Ilmu yang letaknya dalam hati, mewariskan tawadu' wara'.
Dengan ketawadukan, sesorang tidak akan mudah terprovokasi, hatinya tenang, pikirannya matang.
Bahasa sikap, lebih fasih, lebih nyaring, daripada sekadar ucapan.
Bahasa kasih sayang, bahasa kesantunan, ialah bahasa yang dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.
Sesorang yang melazimkan ilmu, selalu mengistimewakan adab. Ilmu yang dimiliki itu bagaikan garam (sedikit, sebagai penyedap) sedangkan adab adalah tepungnya. Tepung memiliki takaran lebih banyak daripada garam dalam sebuah adonan kue, yakni adonan untuk membentuk pribadi (yang baik).
Ilmu adalah rasa takut kepada Allah swt. Ilmu itu dengan pengamalan, praktik, sikap, bukan dengan orasi, teori, kepiawaian dalam berjidal (berdebat).
Kebanggaan adalah mereka yang memiliki ilmu, mereka yang membawa kasih sayang, membawa kedamaian, rahmat, bukan kebencian dan kerusuhan.
Sebagai santri, kita itu sebagai penyambung lidahnya Rasulullah, bukan penyambung lidahnya syetan. Kalau gemar memprovokasi, berarti penyambung lidahnya syetan.
Ciri iman yang baru di mulut, belum masuk ke hati yakni, mencari-cari kesalahan orang lain, sibuk dengan kekurangan orang lain.
Mengetahui kekurangan dan kesalahan orang lain itu bukan ilmu, tapi haram.
Ilmu didapat bukan dari prasangka, tapi dari ulama yang bersumber dari rasul (wallahu'alam).
Source:
Tausiah Habib Jindan (Malam Puncak SantriVersary @LapanganBantengJKT)
Tausiah Habib Jindan (Malam Puncak SantriVersary @LapanganBantengJKT)