Di tengah hamparan hijau perbukitan yang megah, terletak sebuah desa kecil yang dikenal sebagai Desa Surya. Di desa itu, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Rama adalah seorang yang sehat secara fisik, tetapi di dalam dirinya terdapat kekosongan yang sulit untuk dijelaskan.
Setiap pagi, Rama bangun dengan pikiran yang kacau. Meskipun dia memiliki pekerjaan yang stabil dan keluarga yang menyayanginya, tetapi ada sesuatu yang terasa kosong dalam hidupnya. Dia merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas.
Suatu hari, Rama bertemu dengan seorang tetua bijak yang mengajarkan kepadanya tentang pentingnya mencari makna hidup yang sesuai dengan dirinya. Tetua itu menjelaskan bahwa manusia yang sehat bukan hanya yang fisiknya kuat, tetapi juga yang memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan.
Tetua menyapa Rama dengan suaranya yang sedikit parau, "Hai, anak muda. Apa yang sedang kamu pikirkan dengan serius?"
Kening Rama masih terkerut, "Pak Tetua, saya sedang memikirkan makna hidup saya. Saya merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas."
"Sepertinya saya memahami perasaanmu, meskipun saya tidak tahu persisnya seperti apa,karena hal itu hanya dirimu yang bisa merasakannya." Pak Tetua menghela napas, "Penting bagi kita untuk memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan. Apa yang kamu cari dalam hidupmu, Rama?"
Rama menatap kosong, "Saya tidak yakin, Pak Tetua. Selama ini saya hanya hidup menuruti apa yang diharapkan orang lain."
"Hidup bukan hanya tentang mengejar ekspektasi orang lain, Rama, tetapi juga tentang menetapkan cita-cita yang ingin kita kejar."
Dengan tekad yang kuat, Rama mulai memproyeksikan dirinya ke arah yang ingin dia capai.
***
Lagi-lagi Rama duduk di bawah pohon tua yang rindang, merenungkan langkah-langkah selanjutnya dalam perjalanan hidupnya. Maya, sahabatnya yang melihat Rama dalam keadaan yang serius itu menghampirinya.
"Hai, Rama. Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Sore itu begitu hangat, angin sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan yang gugur, "Aku sedang merenungkan tentang makna hidupku. Beberapa hari yang lalu aku sudah mendapatkan pencerahan dari Pak Tetua dan menjalani kehidupanku dengan baik, tapi sepertinya perasaan aneh akhir-akhir ini muncul lagi."
"Ah, begitu. Sebelumnya aku pernah mengalami hal serupa, Rama. Tapi kemudian aku menyadari bahwa kita harus menciptakan makna hidup kita sendiri, sesuai dengan apa yang kita percayai dan kita inginkan."
"Ya, kamu benar, Maya. Aku merasa seperti sekarang ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengambil kendali atas hidupku sendiri. Aku ingin memiliki tujuan yang jelas dan melakukan segala sesuatu dengan maksud yang bermakna."
Tak lama kemudian, datanglah seorang tetua bijak yang tempo hari Rama temui sebelumnya, menghampiri mereka dengan senyuman yang ramah. Entah takdir apa yang telah digariskan semesta, tapi mungkin seperti itu lah jalannya.
"Hai, anak-anak muda. Apa yang sedang kalian bicarakan?"
"Kami sedang berbicara tentang mencari makna hidup, Pak Tetua. Rama baru saja menyadari pentingnya memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan," kata Maya.
Tetua duduk di samping Rama, "Mengetahui tujuan hidup adalah langkah pertama menuju eksistensi yang bermakna. Tetapi ingatlah, perjalanan mencari makna hidup itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan proses."
"Terima kasih, Pak Tetua. Saya akan terus berjuang untuk menemukan makna hidup saya dan menjalani setiap langkah dalam perjalanan ini dengan penuh kesadaran."
Mereka bertiga duduk di bawah pohon tua itu, saling bertukar cerita dan pengalaman, serta memberikan dukungan satu sama lain dalam perjalanan mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan langit yang menorehkan cahaya jingga di atas mereka, mereka menyadari bahwa setiap langkah kecil dalam perjalanan itu adalah bagian dari kehidupan yang bermakna.
Di tengah perjalanan mereka untuk mencari makna hidup yang sesungguhnya, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu bertemu dengan berbagai macam karakter yang mengilhami mereka untuk lebih mendalam memahami esensi dari eksistensi yang bermakna.
Mereka berpapasan dengan Jendra, tetangga Maya, seorang pemuda muda beberapa hari ini yang tampak lesu dan kehilangan semangat dalam setiap langkahnya. Rama memperhatikan Jendra itu dengan keprihatinan yang mendalam. Seperti berkaca dengan diri sendiri.
Rama mencoba membuka percakapan, "Maaf, tetapi saya tidak bisa tidak bertanya. Apakah ada yang mengganggumu, Jendra?"
Pemuda itu menggelengkan kepala, "Tidak ada yang bisa saya sebutkan. Rasanya kosong dan tanpa arah."
Maya menduga jika Jendra sedang merasakan apa yang disebut sebagai gangguan neurotik. Ah, apakah hal-hal semacam ini sedang viral, pikir Maya.
Neurotik mengacu pada keadaan seseorang yang menghadapi tantangan psikologis. Gangguan neurotik bisa muncul tanpa penyebab fisik dan tidak memengaruhi persepsi.
Secara faktual, gangguan neurotik cenderung terkait dengan kecemasan atau pikiran berlebihan daripada gangguan mental. Namun, tanpa pengobatan medis, masalah ini bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan.
***
Kemudian, di perjalanan menuju warung lesehan, mereka bertemu dengan seorang pria keras kepala yang terus-menerus memaksakan pandangannya kepada orang lain tanpa memperhatikan perspektif mereka.
Pria itu berkata dengan nada suara tinggi dengan lawan bicara di hadapannya, "Saya tahu apa yang terbaik untuk semua orang. Saya hanya ingin membantu mereka melihat kebenaran."
Wanita di hadapan pria itu menjawab, "Tapi, apakah Anda pernah berpikir bahwa setiap orang memiliki pandangan dan pengalaman yang berbeda? Memaksakan pandangan Anda kepada orang lain bisa jadi tidak bijaksana."
Maya ingin sekali angkat bicara, tetapi ia khawatir tindakannya terlalu mencampuri urusan orang lain.
Rama, Maya, dan Pak Tetua yang tak sengaja mendengar percakapan itu memantau dari kejauhan. Memastikan keadaan, jika terjadi hal yang tidak diinginkan baru mereka mengambil tindakan.
Beberapa menit kemudian kondisinya nampak sudah aman. Pemuda keras kepala dan wanita tadi sepertinya sudah mendapatkan jalan keluar.
Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan makna hidup mereka sendiri. Memaksakan pandangan atau kepentingan kita kepada orang lain bisa membuat mereka merasa terkekang dan tidak dihargai.
Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang berbeda-beda. Memaksakan makna hidup kita kepada orang lain adalah tindakan yang melawan sunnatullah.
Entah mengapa seorang wanita paruh baya yang duduk di samping meja lesehan Rama malah berbagi kisahnya pada Rama, Maya, dan Pak Tetua, "Saya hanya ingin orang-orang di sekitar saya bahagia. Kebahagiaan mereka adalah segalanya bagiku."
Ah, wanita yang tampaknya selalu menuruti kehendak orang lain, tanpa memperhatikan keinginan dan aspirasinya sendiri. "Mohon maaf sebelumnya, bagaimana dengan kebahagiaan dan aspirasi Anda sendiri? Apakah Anda tidak merasa penting untuk menghargai keinginan dan pemikiran Anda sendiri?" Rama menyeruput kopi hitam yang ia pesan dengan sedikit gula itu.
Maya memandang wajah wanita itu dengan tatapan yang dalam, "Memperhatikan kebahagiaan orang lain adalah hal yang baik, tetapi tidak boleh mengorbankan kebahagiaan dan makna hidup kita sendiri. Setiap individu memiliki hak untuk mengejar impian dan tujuan mereka sendiri."
Wanita itu sangat terbuka, ia mencerna dan menerima apa yang Rama dan Maya katakan kepadanya. Berharap semua itu bisa menjadi salah satu jalan keluar dari apa yang ia alami.
"Janganlah tunduk pada tekanan dan harapan orang lain jika itu bertentangan dengan apa yang Anda inginkan dan percayai. Jika Anda tidak menetapkan makna hidup Anda sendiri, Anda akan terombang-ambing dalam kehampaan dan kebingungan." Tetua menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan.
Wanita itu meneteskan air mata, menyadari bahwa dia juga harus memperhatikan keinginan dan kebahagiaannya sendiri.
***
Di bawah langit malam dan suara jangkrik yang menghiasi malam mereka, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu belajar bahwa setiap individu memiliki perjuangan dan tantangan masing-masing dalam mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan saling mendukung dan memahami, mereka berharap dapat mencapai eksistensi yang bermakna dan memperjuangkan kebahagiaan serta pemenuhan diri mereka sendiri.
Sembari duduk santai di warung lesehan mereka menikmati kudapan sederhana yang tersedia.
Rama teringat akan kata-kata dari Montaigne, "Saya teringat kata-kata seorang filsuf yang pernah saya dengar. Dia berkata bahwa, aku takut mata kita lebih besar dari perut kita. Dan rasa ingin tahu kita lebih besar dari daya pemahaman kita. Segalanya kita pahami, tapi kita tidak mendapatkan apapun kecuali angin."
Maya menghentakkan jemarinya dengan antusias di atas meja, matanya berbinar-binar. "Ini mungkin menarik. Dewasa ini, kita ingin tahu segalanya, khususnya difasilitasi oleh media-media digital. Rasanya, kita telah mengetahui begitu banyak hal berkali-kali lipat, tapi seperti angin. Lalu, manfaatnya apa?"
"Kita tidak pernah menghitung, informasi ini gunanya untuk apa, bermanfaat atau tidak. Kalau dalam bahasa agama, maslahat atau tidak. Yang lebih tinggi lagi, berkah atau tidak. Itu lebih luas lagi. bahwa terlalu banyak pengetahuan tanpa kebijaksanaan akan membuat kita seperti angin, tidak memberikan manfaat yang nyata dalam hidup kita. Apakah Anda setuju dengan itu, Pak Tetua?"
Tetua tersenyum, "Itu adalah pelajaran yang dalam, Rama, Maya. Terlalu banyak informasi tanpa refleksi dan penghayatan akan membuat kita kehilangan arah. Kita harus bijak dalam memilih apa yang benar-benar bermanfaat bagi kita, dan tidak terlalu banyak membebani diri dengan pengetahuan yang tidak relevan."
Rama mengangguk, merenungkan kata-kata tersebut. "Memang, Pak Tetua. Saya harus lebih selektif lagi dalam memilih informasi yang terserap dan mencari pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi perkembangan diri saya."
"Betul sekali, Rama. Kita harus mengingat bahwa mata kita lebih besar dari perut, artinya tidak semua informasi yang kita serap dapat kita cerna dan manfaatkan dengan baik. Kita perlu memilih dengan bijak dan fokus pada hal-hal yang benar-benar relevan untuk meningkatkan kualitas hidup kita."
Rama tersenyum, merasa semakin yakin dengan langkah-langkahnya ke depan. Dengan bimbingan dari Tetua dan pelajaran yang ia dapat berbagai hal yang ditemui, dia siap untuk memilih dengan bijak dan mengejar makna hidup yang sesungguhnya.
Dari situlah, Rama mulai mengontrol hidupnya sendiri dengan lebih sadar. Dia menciptakan rencana-rencana dan cita-cita yang ingin dia wujudkan. Setiap langkah yang diambilnya sekarang memiliki tujuan yang jelas, dan dia tidak lagi terpenjara oleh masa lalu atau menerima situasi tanpa perlawanan.
Rama juga belajar untuk mengungkapkan nilai-nilai, pengalaman, dan sikapnya dengan lebih jelas kepada orang-orang di sekitarnya. Dia tidak lagi merasa terkekang oleh ekspektasi orang lain, tetapi lebih fokus pada apa yang dia percaya dan ingin capai dalam hidupnya.
Menjadi manusia yang sehat secara eksistensi bukan hanya tentang fisik yang prima, tetapi juga tentang memiliki tujuan hidup yang memberikan makna dan kepuasan. Sebuah eksistensi yang bermakna adalah hasil dari kesadaran, kontrol diri, dan kemauan untuk berjuang mewujudkan apa yang diinginkan.