Bismillahirrahmaanirrahiim
Baru saja hendak bernapas lega, seseorang menabrakku dan langsung pergi. Ia terburu-buru. Yasudahlah.
Langkahku
berhenti tepat di hadapan seseorang yang duduk di kursi tunggu halte.
Tanpa aba-aba kumenghentakkan kaki. Suara pijakan seng yang cukup
mengagetkan. Refleks, padahal bermaksud mengucapkan kata “Permisi”.
Layaknya makhluk tak berdosa kududuk di sampingnya. Tak tahu apa
opininya tentang kehadiranku. Maaf, mulutku masih terkunci rapat.
Kalau
belum merasa nyaman terkadang berubah menjadi aku yang lain. Aku yang
seolah memprofokasi diriku memproklamirkan semboyan “Jangan main-main
denganku!” Berlebihan? Setiap yang menilai punya persepsi yang berbeda.
Kami berbincang-bincang. Sepertinya beberapa pertanyaan kujawab tidak nyambung, kepalaku agak terasa pusing.
Kurang
lebih setengah jam, belum datang juga. Berapa lama lagi mereka akan
tiba? Aku menghela nafas perlahan, diam sejenak. Mungkin macet.
“Alumni MAK ada yang di pondokmu juga kan?” tanyanya ramah.
“He-eh,” seraya mengangguk. “Ukhty Naila. Dia Waka bidang kesiswaan SMP. Tapi aku nggak tahu tahunnya siapa. Jauh di atas kita.”
“Hmm, ane juga kurang tahu.”
“Oh
iya, sebentar lagi Ukhty Naila mau nikah sama teman seangkatan
kuliahnya yang ngelanjutin di Mesir,” aku merubah posisi duduk, “Cinlok
kali pas di Ma’had Aly.” Anam tertawa mendengarnya.
Aku
mematung. Ukhty Naila dan Ustad Husni. Teringat mereka di Anyer, aku pun
ingat... Aduhh, betapa menyesalnya diriku yang tidak mengambil cukup
banyak pasir pantai kemarin. Setelah foto bersama kru madin, rombongan
bergegas menuju bus. Aku terburu-buru mengantonginya ke dalam plastik.
Semoga itu cukup untuk dibuat karya seni.
Anam
mengajakku menemui Putra di stasiun, di depan ATM. Kumengekor di
belakangnya seraya menggeret koper dan menggendong ransel.
Menelan
ludah, kumenunduk menatap jalanan. Sebentar lagi menuju anak tangga.
Koperku? Bagaimana? Aku kuat mengangkatnya, namun tidak hari ini.
Kondisiku sedikit kurang fit. Yassalam...
Sampai. Mengernyitkan kening kumenghela napas berat.
Hufhh,
Anam membawakan koper itu. Sejujurnya tak enak hati karena telah
merepotkan. Aku masih mengekor, mendekap ransel berisi notebook.
***
ATM.
Suasana Ramai. Tak ada Putra. Anam masuk ke stasiun dan aku menunggudi
luar. Tak lama kemudian ia kembali, memintaku tetap berada di sana.
Ponselku bergetar, ada pesan masuk. Hmm, rombongan Ciputat sebentar lagi tiba, ternyata mereka tidak menggunakan Transjakarta.
Akhirnya
Anam menemukannya. ATM yang dmaksud bukan yang berada di luar, tapi di
dalam stasiun. Aku lupa, padahal sekitar tiga hari lalu aku dan
temanku ke tempat ini.
Putra duduk di sampingku, “Bawa koper? Memang di rumah gak ada baju?”
“Aihh,
ada lah. Sekalian dibawa pulang aja, soalnya habis ini aku langsung ke
rumah. Dalamnya many thing important itu...” Biasanya aku hanya membawa
ransel berisi gadget.
“Iya-iya... Percaya deh...” Ia
tak berubah, sama seperti Putra yang dulu kukenal. Tapi… kalau
dilihat-lihat, tubuhnya agak bertambah besar. Atau perasaanku saja?
Entahlah.
Selang beberapa menit Rachmi, Fia dan Faiz
tiba. Kurang seorang lagi, Esya. Dia dalam perjalanan. Sebenarnya dua.
Sayangnya Ina tak akan hadir karena menemui bibinya.
Melewati tangga tadi, kali ini Putra yang membantuku. Syukurlah.
Kami
bertemu Esya di Air mancur. Berhubung hari Jum’at para lelaki mencari
masjid untuk melakukan kewajiban mingguan. Sisanya shalat dzhuhur di
mushala.
***
“Kayaknya aku beda kostum sendiri nih.”
“Iya
sih, Ra,” Esya menatapku kalem dari atas kepala hingga ujung kaki.
“Baru sadar kamu pakai celana.” Tersenyum, “Ketutupan koper sih, tapi
nggak apa-apa kok.” Dia anggun sekali.
“Bajunya panjang ini...,” Rachmi menepuk-nepuk pundakku.
“Sebenarnya aku bring this one,” kukeluarkan rok dari koper, “Tapi buat shalat. Sengaja pakai celana soalnya takut
keserimpet. Bawaanku sih, udah kayak TKW.”
Kumelirik jam tangan, pukul 12.43. “Kamu bawa mukenah?”
“Iya, aku bawa Ra.”
“Pinjam yah.” Fia mengangguk. Senyumannya cantik.
***
Tidak ada penitipan barang yang bisa ditinggal dalam waktu yang cukup lama, untuk jalan-jalan. Bagus. Jadi sekarang temanya
Travelling, dengan judul
‘Walk Around Old City with Suitcase’? Pertunjukan perdana. Selamat, selamat....
“Kalau
capek bawa kopernya bisa gantian kok, Ra...” Raut wajah yang senantiasa
memancarkan aura keceriaan, jarang kumelihatnya bersedih.
Aku mencondongkan wajah ke arahnya, “Kamu yang bawa ya Mi.” Rachmi tersenyum.
“Tenang... di sini ada cowok.” Kalau yang satu ini gaya andalannya, tetap
stay cool.
Menyebrangi
jalan raya, giliran Faiz yang membawa koperku. Semoga benda itu menebar
keberkahan bagi yang membawanya, begitu pula yang berada di
sekitarnya.Amin.
***
Mentari
masih menggantung di atas sana. Malu-malu. Ia tak begitu menampakkan
teriknya. Makan siang lesehan bersama, momen yang wajib diabadikan.
Siap?
One,two, three. Well done, good picture!
Target selanjutnya musium kramik.
“Mana talenan kamu?” Rachmi meminta Putra mengeluarkan Tabletnya, “Ayo,kita berpose lagi...”
“Sini, biar aku aja yang ambil gambarnya.”
Sudah siap bergaya Faiz malah swafoto dengan kamera depan.
Merajut
persahabatan, hanya bersua lewat dunia maya. Kurang lebih dua tahun
setengah tidak bertatap muka secara langsung. Jarang-jarang dapat
berkumpul seperti ini. Kesibukan berbeda, waktu luang yang berbeda.
Perjumpaan sederhana yang begitu membahagikan.
Langit
menangis. Rintik air matanya jatuh langsung membasahi jiwa yang kering.
Aku melangkah perlahan, merasakan indahnya perlahan, lalu masuk ke teras
bangunan klasik itu. Eksotik.
Harga tiket masuknya
cukup terjangkau. Uang kami kumpulkan jadi satu, baik hati Esya
mengantre sebentar untuk mendapatkan tiket.
Kulihat Putra bertanya pada petugas. “Maaf Pak, di sini bisa
menitipkan koper?” Tidak terlalu jauh, jadi suaranya masih terdengar.
“Iya, bisa.” Syukurlah, dapat menikmati perjalanan dengan nyaman.
Iseng
kupotret pintu masuk, gambarnya sedikit kabur. Ingin mengulangi sekali
lagi, yang lain sudah masuk ke dalam. Tak jadi, aku tertinggal. Nanti
kalau hilang bagaimana? Haha, seperti anak kecil saja.
Duduk-duduk
santai di kursi, lalu melihat-lihat sebentar sebelum naik ke lantai
dua. Biba menelepon Fia, kami ngobrol bergantian dengannya. Semoga bisa
dipertemukan dengan mereka yang berada jauh di sana lain waktu.
Lagi-lagi.
Narsis. Begitulah kebiasaan anak muda. Aku hanya mengabadikan
beberapa karya seni di musium untuk koleksi galeri blog. Foto bersama?
Bisa dikirim via media sosial.
Kami keluar dari gedung. Gerimis. Ternyata Fia dan Esya membawa payung. Sebenarnya tidak terlalu
suka menggunakannya, kelihatan seperti wanita. Loh, memang aku apa? Apa
saja yang penting berkah. Hahaii.
“Foto dulu nih,” Rachmi melirikku.
“Iya, mumpung pakai payung tuh,” separuh alisku naik.
Para
hawa berpose dengan payung. Foto bersama, berpencar, lalu gaya bebas.
Koperku pun tak kalah eksis. Anggap saja sedang jadi model di majalah.
Tunggu dulu, sepertinya cocok kalau dijadikan cover. Wahh, keren!
Ingin melanjutkan ekpedisi ke musium wayang ternyata tutup. Sudah sore rupanya.
Waktunya shalat ashar. Aku menaruh koper di tempat penitipan barang mushala tadi.
“Ra, Shara!” kumendekat ke arah Fia, “Pamit pulang duluan yah, kita shalat asharnya di rumah aja.” Mereka mau naik kereta.
“Iya,
hati-hati,” rasanya air mata sudah tak sanggup lagi kubendung. “Aku mah
bakalnya nggak keburu Fi, shalat dulu jadinya.” Aku senyum. Untung bisa
mengontrol diri. Pasang wajah tenang, meyakinkan yang melihatku tak akan
terjadi apa-apa.
“Nanti kita ketemu lagi deh, kapan-kapan insyallah.” Rachmi, aku akan merindukanmu, begitu pula dengan yang lain.
“Dah...” Faiz, Fia, Rachmi dan Putra berlalu.
Selesai
shalat kami pulang dengan Transjakarta. Aku transit di Harmoni karena akan
mengambil jurusan Pulo Gadung. Ingin rasanya melihat wajah Esya dan Anam
saat kuturun di halte dan bus itu membawa mereka pergi, tapi tak
mungkin,terlalu ramai dan aku pun harus bergegas meraih bus. Selamat
jalan. Semoga kita sampai tujuan dengan selamat.
Tak
dapat tempat duduk, terpaksa kududuk di atas koper. Merasa kurang nyaman
jadi kuberdiri saja. Sayangnya Transjakarta yang kutumpangi tidak sampai
Harapan Indah. Daripada di Pulo Gadung harus lama menunggu bus yang
sampai kesana, lebih baik aku naik angkot saja. Hari semakin sore,
cakung pasti macet.
Aku sampai saat masjid di belakang
rumahku mengumandangkan iqamah shalat maghrib. Alhamdulillah, kupikir
akan mengqadhanya karena kehabisan waktu. Hari yang melelahkan namun
akan selalu kukenang. Yah, mungkin akan kubuat tapak tilasnya dalam
sebuah cerita pendek. Cerita untuk sahabat. Kapan? Liburan singkat dua
minggu ini? Tidak. Ada pekerjaan lain yang akan kukerjakan. Mungkin
sekembalinya ke pondok. Insyallah, kalau ada waktu luang.
안니사’s
Terima kasih dah mampir ni, kunjung pula ke
Ra. Pratiwi A.' notes ^^