Di suatu malam, aku terpikirkan tentang perasaan manusia yang layaknya samudera luas dengan berbagai macam kehidupan di dalamnya. Keberagaman jenis hewan laut, kondisi lingkungannya, maupun terumbu karang, bahkan apapun itu yang belum aku ketahui di kedalaman yang paling dalam, dingin, dan gelap di bawah sana.
Makhluk lautan tak bisa memilih untuk menjadi apa karena takdirnya telah ditentukan oleh Sang Empunya Mayapada, begitu pula dengan perasaan manusia yang dititipkan dan tertiupkan ke dalam dada kita, semuanya telah digariskan oleh-Nya. Namun, semua itu bukan berarti kita tak diberikan kemampuan untuk mengendalikannya sama sekali.
Sekarang, aku akan menjadi ubur-ubur dengan bentuk seperti itu. Ya, seperti apa bentuknya? Kau pasti tahu seperti apa rupanya, meskipun tidak semuanya sama karena berbeda jenis, belum lagi kalau membicarakan tentang adakah racun di dalamnya atau tidak.
Yups, sekarang aku adalah ubur-ubur bulan, Aurelia Aurita. Nama yang cukup cantik, bukan.
Aku ubur-ubur bulan. Tetapi, apa boleh aku menginginkan untuk menyalahi takdir dan memohon agar aku dijadikan sebagai ikan hiu? Aku, menjadi ikan hiu paus yang katanya bisa tumbuh hingga sekitar 12 meter. Waw, besar sekali.
Apalah daya, sekarang aku adalah ubur-ubur bulan dengan tubuh yang transparan dan ukuran yang kecil, bahkan 50 cm pun tidak ada. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Terima saja kodratku sebagai Aurelia Aurita. Dengan begitu, aku bisa lebih menjalankan peran dengan baik. Aku berusaha hidup dengan senantiasa bersyukur atas apa yang diberikan kepadaku, dititipkan kepadaku. Meskipun terkadang, bisa saja menginginkan sesuatu yang sedang tidak ada di hadapan mata, ya wajar saja, tapi setelah itu kembali lagi ke tempatku, tersadar dari lamunan itu.
Rupanya aku berimajinasi cukup indah malam ini. Perasaan yang aku rasakan memang sudah diberikan oleh Dzat yang menciptakanku, apapun itu, aku seharusnya menerima dan menjalaninya. Jika perasaanku sedang baik, itu sebuah anugerah yang indah. Sedangkan perasaan yang menyesakkan itu, tahan saja dulu, sembari berdoa aku meminta pertolongan-Nya agar tetap terlindungi dan dapat melewati kepiluan itu dengan baik, tentunya dengan mengupayakan apa yang bisa aku lakukan.
Perasaan pun dapat terpengaruh dari kondisi sekitarannya, sebagaimana aku yang menjadi ubur-ubur ini tinggal di lautan dengan kondisi yang tidak baik, tercemar. Tentu hal tersebut menjadi salah satu faktor ketidaknyamananku, kan. Lantas, aku harus bagaimana?
Jika aku bisa pergi dari lingkungan yang seperti itu, sepertinya akan lebih baik. Syukur kalau aku menemukan tempat tinggal yang lebih layak atau bahkan jauh lebih indah dan sehat dari sebelumnya. Apakah aku hijrah dari satu lautan di bagian bumi tertentu ke bagian yang lainnya? Aku yang ubur-ubur ini hijrah? Yups, tidak masalah. Toh, demi kemaslahatan diriku. Sama saja seperti perasaan manusia yang bisa terkontaminasi oleh paparan tingkah laku maupun omongan tetangga yang tak menyehatkan jiwa maupun raga. Aku bisa memilih untuk pindah, atau menjauh dari hal seperti itu. Pilihan ada pada kita, selanjutnya bagaimana kita menyikapinya dengan bijak.
Realitanya, di mana pun kita tinggal, akan ada saja sesuatu yang membuat tidak nyaman. Kita bisa berupaya untuk menjauh, dan tetap tinggal di lingkungan seperti itu selagi masih kuat. Menetap saja, jika hal itu lah yang bisa dijangkau kelanjutannya. Jangan memaki keadaan dan kondisi yang ada apabila kita tidak merasa nyaman. Atau, kita bisa mencoba untuk berpindah ke bumi di bagian yang lain jika memungkinkan. Yah, begitulah perasaan dan berjuta dramanya.
Terkadang, aku menangis bukan berarti sedang bersedih. Mungkin, tanpa disadari air mata mengalir begitu saja membasahi pipi ini. Memang bisa seperti itu? Entahlah, aku sekadar menyelami lautan dalam dan seolah dipenuhi pertanyaan "sebenarnya aku sedang apa di sini, mengapa aku belum dapat menemukan apapun?". Kosong melompong. Wah, sepertinya aku kurang berdzikir. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.