Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Mengukir Sabar pada Pohon Kehidupan

Bismillahirrahmaanirrahiim..

            “Baiklah akhwat, untuk pemilihan panitia Class Meeting tahun ini, akan kita lakukan voting. Sedangkan untuk SC perlombaan, kita pilih orang yang cocok bertanggung jawab terhadap perlombaan tersebut,” Reza memulai rapat dengan gaya khasnya yang anggun.
            “Maaf Za, nanti kalau udah kepilih bisa di-nego gak?” Tanyaku seraya memukul-mukul ujung pensil ke dagu.
            “Ya, pastinya kita akan menanyakan kesiapan teman kita juga …”
Acara Class Meeting atau bisa kita singkat dengan CM ini memang biasa diadakan oleh Program Keagamaan MA El Barakah Bekasi pada liburan semester ganjil. Katanya sih, biar gak jadi pengangguran. Yayasan ini mewajibkan peserta didiknya menetap di asrama, karena liburan semester ganjil tidak diperbolehkan pulang, jadi Kepela Sekolah memeritahkan OSIS untuk mengadakan dan membentuk kepanitiaan baru untuk acara tersebut. Sudah tradisi tahunan, tugas kita hanya melestarikannya saja. Baiklah, kita saksikan kelanjutan sidang penetapan panitia CM 2011.
Setelah suara terkumpul, Aniisa-lah yang terpilih menjadi ketua CM putri, Lala sebagai bendahara, dan sekertarisnya …
What? Akhwat, yang bener aja, ah! Kalian jangan bercanda …”
“Kenapa Ndri? Kita percaya sama kamu kok …” kata Vita.
“Ng … a-a-aku nggak … rada gak yakin aja. Kenapa bukan Lestari? Maaf, dia kan sekertaris OSIS putri, sekalian jadi sekertaris CM aja gitu maksudku, hehe …”
“Bukan begitu Indri, aku baru aja jadi sekertaris Speech Contest bulan kemarin. LPJ-nya juga belum selesai.” Aku mematung seraya berpikir ulang.
“Gimana? Insyaallah bisa ya? Saya tahu kamu jadi sekertaris IITeaching Programme. Proposal kegiatan itu kan, sudah diedarkan ke beberapa SD tempat PKL kita nanti. Masalah surat-surat untuk UPTD, Instansi, dan pihak terkait lain kan, bisa dicicil  …” Ketua II OSIS ini melontarkan penjelasan bijaknya, aku masih terdiam.
“Bener kata Reza, CM kan, cuma semimggu. Teaching programme-nya kan, liburan naik kelas. Tenang, aku siap bantu dan temenin kamu kapan aja deh …” Aniisa menepuk-nepuk pundakku.
Apa boleh buat, teman-teman sudah memberi kepercayaan itu padaku. Kan, tidak baik menolaknya, aku terima saja. Sebetulnya, aku menyanggupi sejak awal. Masalahnya, aku malas berurusan dengan putra. Komunikasinya sedikit susah. Soalnya, di sini ada pembatasan pertemuan antara putra dan putri, walaupun menyangkut keorganisasian.
Karena panitia putri telah terbentuk, sepulang sekolah pada pukul 15.00 besok akan diadakan rapat pengesahan panitia CM putra dan putri serta perumusan Job Description di ruangan kelas II B.

                                                                 * * *
Rapat pun dimulai. Syukron dan Mirza duduk di meja depan. Mungkin salah satu dari mereka, karena biasanya rapat dipimpin oleh ketua dan sekertarisnya. Ternyata dugaanku salah, bukan salah satu dari mereka yang menjadi rekan kerjaku. Syukron memang ketua umum CM, tapi bukan  Mirza sekertarisnya. Hasan, dialah rekan kerjaku (rapat yang aneh). Rasanya kaget setengah hidup, lemas. Dia kan, manusia super sibuk. Sudah jadi sekertaris umum OSIS, jadi ketua SCH pula, tim jurnalistik sekolah yang kerjaannya harus ng-up date berita-berita terkini. Pokoknya sibuk banget, deh. Aduh … mana katanya pendiam lagi (tapi gak tahu juga, benar apa nggak), nanti komunikasinya susah dong? Ya Allah, berikanlah hambamu jalan.
Setelah rapat selesai, ketua, sekertaris, dan bendahara putri tidak diperkenankan meninggalkan ruangan. Ada rapat tambahan yang membahas hadiah pemenang dan bisyaroh juri. Hasan pun menggantikan posisi Mirza yang duduk di meja depan.
“Lho, sekertaris putrinya mana?”
Sreeeng. Jantungku seperti sedang digoreng (rasanya panas pemirsa).
“Lha, ini sekertarisnya.” Aniisa menunjuk ke arahku, aku cuma tersenyum (sejujurnya hati ini ingin menangis, hiks … hiks …). He, mendramatisir amat.
“Oh, maaf. Saya pikir Lestari …” Suaranya lembut banget, jadi ngerasa gak tega sebel sama dia.
Berhubung hari semakin sore, rapat terpaksa ditutup. Untuk pembagian tugas panitia, bisa didiskusikan dengan rekan kerjanya masing-masing di luar rapat.

                                                               * * *

“Nis, gimana tentang pembagiaan tugasnya? Kemarin kan, baru perumusan. Apa nulis surat aja, yah? Coba yayasan ini ngebolehin bawa hape!”
“Iya. Aku juga mau bikin surat buat Ihya, ah. Ngebahas lomba debat Inggris. Berarti, kamu bikin dua dong? Kesekertarisan sama pidato Inggris?”
“He-eh, abis nulis surat buat Hasan, aku sama Aeni mau bikin surat buat Mirza.”
“Yang sabar sama Hasan yah, aku ngerti kok, gimana perasaan kamu waktu rapat kemarin …” Aku hanya tersenyum.
“Ah, biasa aja. Padahal, aku kira sekertarisnya Mirza tauuk! Bayangannya tuh ya, aku kerja sama jadi sekertaris, juga SC pidato Inggris, hehe …”
“Berarti, kamu ngarep sama dia?” Aniisa mencondongkan wajahnya ke arahku.
“Ya, gak gitu juga, tapi penginnya sih, gitu. Bukannya kenapa-napa loh! Aku cuma ngerasa kalau Mirza tuh pas aja, buat dijadiin partner. Tapi sama Hasan juga gak apa-apa, yang penting hepi,” aku tersenyum.
Wah, suasana kelas IIA menjadi ramai, seperti ada kompetisi nulis surat saja. Sebagian besar teman kelasku memang panitia, makanya mereka membuat surat.
Ketika ingin membeli jajanan, Lala bertemu Syukron di depan kelas, ia menitipkan surat, untuk sekertaris katanya, jadi Lala berikan padaku. Setelah kubuka, surat itu tertulis untuk Wiji Lestari. Subhanallah, ternyata bukan untukku. Aku berikan saja padanya. Hatiku jadi bertanya-tanya. Mana balasan Hasan? Aku butuh kejelasan pembagian tugasnya. Proposal permohonan dana ke kasir belum dibuat, surat peminjaman tempat, permohonan jadi juri dan undangan. Waktunya tinggal dua minggu lagi.

                                                                           * * *

Seusai shalat maghrib berjama’ah Lestari datang ke kamarku, ia memberikan surat tadi. Katanya untukku, tapi tadi tertulis untuk Wiji Lestari. Masa aku salah baca? Akhirnya Aniisa membaca isi surat itu, memang untukku. Aku bingung bercampur sedikit kesal. Mengapa bukan namaku yang tercantum? Rasanya ingin megundurkan diri. Tapi, tegakah aku lari dari tanggung jawab ini, hanya karena rekan kerjaku tak mengenal namaku? Ya Allah, tabahkan dan teguhkan hati hambamu.

                                                                     * * *

Alhamdulillah, perlombaan CM terlaksana dengan baik. Penutupan CM juga berjalan dengan lancar. Cuma satu sih, yang belum terpenuhi. Sertifikat!
“Ukhti, gimana sertifikatnya?” Tanya Miftah yang melihatku sedang beres-beres setelah acara penutupan.
“Oh, itu masih proses. Aku udah bikin sertifikat panitia yang pakai bahasa Inggris,” kataku seraya melipat taplak.
“Lha, sertifikat pemenang?”
“Bukannya sama Hasan? Katanya dia yang mau bikin?” Miftah malah bengong.
“Ih, gak tahu. Kamu kan, sekertarisnya? Aku mah, cuma SC Story Telling. Tuh, Hasan-nya, tuh!” Tunjuk Miftah. Hasan yang melihat aku dan Miftah sadang membicarakan sertifikat, malah ragu mendekat. Langkahnya maju mundur, akhirnya dia berlalu.
“Loh, Mif. Kok, Hasan malah pergi?” Suaraku lirih. Wajahku menghadap ke arah Miftah, tapi tanganku menunjuk-nunjuk ke arah Hasan. Miftah hanya mengangkat bahu.

                                                                     * * *

Biar tugasnya cepat selesai, Wiwi dan aku pergi ke sekertariat OSIS di lantai tiga pada jam istirahat pertama. Kami melanjutkan pengeditan modul Teaching Programme atau TP. Alhamdulillah, pembuatan surat-surat sudah selesai dan sudah dikoreksi oleh guru Pembina. Baru duduk kurang lebih lima menit, sudah ada yang mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum …” Kubuka pintunya, ternyata Syukron.
“Wa’alaikumussalam, ada apa akhi?”
“Maaf, di meja kompi ada flash disk gak? Mungkin punya saya ketinggalan di situ.”
“Gak ada Ndri!” Seru Wiwi yang sedang asyik memencet tombol-tombol keyboard.
“Gak ada akhi, katanya.”
 “Oh, ya udah. Maaf ukhti Indri, itu nasib sertifikatnya gimana?” Aku terdiam sejenak.
“Ng … belum semua. Sertifikat panitia kan, tugas saya, alhamdulillah udah. Nah, yang buat pemenang itu bagiannya Hasan …”
“Terus gimana?”
“Tadi saya lihat di kompi, baru ada sertifikat yang pakai bahasa Inggris doang. Jadi buat lomba Speech, Debate, Story Telling, sama cerdas cermat itu sertifikatnya udah. Yang belum itu lomba Khitobah, Mujadalah, Qosshol Hikayah, sama MHQ …”
“Coba arsip sertifikat CM masih ada, tinggal kita edit aja deh, ukh.”
“Iya, emang kemana sih, kok gak ada di kompi? Sebenernya tuh, mau tanya Hasan lagi soal ini, tapi kayaknya dia lagi sibuk di ruang SCH mulu. Saya gak enak, takut ganggu …”
“Kurang tahu ukh, dokomen CM gak semuanya ada di kompi, soalnya yang disimpan di situ arsip-arsip OSIS. Gimana kalau ukhti aja yang bikin sertifikat yang belum?”
“Tapi … bahasa arab saya belepotan, takut salah …”
“Ya … ukhti bisa bikin bareng ukhti Aniisa. Nanti juga kan, bisa dikoresi sama Umi Azizah atau guru bahasa Arab lainnya, biar cepet selesai …”
“Insyaallah deh, nanti coba diusahain.”
“Ya udah ukh, Syukron. Maaf ganggu.” Aku menunduk seraya tertawa kecil (malah nyebut nama sendiri).
“Afwan.” Kututup pintu lalu melanjutkan pekerjaan kesekertarisan TP dengan Wiwi.
Sepulang sekolah, aku dan Aniisa pergi ke sekertariat. Ngantor lagi, ngantor lagi. Mudah-mudahan sertifikat yang kami buat benar, besok dikoreksi, lalu diprint. Kalau sudah, biar Hasan yang minta tanda tangan Pak Kepala Sekolah, sekalian dia dan Syukron tanda tangan.

                                                                    * * *

Sudah hampir setengah setahun, tapi Hasan belum menyerahkan sertifikat itu. Mana adik kelas nanyain lagi (aduh, jadi kayak orang yang terlilit hutang saja).
“Ndri, udah ada kejelasan dari Hasan? Nanti kita nulis surat buat dia lagi apa?”
“Hmm … bikin surat lagi yah? Kamu tahu gak sih, kata Gita, Syukron pernah bilang kalau aku itu kayak RATU NULIS SURAT! Habisnya kerjaanku bikin surat mulu …”
“Lha? Emang cocok banget tuh, kamu dapet predikat itu! Berarti, tulisan tangan kamu udah terkenal dong?”
“Ya nggak juga lah, paling yang tahu tulisan aku cuma orang-orang yang punya urusan en sering dapet surat dari aku doang. Soalnya aku males ketemuan, repot nungguin juga nyari-nyari si target, makanya nulis surat, kan tinggal dititipin aja. Beres deh … hehe.”
“Oh, iya. Tsakila ngabarin aku kalau Hasan lagi ada di Bandung. Katanya sih, ikut pelatihan jurnalistik. Terus, minggu depan juga dia mau bikin video apa … gitu, intinya masih ada kaitannya sama SCH!”
“Ih, tuh anak sibuknya masyaallah, deh! Kenapa masih dijadiin sekertaris CM juga, sih?! Mana kelas tiga ini banyak materi diskusi lagi! Pastinya kan, dia juga butuh persiapan buat presentasi. Ya ampun … kapan selesainya … ya?” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Gak tahu, sabar aja…” Aniisa menggeleng.
“Hmm… aneh deh, sama tuh anak. Waktu itu dia pernah bilang ke aku, kalau dia gak megang kunci sekertariat, makanya jarang pergi ke sana. Malah, katanya juga kurang tahu kuncinya sama siapa…”
“Kok bisa?” Aniisa mengerenyitkan kening, “Padahal dia kan, sekertaris umum OSIS?” Aku cuma mengangkat bahu.
“Wallahu’alam. Dia pernah manjat jendela coba, buat masuk seket. Kebetulan, aku mau ke situ. Biasanya, sebelum masuk kan, aku ngintip dari lubang kunci, eh ada orang. Ya udah, aku ketuk pintu.”
“Siapa tuh?” Aniisa memutar badan, menatapku, “Hasan?”
“Kedengerannya sih, kayak suara Hasan. Terus, dia minta tolong bukain pintu. Katanya gak bawa kunci, makanya tadi masuk lewat jendela. Pas keluar, ternyata emang Hasan. Gak apa-apa lah, ada hikmahnya juga kenal dia.”
“Bener tuh. Kamu kan, selama ini berutung terus sama si Habib. Partner OSIS Departemen Pengembangan Bakat kamu itu …”Aniisa nyengir garing, sebelah bibir atasnya naik.
“Iya, gak perlu repot-repot nyari, nanti juga ketemu di jalan. Gampang, deh. Kalau nggak ya … dia ngasih kabar kalau tugasnya itu belum selesai. Gak kayak yang ini, kita nulis surat buat kejelasan tugas aja … gak dibales-bales. Sibuk banget sih, mau minta tugas ini cepet selesai juga mesti mikir dulu berkali-kali. Gak enak sama dia-nya Nis, tapi gak apa-apa deh. Sabar itu banyak berkahnya, kali aja aku dapat apa … gitu,” kumainkan sebelah alisku, “Hehe …”
“Dapet. Kamu bakal dapet pelajaran yang saangat berharga, tapi Hasan orangnya baik juga tanggung jawab kok …”
“Percaya. Waktu itu dia minta maaf ke aku, terus rela bikin proposal baru. Soalnya, flash disk-nya jatuh di jalan, kelindes truk katanya. Padahal semua dokumen penting ada di situ, belum dipindahin ke kompi seket lagi. Hmm mengukir sabar pada pohon kehidupan, nih.

                                                                     * * *

Saat aku menuruni tangga sekolah, kebetulan sekali Hasan lewat.
“Akhi!” Panggilku.
Sebenarya aku nggak enak manggil duluan, tapi darurat.
“Dalem ukhti. Pasti soal sertifikat ya? Maaf ukhti, sudah menunggu lama …” Suaranya begitu lembut. Aduh, aku jadi merasa minder, kayaknya sifat kita terbalik, deh.
“Ng … nggak apa-apa. Saya juga sebenernya gak enak jantung nanyain itu terus, soalnya adik kelas pemenang lombanya nanyain …”
“Iya, saya juga nggak enak. Maaf ukh, sebenarnya penulisan nama saya di sertifikat arab itu keliru.” Aku yang sudah agak nunduk-nunduk dari awal bicara jadi tambah nunduk.
“Tuh kan, salah. Maaf deh, maaf banget. Emang yang bener gimana?” Suaraku tambah lirih, malu.
“Tulisan Yasir-nya itu pake alif, tapi ukhti nulisnya pake huruf ya. Tulisan nama saya itu Ha-san Yaa-sir, bukan Ha-san Ya-siir. Gak apa-apa kok ukh, udah dibenerin. Tinggal diprint dan ditanda tangani lagi aja. Sebenernya kan, itu tugas saya. Sekali lagi mohon maaf, soalnya saya …”
Aku langsung menyeka, “Iya, saya paham banget. Udah gak apa-apa kok, yang penting tanggung jawab kita bisa selesai, biar gak punya hutang aja gitu …” Aku melihat jam tanganku, “Sebentar lagi bel masuk, cuma gitu aja. Maaf ganggu waktunya akhi, permisi …” Kami pun menuju kelas masing-masing.

                                                                      * * *
Pucuk dicinta ulam pun tiba! Penantian panjang, akhirnya selesai juga urusan sertifikat. Kata Evi, Hasan sudah menyerahkan sertifikat pada adik-adik kelas pemenang lomba CM. Padahal baru kemarin aku bertemu dengannya di tangga sekolah. Tuh kan, tugasnya selesai juga. Alhamdulillah. Aku pun dapat menyunggingkan senyum bahagia selebar-lebarnya, hehe All jobs had finished, my head over heels in debt had paid. I was free … I was free … but it was definite that would be there other responsibilities waited me … yeah, waited us exactly.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar