Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon

Menjaga Jiwa, Menjaga Ketenangan

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



Pernah ngerasa bete gara-gara omongan orang yang nyakitin hati? Atau malah jadi emosi sendiri karena hal sepele? Tenang, kamu nggak sendirian kok!  Kita semua pernah ngalamin hal itu. Tapi tahu nggak sih, ternyata menghindari omongan yang nyakitin dan menjaga ketenangan hati itu punya hubungan erat dengan salah satu tujuan utama syariat, yaitu menjaga jiwa.

Pada dasarnya, semua ketentuan dalam syariat itu bertujuan demi tercapainya maslahat atau kemanfaatan, kebaikan, dan kedamaian umat manusia dalam segala urusannya, baik urusan di dunia maupun urusan akhirat. Nah, maqasid syariah atau beberapa tujuan syariat adalah merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia (mashâlih al-ibâd) baik urusan dunia maupun urusan akhirat mereka.

Menurut Imam Asy-Syatibi, maqashid syariah memiliki lima hal inti, yaitu:

1. Hifdzu ad-din (حـفـظ الـديـن) atau menjaga agama

2. Hifdzu an-nafs (حـفـظ النــفـس) atau menjaga jiwa

3. Hifdzu 'aql (حـفـظ العــقل) atau menjaga akal

4. Hifdzu an-nasl (حـفـظ النـسـل) atau menjaga keturunan

5. Hifdzu al-maal (حـفـظ المــال) atau menjaga harta

Kemudian, jika kita menghindari orang-orang yang sekiranya omongan mereka dapat menyakiti kita, atau membiarkan diri kita sendiri untuk tenang dari marah, itu masuk bagian dari menjaga jiwa, bukan?

Hayooo bagaimana? 

Jadi begini, menghindari orang-orang yang omongannya dapat menyakiti kita dan menjaga ketenangan diri dari amarah termasuk dalam hifzu an-nafs (menjaga jiwa) dalam maqashid syariah.

- Hifdzu an-nafs mencakup menjaga jiwa dari segala bentuk bahaya dan ancaman, baik secara fisik maupun psikis.

- Omongan yang menyakiti dapat menyebabkan luka batin dan stres yang berdampak buruk bagi kesehatan mental dan jiwa seseorang.

- Menjaga ketenangan dari amarah juga penting, karena amarah yang tidak terkendali bisa menyebabkan tindakan impulsif yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Dengan demikian, menghindari orang-orang yang berpotensi menyakiti jiwa kita dan menjaga ketenangan diri dari amarah merupakan upaya untuk menjaga jiwa kita dari bahaya dan ancaman, yang sejalan dengan salah satu tujuan utama syariat yaitu hifdzu an-nafs.

Selain itu, tindakan tersebut juga dapat dikaitkan dengan:

- Hifdzu al-'aql (menjaga akal):  Amarah yang tidak terkendali dapat mengacaukan akal sehat dan menyebabkan seseorang bertindak tidak rasional.

- Hifdzu ad-din (menjaga agama):  Kehilangan ketenangan dapat menyebabkan seseorang melakukan perbuatan dosa atau melanggar hukum agama.

Kesimpulannya, menjaga jiwa dari bahaya dan ancaman, termasuk menghindari omongan yang menyakiti dan menjaga ketenangan dari amarah, adalah hal yang penting dan sejalan dengan prinsip-prinsip maqashid syariah.

Wallahu'alam. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Adab Bangun dari Tidur


Ringkasan materi kitab Bidayah al-Hidayah dari Majelis Dzikir Ponpes. Asshiddiqiyah Jakarta. 

في آدب الإستِيقاظ من النوم

Jika bangun tidur, usahakan untuk bangun sebelum waktu fajar (subuh) dan segera berzikir kepada Allah (dengan lisan dan hati kita).

Malam adalah kematian kecil, oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri dengan baik. Bacalah ayat kursi, surat al-Ikhlas tiga kali, surat al-Mu'awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas), dan surat al-Fatihah, kemudian tiupkan ke telapak tangan dan usapkan ke seluruh tubuh.

Tidur juga termasuk kematian kecil. Ketika manusia tidur, setan akan mengikat tubuh kita dengan tiga ikatan (tiga lapis) agar kita tertidur lelap dan terlewatkan waktu shalat. Oleh karena itu, untuk memudahkan bangun tahajjud, bacalah akhir surat al-Baqarah agar dipermudah bangunnya nanti.

Ikatan pertama bisa terlepas dengan membaca doa:

الحمد لله الذي أحيانا بعدما أماتنا وإليه النشور

Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya-lah kami akan dikembalikan.

Ikatan kedua bisa dibuka dengan mengambil air wudu.

Ikatan ketiga bisa terbuka ketika kita melakukan shalat sunnah malam.

Bisa juga dilanjutkan dengan membaca Wirid al-Lathif setelah salat Subuh.



Wallahua'alam

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Catatan dari Ayah

 


Percaya, kalau pengalaman itu adalah guru yang paling berharga? Hehe, tergantung keyakinan masing-masing sih, bagaimana seseorang bisa menyikapi, merespon, juga menilai sesuatu yang ada di hadapannya maupun yang pernah ia alami. 


Ya, kepercayaan itu juga seperti debu, sebelum ia menumpuk, itu bukanlah apa-apa. 


Awalnya, ketika pertama kali mondok aku diajarkan ayah untuk membuat list pengeluaran harian di buku tulis. Sederhana, cukup menuliskan tanggal, barang atau keperluan apa, dan menyantumkan harganya. Waktu itu rasanya biasa saja. Nggak kesal ataupun senang karena diminta ayah untuk membuat itu. 


Aku beli lauk, gorengan, air kemasan, bahkan aku beli kertas nasi seharga Rp. 100 pun aku tuliskan. Nah, pada laporan sederhana tersebut, aku tuliskan semua sesuai pengeluaranku selama dua minggu. Aku dijenguk dua minggu sekali, sudah kesepakatan ayah denganku kala itu. Setiap aku dijenguk, selain dibawakan jajan dari rumah dan keperluan sehari-hari seperti sabun dan lainnya, aku juga menyerahkan laporan pengeluaran. 


Ayah membaca dengan detail apa yang aku tuliskan, beliau tidak komentar, “kok jajannya banyak banget, ya,” atau “dikit ya, pengeluarannya.” Ayah tersenyum dan memintaku meneruskan kegiatan itu. Oke deh, aku mah, siap. 


Setiap kali dijenguk, ayah selalu menanyakan kabar dan jika ada yang perlu diutarakan, ceritakan saja, nanti ayah coba bantu berikan pencerahan atau motivasi, tentunya menyesuaikan dengan kondisiku saat itu. 



Pernah, ketika ke pondok, ayah melihatku dalam keadaan lemas, dan mungkin nampak agak pucat. Ayah bertanya perihal kondisiku, lalu aku jawab jika aku sedang mencoba melakukan ibadah puasa sunnah Senin-Kamis, karena sebentar lagi akan ada ijazah puasa tersebut dan kami wajib puasa selama setahun. 


Dengan lembut dan gayanya yang santai, ayah bilang kalau aku tidak kuat puasa ya tidak apa-apa, masih ada ibadah lainnya yang bisa dilakukan seperti berzikir. Kata ayah, jangan sampai yang sunnah itu mengalahkan yang wajib. 


“Nggak apa-apa kok, Yah. Rasanya lemes, tapi Anis masih bisa ikutin kegiatan yang ada,” kataku kemudian aku menyunggingkan sebuah senyuman yang, aduh bibirku yang kering agak pecah-pecah itu…. 


“Tuh kan, bibirnya aja retak gitu,” balas ayahku tanpa dosa. Astagfirullah auto ngakak dalam hati, deh. 


Kemudian, aku memberikan laporan keuanganku. Ayah melihatnya sebentar lalu memintaku membandingkan pengeluaranku dari minggu yang satu dengan minggu lainnya. 


“Pengeluarannya nggak beda jauh, Yah,” aku mengerjap. 


“Berarti pengeluarannya stabil. Nanti ada kalanya kalau lagi banyak kebutuhan, Anis bisa ngabisin lebih dari pengeluaran yang biasanya. Begitu pula sebaliknya.”


Aku diam sejenak, berpikir. Ih, ayahku sedang mengajarkan manajemen keuangan ya, tapi pakai metode santai mode on. Jadi nggak kerasa lagi diajarin, kan. Waah, keren juga. 


Kebetulan banget, di sekolah aku juga sudah belajar Tikom (Teknologi Informasi dan Komunikasi) bab Excel. Hehe, isinya rumus-rumus, ya. Emang boleh jadi sengitung itu. Ihhieww, ayah gak tahu kalau ujian semesteran kemarin aku juara pertama seangkatan, di mata pelajaran itu doang tapi. 


Jadi bernostalgia. Setelah nilai ujian keluar, datanya ditempel di depan kantor SMP. Tidak dituliskan nama peserta ujian, hanya menyantumkan nomor peserta UAS, deretan jawaban dan peringkat. Waktu itu aku iseng, siapa tuh yang dapat peringkat satu di mata pelajaran Tikom, eh, itu nomor ujianku. Alhamdulillah aku senang tapi posisinya aku masih mematung. Diam sambil mikir, kalau diingat-ingat, soal ujiannya juga sama persisis kayak soal latihan di buku paket. Untung sudah aku isi semua latihannya. Ustaz Java, memang boleh aku seberuntung ini? Hmm, but at all, terima kasih banyak ya Allah. Terima kasih Ustaz Java, yang sudah mengajarkanku ilmu dan memberikan soal yang sama persis dengan latihan di buku. 


•°••°•


Sesuatu yang tidak masuk akal terkadang bisa saja terjadi. Aku sudah menerima kiriman uang dari ayahku untuk kebutuhanku selama dua bulan kedepan, tapi di sisi lain, tanpa sengaja aku mematahkan gagang kacamata temanku. 


Aku nggak tahu, padahal cuma pegang gagangnya, mau coba pakai, eh, malah patah, aku pegang gagang yang satunya lagi, patah lagi. Aku bengong. Beneran cuma pegang doang, tapi dia patah begitu saja. Pelan kok, aku pegangnya. 


Karena masih jam istirahat, jadi aku langsung meminta maaf ke temanku dan lari ke luar pondok untuk pergi ke optik terdekat. Sebenarnya tindakanku itu termasuk kabur, karena keluar pondok tanpa izin. Ya sudahlah, maafkan aku yang melanggar, habisnya kepepet. Aslinya temanku biasa saja, tapi perasaanku yang tidak biasa, bawaannya kalau aku merusak barang milik seseorang meskipun itu tanpa sengaja, maunya langsung diperbaiki atau diganti saat itu juga.


Angin pegunungan berembus dengan sejuknya, setidaknya memberikan sedikit kenyamanan meskipun aku sedang galau. Duduk di samping jendela kelas memang favorit banget, deh. 


“Yah, anak Ayah sudah sekolah di Aliyah, tapi rasanya masih pengin curhat aja. Aku nggak sengaja matahin gagang kacamata Dina, uang kiriman Ayah tinggal setengah, deh.” Aku berbisik seolah sedang berbicara dengan angin yang lewat. 


Semenjak melanjutkan sekolah ke daerah pegunungan di Jawa Tengah, aku jadi tidak bisa dijenguk seperti ketika aku mondok waktu SMP dulu. 


Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Matahari semakin tinggi, tapi aku masih terpaku di tepi jendela kelas, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dina tadi sudah bilang kalau dia nggak apa-apa, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Perasaan itu nggak kunjung hilang meskipun aku sudah berusaha memperbaiki kacamata Dina di optik. 


“Aku nggak marah kok, Nis,” ucapnya dengan senyuman yang menenangkan. 


Tapi tetap, pikiranku nggak bisa berhenti memikirkan bagaimana aku akan bertahan dengan uang yang tinggal setengah. Aku harus pintar-pintar mengatur pengeluaran sekarang. Di dalam hati, aku tahu ayah pasti akan memintaku untuk belajar dari kejadian ini.


Setiap kali aku mengingat pesan-pesan ayah, ada rasa hangat yang mengalir di dalam dada. Bukan hanya tentang uang, tapi tentang bagaimana menghadapi setiap masalah dengan tenang dan bijaksana. Terkadang, tanpa disadari, ayahku sudah mengajarkanku banyak hal. Seperti saat aku mulai terbiasa membuat laporan keuangan. Awalnya, terasa biasa saja, tapi perlahan aku mulai paham, ini bukan sekadar mencatat angka. Ayah sedang mengajarkanku disiplin, kesabaran, dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang nggak langsung terlihat, tapi terpatri dalam setiap tindakan kecil.


Dan kini, duduk di bangku Aliyah dengan pemandangan pegunungan yang indah, aku menyadari bahwa semua pelajaran itu datang dari pengalaman. Pengalaman yang mungkin dulu aku anggap sepele, ternyata adalah pelajaran penting.


Aku tersenyum kecil, di balik semua kekhawatiranku, ada keyakinan bahwa aku akan selalu bisa melewati segala tantangan. Karena, seperti kata ayah, “pengeluaran stabil itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana Anis menghadapinya dengan hati yang tenang.”


Angin pegunungan terus berembus, seolah membawa pesan dari kejauhan. Mungkin ayah benar, pengalaman adalah guru yang paling berharga.


Dan hari ini, aku kembali belajar.


•°••°•

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Warna Kehidupan, Warisan Kita


Katanya, kalau mau tahu seseorang itu lihatlah tulisannya, bukan sekadar menjustifikasi dari apa yang dikatakannya. Perkataan bisa saja tidak sengaja terucap, tanpa filter, keceplosan. Tapi tulisan, tentu ia melewati beberapa tahapan. 

Proses menulis itu melibatkan tahapan yang matang, mulai dari merencanakan ide, menuangkannya menjadi sebuah konten, kemudian dilanjutkan dengan proses editing untuk memperbaiki dan menyempurnakan tulisan. Melalui proses ini, seseorang dapat mengungkapkan pemikiran dan pandangannya secara lebih terstruktur dan terperinci. Dengan demikian, membaca tulisan seseorang dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kepribadian, nilai, dan cara berpikir yang dimilikinya.

Oh ya, kamu tahu, jika aku menuliskan sesuatu dan mengabadikannya di sini, proses editingnya itu berlaku selamanya. Kenapa? 



Aku sering membaca ulang apa yang aku tuangkan di sini, kemudian merasakan ada kejanggalan diksi, maksud, maupun kekhilafan lainnya. 

Lalu, bagaimana nasib Daun Keberkahan ini? Di dalamnya random sekali. Ya, betul-betul beraneka ragam. Gaya bahasanya pun terkadang berbeda-beda. Dan, apakah tulisan-tulisan ini memiliki aura tertentu? Entahlah, bisa jadi mereka hanya menyesuaikan dengan kondisi ketika aku menuliskannya. 

Awalnya, Blessed Life adalah sebuah keisengan yang terencana. 

Iseng karena sekadar bermain-main, menganggur, tapi di lain sisi pun sudah ada rencana akan memberikan bumbu apa saja di dalamnya. Ya, di masakan Blessed Life ini. 

Lalu, sebenarnya cara berpikir yang seperti apa yang dimiliki oleh penulisnya? Pemikiran yang beragam, yang masih butuh untuk terus diperbaiki, diberikan pembaharuan. Out of the box, karena terkadang kehidupan adalah sesuatu yang di luar dari apa yang direncanakan.

Mungkinkah jutaan kata yang tersimpan di sini dapat mendorong seseorang untuk melihat masalah dari sudut pandang baru dan mempertimbangkan pendekatan yang tidak biasa atau tidak diharapkan? 

Bagaimana dengan gagasan-gagasan atau solusi yang ditawarkan di sini? Hmm, mereka melibatkan metode atau cara berpikir yang tidak lazim atau biasa saja? 

Yah, se-random itu. Terkadang menggunakan analogi yang tidak biasa, menggabungkan disiplin ilmu yang berbeda, atau memecahkan masalah dengan cara yang tidak terduga. Semua memiliki sejarahnya masing-masing. 

Yuk, abadikan sejarah kita, apapun bentuknya, bagaimanapun caranya. Kita wariskan yang baik-baik saja. 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Petualangan Menuju Kebahagiaan yang Tersembunyi

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



Dalam pencarian kebahagiaan, seringkali kita terjebak dalam anggapan bahwa itu harus dicari di tempat-tempat jauh atau dalam pencapaian yang besar. Namun, menurut pemikiran yang mendalam, kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam pemahaman dan kesadaran akan diri serta penerimaan terhadap kondisi jiwa. Hamka menyoroti bahwa seringkali kita lupa akan kebahagiaan yang telah menyelubungi kita, meskipun mungkin tidak menyadarinya.

Ada tiga kunci utama yang membuka pintu kebahagiaan: pengetahuan dan kesadaran, penerimaan, dan kondisi jiwa. Meskipun pengetahuan memainkan peran penting, kebahagiaan juga dapat ditemukan melalui pilihan-pilihan tindakan yang membawa kesenangan, walaupun tidak selalu merupakan prioritas utama.

Dalam konteks psikologi, kesenangan bisa memiliki durasi yang bervariasi, mulai dari yang singkat hingga yang tak terbatas, dengan kontribusi pada kebaikan yang tanpa pamrih menjadi puncaknya. Dengan demikian, kebahagiaan tidak selalu terletak pada pencapaian besar, tetapi dalam kesadaran, penerimaan, dan kontribusi kita terhadap kebaikan. Tak perlu melangkah jauh untuk menemukan kebahagiaan yang sejati. Dalam refleksi mendalam, Hamka mengungkapkan bahwa seringkali manusia terjebak dalam pencarian hal-hal yang belum dimilikinya. Sebagaimana mereka yang belum meraih kesuksesan terus mengejar, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan sejati telah menyelimuti mereka. Kemudian mereka yang sukses, malah mencari kebahagiaan karena telah lama dirinya disibukkan dengan berbagai rutinitas yang bisa jadi menjemukan.


Dari ketiga kunci utama kebahagiaan, pengetahuan menjadi landasan penting, karena kebaikan-kebaikan dalam hidup menjadi sumber utama kebahagiaan, yang didukung oleh pemahaman yang dalam. Nabi Adam, misalnya, turun ke bumi dengan bekal ilmu dari Allah, yang menjadi fondasi kebahagiannya. Namun, bagaimana dengan mereka yang mungkin tidak secemerlang itu dalam ilmu, namun tetap mampu menemukan kebahagiaan? Jawabannya, terletak pada pilihan-pilihan tindakan yang diambil. Meskipun tidak menjadi fokus utama, tindakan-tindakan menyenangkan dapat membawa kebahagiaan sesaat. Dalam psikologi barat, kesenangan dapat memiliki beragam durasi, mulai dari yang singkat hingga yang tak terbatas. Kebahagiaan sejati, yang bersumber dari kontribusi pada kebaikan tanpa pamrih lah yang menjadi puncaknya. Sedangkan dalam konteks agama keikhlasan menjadi kunci, membawa kebahagiaan yang abadi dan tidak terbatas, karena bertumpu pada keridhaan Allah. Dengan demikian, kebahagiaan bukanlah sekadar pencapaian besar, tetapi terletak pada pemahaman, penerimaan, dan kontribusi kita dalam hidup sehari-hari.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Eksistensi Yang Bermakna

 


Di tengah hamparan hijau perbukitan yang megah, terletak sebuah desa kecil yang dikenal sebagai Desa Surya. Di desa itu, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Rama adalah seorang yang sehat secara fisik, tetapi di dalam dirinya terdapat kekosongan yang sulit untuk dijelaskan.

Setiap pagi, Rama bangun dengan pikiran yang kacau. Meskipun dia memiliki pekerjaan yang stabil dan keluarga yang menyayanginya, tetapi ada sesuatu yang terasa kosong dalam hidupnya. Dia merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas.

Suatu hari, Rama bertemu dengan seorang tetua bijak yang mengajarkan kepadanya tentang pentingnya mencari makna hidup yang sesuai dengan dirinya. Tetua itu menjelaskan bahwa manusia yang sehat bukan hanya yang fisiknya kuat, tetapi juga yang memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan.

Tetua menyapa Rama dengan suaranya yang sedikit parau, "Hai, anak muda. Apa yang sedang kamu pikirkan dengan serius?"

Kening Rama masih terkerut, "Pak Tetua, saya sedang memikirkan makna hidup saya. Saya merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas."

"Sepertinya saya memahami perasaanmu, meskipun saya tidak tahu persisnya seperti apa,karena hal itu hanya dirimu yang bisa merasakannya." Pak Tetua menghela napas, "Penting bagi kita untuk memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan. Apa yang kamu cari dalam hidupmu, Rama?"

Rama menatap kosong, "Saya tidak yakin, Pak Tetua. Selama ini saya hanya hidup menuruti apa yang diharapkan orang lain."

"Hidup bukan hanya tentang mengejar ekspektasi orang lain, Rama, tetapi juga tentang menetapkan cita-cita yang ingin kita kejar."

Dengan tekad yang kuat, Rama mulai memproyeksikan dirinya ke arah yang ingin dia capai. 

***


Lagi-lagi Rama duduk di bawah pohon tua yang rindang, merenungkan langkah-langkah selanjutnya dalam perjalanan hidupnya. Maya, sahabatnya yang melihat Rama dalam keadaan yang serius itu menghampirinya. 

"Hai, Rama. Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Sore itu begitu hangat, angin sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan yang gugur, "Aku sedang merenungkan tentang makna hidupku. Beberapa hari yang lalu aku sudah mendapatkan pencerahan dari Pak Tetua dan menjalani kehidupanku dengan baik, tapi sepertinya perasaan aneh akhir-akhir ini muncul lagi."

"Ah, begitu. Sebelumnya aku pernah mengalami hal serupa, Rama. Tapi kemudian aku menyadari bahwa kita harus menciptakan makna hidup kita sendiri, sesuai dengan apa yang kita percayai dan kita inginkan."

"Ya, kamu benar, Maya. Aku merasa seperti sekarang ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengambil kendali atas hidupku sendiri. Aku ingin memiliki tujuan yang jelas dan melakukan segala sesuatu dengan maksud yang bermakna."

Tak lama kemudian, datanglah seorang tetua bijak yang tempo hari Rama temui sebelumnya, menghampiri mereka dengan senyuman yang ramah. Entah takdir apa yang telah digariskan semesta, tapi mungkin seperti itu lah jalannya. 

"Hai, anak-anak muda. Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Kami sedang berbicara tentang mencari makna hidup, Pak Tetua. Rama baru saja menyadari pentingnya memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan," kata Maya. 

Tetua duduk di samping Rama, "Mengetahui tujuan hidup adalah langkah pertama menuju eksistensi yang bermakna. Tetapi ingatlah, perjalanan mencari makna hidup itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan proses."

"Terima kasih, Pak Tetua. Saya akan terus berjuang untuk menemukan makna hidup saya dan menjalani setiap langkah dalam perjalanan ini dengan penuh kesadaran."

Mereka bertiga duduk di bawah pohon tua itu, saling bertukar cerita dan pengalaman, serta memberikan dukungan satu sama lain dalam perjalanan mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan langit yang menorehkan cahaya jingga di atas mereka, mereka menyadari bahwa setiap langkah kecil dalam perjalanan itu adalah bagian dari kehidupan yang bermakna.

Di tengah perjalanan mereka untuk mencari makna hidup yang sesungguhnya, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu bertemu dengan berbagai macam karakter yang mengilhami mereka untuk lebih mendalam memahami esensi dari eksistensi yang bermakna.

Mereka berpapasan dengan Jendra, tetangga Maya, seorang pemuda muda beberapa hari ini yang tampak lesu dan kehilangan semangat dalam setiap langkahnya. Rama memperhatikan Jendra itu dengan keprihatinan yang mendalam. Seperti berkaca dengan diri sendiri. 

Rama mencoba membuka percakapan, "Maaf, tetapi saya tidak bisa tidak bertanya. Apakah ada yang mengganggumu, Jendra?"

Pemuda itu menggelengkan kepala, "Tidak ada yang bisa saya sebutkan. Rasanya kosong dan tanpa arah."

Maya menduga jika Jendra sedang merasakan apa yang disebut sebagai gangguan neurotik. Ah, apakah hal-hal semacam ini sedang viral, pikir Maya. 

Neurotik mengacu pada keadaan seseorang yang menghadapi tantangan psikologis. Gangguan neurotik bisa muncul tanpa penyebab fisik dan tidak memengaruhi persepsi.

Secara faktual, gangguan neurotik cenderung terkait dengan kecemasan atau pikiran berlebihan daripada gangguan mental. Namun, tanpa pengobatan medis, masalah ini bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan.

***

Kemudian, di perjalanan menuju warung lesehan, mereka bertemu dengan seorang pria keras kepala yang terus-menerus memaksakan pandangannya kepada orang lain tanpa memperhatikan perspektif mereka.

Pria itu berkata dengan nada suara tinggi dengan lawan bicara di hadapannya, "Saya tahu apa yang terbaik untuk semua orang. Saya hanya ingin membantu mereka melihat kebenaran."

Wanita di hadapan pria itu menjawab, "Tapi, apakah Anda pernah berpikir bahwa setiap orang memiliki pandangan dan pengalaman yang berbeda? Memaksakan pandangan Anda kepada orang lain bisa jadi tidak bijaksana."

Maya ingin sekali angkat bicara, tetapi ia khawatir tindakannya terlalu mencampuri urusan orang lain. 

Rama, Maya, dan Pak Tetua yang tak sengaja mendengar percakapan itu memantau dari kejauhan. Memastikan keadaan, jika terjadi hal yang tidak diinginkan baru mereka mengambil tindakan. 

Beberapa menit kemudian kondisinya nampak sudah aman. Pemuda keras kepala dan wanita tadi sepertinya sudah mendapatkan jalan keluar.

Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan makna hidup mereka sendiri. Memaksakan pandangan atau kepentingan kita kepada orang lain bisa membuat mereka merasa terkekang dan tidak dihargai.

Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang berbeda-beda. Memaksakan makna hidup kita kepada orang lain adalah tindakan yang melawan sunnatullah.

Entah mengapa seorang wanita paruh baya yang duduk di samping meja lesehan Rama malah berbagi kisahnya pada Rama, Maya, dan Pak Tetua, "Saya hanya ingin orang-orang di sekitar saya bahagia. Kebahagiaan mereka adalah segalanya bagiku." 

Ah, wanita yang tampaknya selalu menuruti kehendak orang lain, tanpa memperhatikan keinginan dan aspirasinya sendiri. "Mohon maaf sebelumnya, bagaimana dengan kebahagiaan dan aspirasi Anda sendiri? Apakah Anda tidak merasa penting untuk menghargai keinginan dan pemikiran Anda sendiri?" Rama menyeruput kopi hitam yang ia pesan dengan sedikit gula itu. 

Maya memandang wajah wanita itu dengan tatapan yang dalam, "Memperhatikan kebahagiaan orang lain adalah hal yang baik, tetapi tidak boleh mengorbankan kebahagiaan dan makna hidup kita sendiri. Setiap individu memiliki hak untuk mengejar impian dan tujuan mereka sendiri."

Wanita itu sangat terbuka, ia mencerna dan menerima apa yang Rama dan Maya katakan kepadanya. Berharap semua itu bisa menjadi salah satu jalan keluar dari apa yang ia alami. 

"Janganlah tunduk pada tekanan dan harapan orang lain jika itu bertentangan dengan apa yang Anda inginkan dan percayai. Jika Anda tidak menetapkan makna hidup Anda sendiri, Anda akan terombang-ambing dalam kehampaan dan kebingungan." Tetua menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. 

Wanita itu meneteskan air mata, menyadari bahwa dia juga harus memperhatikan keinginan dan kebahagiaannya sendiri.

***


Di bawah langit malam dan suara jangkrik yang menghiasi malam mereka, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu belajar bahwa setiap individu memiliki perjuangan dan tantangan masing-masing dalam mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan saling mendukung dan memahami, mereka berharap dapat mencapai eksistensi yang bermakna dan memperjuangkan kebahagiaan serta pemenuhan diri mereka sendiri.

Sembari duduk santai di warung lesehan mereka menikmati kudapan sederhana yang tersedia. 

Rama teringat akan kata-kata dari Montaigne, "Saya teringat kata-kata seorang filsuf yang pernah saya dengar. Dia berkata bahwa, aku takut mata kita lebih besar dari perut kita. Dan rasa ingin tahu kita lebih besar dari daya pemahaman kita. Segalanya kita pahami, tapi kita tidak mendapatkan apapun kecuali angin." 

Maya menghentakkan jemarinya dengan antusias di atas meja, matanya berbinar-binar.  "Ini mungkin menarik. Dewasa ini, kita ingin tahu segalanya, khususnya difasilitasi oleh media-media digital. Rasanya, kita telah mengetahui begitu banyak hal berkali-kali lipat, tapi seperti angin. Lalu, manfaatnya apa?"

"Kita tidak pernah menghitung, informasi ini gunanya untuk apa, bermanfaat atau tidak. Kalau dalam bahasa agama, maslahat atau tidak. Yang lebih tinggi lagi, berkah atau tidak. Itu lebih luas lagi. bahwa terlalu banyak pengetahuan tanpa kebijaksanaan akan membuat kita seperti angin, tidak memberikan manfaat yang nyata dalam hidup kita. Apakah Anda setuju dengan itu, Pak Tetua?"

Tetua tersenyum, "Itu adalah pelajaran yang dalam, Rama, Maya. Terlalu banyak informasi tanpa refleksi dan penghayatan akan membuat kita kehilangan arah. Kita harus bijak dalam memilih apa yang benar-benar bermanfaat bagi kita, dan tidak terlalu banyak membebani diri dengan pengetahuan yang tidak relevan."

Rama mengangguk, merenungkan kata-kata tersebut. "Memang, Pak Tetua. Saya harus lebih selektif lagi dalam memilih informasi yang terserap dan mencari pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi perkembangan diri saya."

"Betul sekali, Rama. Kita harus mengingat bahwa mata kita lebih besar dari perut, artinya tidak semua informasi yang kita serap dapat kita cerna dan manfaatkan dengan baik. Kita perlu memilih dengan bijak dan fokus pada hal-hal yang benar-benar relevan untuk meningkatkan kualitas hidup kita."

Rama tersenyum, merasa semakin yakin dengan langkah-langkahnya ke depan. Dengan bimbingan dari Tetua dan pelajaran yang ia dapat berbagai hal yang ditemui, dia siap untuk memilih dengan bijak dan mengejar makna hidup yang sesungguhnya.

Dari situlah, Rama mulai mengontrol hidupnya sendiri dengan lebih sadar. Dia menciptakan rencana-rencana dan cita-cita yang ingin dia wujudkan. Setiap langkah yang diambilnya sekarang memiliki tujuan yang jelas, dan dia tidak lagi terpenjara oleh masa lalu atau menerima situasi tanpa perlawanan.

Rama juga belajar untuk mengungkapkan nilai-nilai, pengalaman, dan sikapnya dengan lebih jelas kepada orang-orang di sekitarnya. Dia tidak lagi merasa terkekang oleh ekspektasi orang lain, tetapi lebih fokus pada apa yang dia percaya dan ingin capai dalam hidupnya.

Menjadi manusia yang sehat secara eksistensi bukan hanya tentang fisik yang prima, tetapi juga tentang memiliki tujuan hidup yang memberikan makna dan kepuasan. Sebuah eksistensi yang bermakna adalah hasil dari kesadaran, kontrol diri, dan kemauan untuk berjuang mewujudkan apa yang diinginkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bestie Emang Njajan

Hari sudah semakin sore, tapi aku tidak bisa melihat momen syahdu terbenamnya dedek mentari. Sepetinya dia terlalu besar untuk sebutan itu. Bagaimana kalau kakak mentari? Yah, bagaimanapun, aku menyukainya ketika dia mulai menampakkan dirinya maupun saat ia tenggelam di ufuk timur. 

Aku iseng mencuci beberapa pasang pakaian. Aku berharap bisa menyelesaikannya dengan cepat, tapi ternyata waktu terus berlalu tanpa ampun, dan akhirnya aku telat. Telat mengaji rutinan di hari Senin bakda maghrib. 

Riri membuka pintu kamarku, “Ra, mau ngaji enggak?”

Entah mengapa rasanya senang, “Ih, pas banget deh. Emang dasar bestie keterlambatan. Emang boleh kita sekompak ini?”

Riri mengangguk sambil tersenyum. Dia seperti matahari yang memberikan sinar kehangatan pada setiap momen., “Helleee. Udah buruan.” Gadis Blora itu mencangking kitabnya, “Aku tunggu di depan gerbang, ya.”

Sesampainya di depan rumah kiai, kami menunduk-nunduk dan jalan mengendap-endap lewat samping mobil kiai. Syukurlah, masih ada ruang untuk kami lewat dan masuk ke dalam, biasanya ramai. 

Setelah mengaji di kediaman kiai, aku dan Riri duduk bersama di angkringan pinggir jalan, masih dalam suasana khidmat setelah menyimak pelajaran tentang penyucian diri. Kami memesan beberapa jajanan favorit untuk merayakan kebersamaan dan nikmat yang telah diberikan Allah.




Sambil mencicipi aci tusuk, aku berkata, “Tau gak, Ri? Aku selalu merasa begitu tenang setelah mengaji. Rasanya hatiku jadi lebih lapang dan penuh dengan kebaikan.”

Riri tersenyum simpul, “Iya, betul banget, Ra. Mengaji itu seperti membersihkan hati dan pikiran kita dari kekhilafan-kekhilafan kecil yang pernah diperbuat. Sungguh nikmat yang tidak bisa diukur dengan apapun.”

Sambil menikmati sate mie, aku menambahkan, “Kita harus bersyukur atas kesempatan ini, Riri. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk belajar agama secara langsung dari seorang kiai.”

Riri mengangguk setuju, “Bener banget, Ra. Kita harus selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Baik itu kesempatan belajar agama, keberadaan sahabat seperti kita, atau pun jajanan enak seperti yang kita nikmati sekarang.”

Kami melanjutkan makan dengan penuh rasa syukur dalam hati, menikmati kebersamaan dan nikmat yang telah diberikan Allah. Setelah selesai makan, kami berjalan pulang sambil bercerita dan tertawa bersama, merasa penuh berkat atas setiap momen yang telah kami jalani bersama.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ingin Kau Tahu


Aku hanya ingin kau tahu, 

saling menghargai adalah sepoi angin sejuk yang menentramkan kita dari terik mentari 

Aku hanya ingin kau tahu, 

rinduku tak seberisik kicauan burung yang begitu bersemangat di pagi hari 

Tapi, ada kalanya mungkin jadi seriuh itu

Menjadi suara yang mendominasi, bisa jadi kelak kau pun akan menggemari dan menantikannya

Selamat menikmati sisa liburanmu bersama kerabat, dan keluarga besarmu

Jika memang nanti kita ditakdirkan lagi untuk berjumpa temu dan berbagi kisah seru, boleh jadi bibirku akan menyunggingkan satu senyum simpul  sembari tersipu-sipu 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS