Annisa Ratna Pratiwi
A.
Islam Rahmatan lil ‘Alamin
Pemikiran atau
konsep lahir dari konteks zamannya. Demikian pula dengan gagasan Islam
Rahmatan lil ‘Alamin ini. Secara bahasa, kata Islam berasal dari kata
salama yang berarti damai, kemanan, kenyamanan dan perlindungan.
Istilah
Islam rahmatan lil ‘alamin merupakan istilah yang bersumber dan
tercantum dalam Alquran (building in Islam), yakni dipetik dari salah
satu ayat yaitu, “Wa Maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan
tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta
alam).” Allah swt langsung yang
memberikan istilah tersebut untuk menyebut sebuah ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw.
Islam adalah
agama rahmatan lil’alamin, artinya agama Islam adalah agama terakhir
yang diturunkan Tuhan semesta alam untuk mengelola seluruh alam dunia ini
dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri
dalam Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “Seperti makna literalnya,
Islam adalah pernyataan absolut tentang perdamaian. Dan sebagai agama, Islam
adalah manifestasi damai itu sendiri. Islam mendorong manusia untuk menciptakan
hidup proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan
menahan amarah.” Dari kata salama menjadi yasaalamu, salaaman,
dan salaamatan, serta kata turunan lainnya, yang di dalam Alquran
menjelaskan bahwa setiap kata berasal, terderivasi, serta terkonjungsi dari
kata Islam, secara esensial merujuk kepada pengertian damai, keamanan, dan
kenyamanan.
B.
Konsep Dasar tentang Konflik Perdamaian pada Zaman Islam Klasik
Konsep Islam yang berlebihan oleh negara-negara Barat sebagai
ideologi yang gemar perang, dan masyarakatnya (kaum muslimin) dipandang sebagai
penjajah yang degil muncul secara luas selama periode Perang Salib, walaupun
sikap yang mewarnai pandangan ini tersebar lebih dulu dalam masyarakat Nasrani
Eropa. Mereka tidak begitu mengetahui tentang Muhammad, Alquran, hukum Islam,
cara-cara berperang, hubungan Internasional, termasuk membayar upeti, yang mana
diperlakukan dari sudut pandang sistem hukum yang memperlihatkan agama dan
pemikiran ahli-ahli hukum.
Ada beberapa konsep dan pengertian pokok yang mendasari pemikiran
Islam terhadap konflik, perbedaan, perlindungan dan perdamaian. Sumber yang
menyebutkan nama agama Islam, seperti halnya kata “muslim” yang
dinamakan salam, dalam bahasa Yahudi “shalom”, “damai, sejahtera,
sehat”. Pengucapan salam dalam Islam sebenarnya serupa dalam bahasa Yahudi: “shalom
aleichem”, semoga damai dilimpahkan atasmu. Islam ketaatan sangat
berhubungan erat dengan salam (salm, silm) yang berarti damai,
bukan semata-mata karena ada konflik, namun sungguh-sungguh karena menunjukkan
kesehatan dan kesejahteraan. Islam mengajarkan di setiap perjumpaan saling
mengucapkan salam, “assalamu’alaikum”, memberikan makna damai bagi semua
manusia. Kata salam di dalam
agama berasal dari akar kata yang sama seperti salam yang berarti damai.
Islam adalah suatu agama yang damai. Kata seperti ini lebih digunakan sebagai
suatu kata sifat dibanding suatu kata benda. Setelah Islam diadopsi sebagai
sistem kepercayaan oleh perorangan atau suatu kelompok maka Islam menjadi suatu
tindakan dan suatu gaya hidup, tunggal atau jamak, maskulin atau feminin. Salah
satu dari turunan kata benda adalah al-silm, yang berarti pada waktu
yang sama Islam dan damai. Al-salam (salam dengan artikel al)
yang berarti damai atau tentram adalah salah satu dari 99 sifat yang dimiliki
Tuhan.
C.
Sejarah Islam dalam Membangun Peradaban dan Perdamaian
Nabi Muhammad saw yang hidup dan lahir di tengah-tengah jazirah
Arab merasa sangat prihatin terhadap perilaku kaumnya. Mereka hidup terpecah
belah, egoisme, dan barbarism. Oleh karena itu, dengan semangat pembaharuan
yang beliau bawa pada masa awal penyebaran Islam, secara bertahap, beliau
bersama para pengikutnya berhasil memporak-porandakan adat jahiliah yang
menghamba pada berhala-berhala dan dewa-dewa. Sejarah juga mencatat, cahaya
Islam mampu menyadarkan manusia untuk menghilangkan strata sosial yang membawa
pada primordialisme, kolonialisme, dan perbudakan.
Dengan cara dan metode yang baik, beliau mampu membawa umatnya pada
nilai-nilai kemanusiaan yang anti kekerasan dan mencintai perdamaian. Tidak
banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan sendi-sendi ajaran
agamanya (Islam) ke seluruh dunia. Sebelum wafatnya (pada usia yang ke-63),
Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum Muslimin.
Karen Amstrong, mantan biarawati Katolik dalam bukunya A History
of God: The 4,000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, mengatakan
bahwa Muhammad adalah seorang jenius yang sangat luar biasa. Tatkala wafat pada
tahun 632 M, dia telah berhasil menyatukan hampir semua suku Arab menjadi
sebuah komunitas baru, atau ummah. Dia telah mempersembahkan kepada orang-orang
Arab sebuah spritualitas yang secara unik sesuai dengan tradisi mereka. Ia yang
membukakan kunci bagi sumber kekuatan yang besar, sehingga dalam waktu seratus
tahun mereka telah mendirikan imperium sendiri yang luas membentang dari
Himalaya hingga Pirenia, dan membangun sebuah peradaban baru yang unik dan
modern.
D.
Pentingnya Hidup Damai sebagai Masyarakat/Bangsa untuk Dunia
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan,
yakni berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan Hawa. Semua manusia sama
saja derajat kemanusiaannya, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku
lainnya. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal dan dengan demikian saling membantu satu sama lain,
bukan saling mengolok-olok dan saling memusuhi antara satu kelompok dengan
lainnya. Allah tidak menyukai orang yang memperlihatkan kesombongan dengan
keturunan, kekayaan atau kepangkatan karena sungguh yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Karena itu berusahalah
untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi orang yang mulia di sisi Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang tersembunyi,
Mahateliti sehingga tidak satu pun gerak-gerik dan perbuatan manusia
yang luput dari ilmu-Nya.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa, perbedaan merupakan fakta
hidup, baik beda bangsa, suku, ras dan budaya bukanlah bahan dan panggung untuk
melakukan pertentangan maupun perselisihan, hal ini pun belaku pada perbedaan
agama.
Lalu, apa yang Islam katakan dalam kaitannya dengan hubungan
internasional yang didasarkan pada keadilan dan sarana untuk membangun
perdamaian? Dalam Alquran, Tuhan Maha Kuasa menjelaskan bahwa sementara latar
belakang kebangsaan dan kesukaan kita bertindak sebagai sarana identitas,
mereka tidak berhak atau memvalidasi bentuk superioritas, apapun bentuknya (QS.
Al-Hujurat [49]: 14).
Hubungan antara pluralitas kehidupan keberagaman dan ajaran toleransi
dalam Islam pun harus sedapat mungkin dicermati sebagai kenyataan sosiologis,
dan tidak dipandang sebagai adanya pertemuan dalam masalah-masalah teologis. Dalam dimensi sosial,
pentingnya memelihara dan meningkatkan perdamaian bangsa dan dunia, setidaknya
berkaitan dengan 4 (empat) hal, yaitu:
1. Perkembangan dunia modern yang menunjukkan bahwa perdamaian lebih
penting dari sebelumnya. Globalisasi ekonomi dan semakin meningkatnya
mobilitas, komunikasi, integrasi dan interdependensi, perpindahan dan
persebaran penduduk, yang berubah merupakan jembatan dalam menjalin komunikasi
dan kerjasama antarsesama manusia;
2.
Toleransi diperlukan antara orang-seseorang, keluarga dan
panguyuban. Promosi toleransi dan pembentukan sikap keterbukaan, saling
mendengar dan solidaritas;
3.
Persamaan hak hidup dan Ras, untuk menjamin persamaan harkat dan
hak-hak seseorang dan kelompok, terutama berkaitan dengan perlindungan hukum
dan sosial baik mengenai perumahan, pekerjaan, kesehatan, menghormati keaslian
kebudayaan, memberi kemudahan pada kemajuan dan integrasi sosial, terutama
melalui pendidikan; dan
4. Studi-studi dan jaringan kerja ilmiah dilaksanakan untuk
mengkoordinasi panguyuban internasional pada tantangan global sekarang ini,
termasuk analisis oleh sains sosial mengenai akar permasalahan yang tejadi,
oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dapat mendukung tindakan pengambilan
kebijakan dan penetapan standar oleh negara-negara terkait.
Dari tulisan saya di atas, kita bisa menarik
benang merah bahwa nilai-nilai
perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam Alquran dan juga secara jelas
diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam Alquran,
dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan,
pertentangan, atau segala bentuk perilaku negatif dan represif yang mengancam
stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Alquran menegaskan bahwa Rasulullah saw
diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang: “Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya
[21]: 10). Zuhairi Misrawi menyatakan bahwa ada dua hal utama yang perlu
diketahui dari ayat tersebut. Pertama, makna rahmatan; secara
linguistik, rahmatun berarti kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa
al-ta’aththuf). Kedua, makna lil’alamin; para ulama berbeda pendapat
dalam memahami ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw
hanya untuk orang muslim saja. Tapi ulama lain berpendapat bahwa cinta kasih
Rasulullah saw untuk semua umat manusia. Hal ini mengacu pada ayat terdahulu
yang menyatakan bahwa Rasulullah saw diutus untuk seluruh umat manusia (kaffatan
li an-nas). Sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula
bahwa “Sesungguhnya saya tidak diutus sebagai pemberi laknat, tapi saya
diutus untuk memberi rahmat.”
Islam yang rahmatan lil’alamin merupakan perwujudan
dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam pokok ajaran Islam, yakni Alquran
maupun Sunnah Nabi Muhammad. Nilai yang mengedepankan keharmonisan, kedamaian,
dan kemaslahatan bagi semua. Sehingga nilai-nilai itulah yang seharusnya
diambil, dipahami, dan kemudian berusaha dipraktekkan oleh umat manusia pada
umumnya, dan umat Islam pada khususnya.
Perdamaian harus menjadi kekuatan penuh untuk membangun peradaban
manusia, terutama di era globalisasi ini. Perdamaian merupakan warisan tradisi
yang sangat penting, menarik, dan patut dicontoh daripada warisan perang. Sebab
dalam tradisi perdamaian yang ada adalah kebahagiaan, keharmonisan, serta
kenangan yang manis dan indah antara pelbagai masyarakat dan agama-agama. Budaya yang damai, agama
yang damai, pasti akan menciptakan bangsa dan negara yang damai. Jika
Negara-negara di dunia damai, maka terciptalah kedamaian dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Agama RI, Departemen. 2009. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Vol: 9.
Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an dan Departemen Agama.
Ahmad, Mirza Masroor. 2013. Krisis Dunia dan Jalan Menuju
Perdamaian. Terjemahan Ekky Q. Sabandi. Yogyakarta: Neratja Press.
Ghazali, Adeng Muchtar. 2016. “Toleransi Beragama dan Kerukunan
dalam Perspektif Islam” Religious.
Irawan, Deni. 2014. “Islam dan Peace Building”. Religi. Vol.
X No. 2.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir
Tematik Islam Rahmatan lil ‘Alamin Jakarta:
Pustaka Oasis.
Mubarak, Zakky. “Sejarah Nabi Muhammad (5): Membangun Peradaban
Kemanusiaan”,
https://islam.nu.or.id/post/read/85434/sejarah-nabi-muhammad-5-membangun-peradaban-kemanusiaan
Ramli, Muhammad Idrus. 2011. “Rahmatan Lil-Alamin dan Toleransi”,
Islamia: Jurnal Pemikiran Islam Republika.
Rasyid, Muhammad Makmun. 2016. “Islam Rahmatan Lil Alamin
Perspektif KH. Hasyim Muzadi”. Episteme. Vol. 11. No. 1.
Rohimat, Asep Maulana. 2018. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:
Gerbang Media.
Yahya, Ismail “Islam Rahmatan Lil’alamin”,
http://www,iain-surakarta.ac.id/?p=12750