karena berada dalam kondisi darurat, bukan dalam kondisi normal," pikiranku semakin terbuka mendengarkan penjelasan Abah.
Saking terharunya, mataku sampai berkaca-kaca, kujeda videonya untuk menyeka airmata yang berlinang lalu melanjutkannya, "Dan itu sangat disahkan oleh agama. Kita kan tahu, ketika orang salat tidak mampu berdiri, ya silakan duduk, berbaring dan seterusnya, ini sudah menjadi patokan karena melaksanakan perintah agama itu tidak menyulitkan. Maa ja'alallahu fiddini min haraj, Allah tidak menjadikan dalam pelaksanaan agama itu kesulitan apapun di luar kemampuan umat manusia. Kalau saat ini kita tetap Jumatan, jamaah dengan merapatkan saf salat, tidak memakai masker, berarti kita tidak menghargai apa yang diajarkan oleh agama. Jadi kita tengah-tengah, agama itu wasath. Ketika memohon kepada Allah, dan Allah sangat mampu melenyapkan virus ini, atau menjadikan seseorang terhindar dari virus sekalipun berinteraksi dengan sangat masif dengan para pengidap virus/pasien. Allah sangat mampu, tetapi dalam hal ini, kita hidup dalam dunia ini, sunnatullah-nya ya ketika orang lapar adalah makan, tapi Allah mampu menjadikan orang tanpa makan itu bisa kenyang. Tapi ini hukum-hukum lahir. Yang dilakukan oleh Allah swt. seperti ini ya harus kita hargai, nggak boleh kemudian kita hidup dengan sesuatu yang jauh dari hal-hal tersebut. Nabi Yunus dulu sudah memprediksi bahwa melalui mimpinya Raja, akan ada masa di mana 7 tahun mengalami paceklik, 7 tahun makmur. Maka disiapkanlah persediaan makanan, bahan makanannya tidak dihabiskan, ya untuk persediaan paceklik itu." Hmm, benar-benar weekend yang mencerahkan, setelah melewati hari-hari dengan KBMJJ.
Karena kondisi belum memungkinkan untuk beraktivitas seperti biasa, setelah melewati KMB online, UKK (Ujian Kenaikan Kelas) pun dilaksanakan secara online. Spesial untuk kelas akhir, kelas 9 dan 12, bisa dibilang mereka akan dinyatakan lulus jalur Covid/jalur Korona. Upss, jalur ini syarat dan ketentuannya juga tetap ada loh, ya.
Begitulah, sekarang semuanya sedang berusaha untuk yang terbaik. Semuanya mempersiapkan UKKJJ, untuk sekolah formal pesantren yakni Mts dan MA, ujiannya menggunakan Hoogle Form, sedangkan sekolah diniyah pesantren, manual saja, soal dikerjakan di kertas kemudian difoto, lalu dikoreksi guru-guru. Semua nilai diolah, diakumulasi, baik itu akademisnya, keaktifan pembelajaran maupun akhlak santri, lalu diadakanlah rapat kenaikan kelas. Yups, online juga pastinya, dan bisa dibilang memakan pertimbangan-pertimbangan yang cukup panjang. Kebetulan aku mendapatkan amanat menjadi salah satu pj pembagian rapor online. Wuoow, Dek Covid, berkatmu online menjadi semakin tenar dan bersinar.
Lumayan spaneng juga ya, mbagi rapor online ini. Setelah beres, wali santri kelasku sudah menerima file rapot tersebut, I want to ngasoo dulu, ah... Nengokin Metub. Bukan, aku ki nggak liat video ngaji, tapi video nyanyi. Just for a while, nggak apa lah.
"Mbak, itu ngapain kok malah nyanyi-nyanyi gitu," suara ibuku dari arah dapur, "Bukannya salawatan."
"Iya Mah, sebentar doang, abis ini Sarah salawatan kok." Weladhalah, kalau ibuku ya pastinya nyuruh anaknya salawatan, biar dapat syafaat.
Aku ya suka salawatan, salawatan ala Maher Zain, atau lagu religi Sami Yusuf, Masut Kurtis, Irfan Makki, dan lain-lain. Tapi, bukan berati nggak suka salawatan dengan nada klasik. Habis dengar lagu tadi, aku ya beneran mampir ke video Assalammu Alaikanya Maher Zain. Karena sudah Zuhur, yo after that aku salat Zuhur to.
0 komentar:
Posting Komentar