Diberdayakan oleh Blogger.
Seal - Gaia Online
RSS
Container Icon
Tampilkan postingan dengan label Short Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Short Story. Tampilkan semua postingan

Hatiku, Lautan yang Tak Terduga

 


Di suatu malam, aku terpikirkan tentang perasaan manusia yang layaknya samudera luas dengan berbagai macam kehidupan di dalamnya. Keberagaman jenis hewan laut, kondisi lingkungannya, maupun terumbu karang, bahkan apapun itu yang belum aku ketahui di kedalaman yang paling dalam, dingin, dan gelap di bawah sana. 


Makhluk lautan tak bisa memilih untuk menjadi apa karena takdirnya telah ditentukan oleh Sang Empunya Mayapada, begitu pula dengan perasaan manusia yang dititipkan dan tertiupkan ke dalam dada kita, semuanya telah digariskan oleh-Nya. Namun, semua itu bukan berarti kita tak diberikan kemampuan untuk mengendalikannya sama sekali. 


Sekarang, aku akan menjadi ubur-ubur dengan bentuk seperti itu. Ya, seperti apa bentuknya? Kau pasti tahu seperti apa rupanya, meskipun tidak semuanya sama karena berbeda jenis, belum lagi kalau membicarakan tentang adakah racun di dalamnya atau tidak. 



Yups, sekarang aku adalah ubur-ubur bulan, Aurelia Aurita. Nama yang cukup cantik, bukan. 


Aku ubur-ubur bulan. Tetapi, apa boleh aku menginginkan untuk menyalahi takdir dan memohon agar aku dijadikan sebagai ikan hiu? Aku, menjadi ikan hiu paus yang katanya bisa tumbuh hingga sekitar 12 meter. Waw, besar sekali. 


Apalah daya, sekarang aku adalah ubur-ubur bulan dengan tubuh yang transparan dan ukuran yang kecil, bahkan 50 cm pun tidak ada. Lalu, apa yang harus aku lakukan? 


Terima saja kodratku sebagai Aurelia Aurita. Dengan begitu, aku bisa lebih menjalankan peran dengan baik. Aku berusaha hidup dengan senantiasa bersyukur atas apa yang diberikan kepadaku, dititipkan kepadaku. Meskipun terkadang, bisa saja menginginkan sesuatu yang sedang tidak ada di hadapan mata, ya wajar saja, tapi setelah itu kembali lagi ke tempatku, tersadar dari lamunan itu. 


Rupanya aku berimajinasi cukup indah malam ini. Perasaan yang aku rasakan memang sudah diberikan oleh Dzat yang menciptakanku, apapun itu, aku seharusnya menerima dan menjalaninya. Jika perasaanku sedang baik, itu sebuah anugerah yang indah. Sedangkan perasaan yang menyesakkan itu, tahan saja dulu, sembari berdoa aku meminta pertolongan-Nya agar tetap terlindungi dan dapat melewati kepiluan itu dengan baik, tentunya dengan mengupayakan apa yang bisa aku lakukan. 


Perasaan pun dapat terpengaruh dari kondisi sekitarannya, sebagaimana aku yang menjadi ubur-ubur ini tinggal di lautan dengan kondisi yang tidak baik, tercemar. Tentu hal tersebut menjadi salah satu faktor ketidaknyamananku, kan. Lantas, aku harus bagaimana? 


Jika aku bisa pergi dari lingkungan yang seperti itu, sepertinya akan lebih baik. Syukur kalau aku menemukan tempat tinggal yang lebih layak atau bahkan jauh lebih indah dan sehat dari sebelumnya. Apakah aku hijrah dari satu lautan di bagian bumi tertentu ke bagian yang lainnya? Aku yang ubur-ubur ini hijrah? Yups, tidak masalah. Toh, demi kemaslahatan diriku. Sama saja seperti perasaan manusia yang bisa terkontaminasi oleh paparan tingkah laku maupun omongan tetangga yang tak menyehatkan jiwa maupun raga. Aku bisa memilih untuk pindah, atau menjauh dari hal seperti itu. Pilihan ada pada kita, selanjutnya bagaimana kita menyikapinya dengan bijak. 


Realitanya, di mana pun kita tinggal, akan ada saja sesuatu yang membuat tidak nyaman. Kita bisa berupaya untuk menjauh, dan tetap tinggal di lingkungan seperti itu selagi masih kuat. Menetap saja, jika hal itu lah yang bisa dijangkau kelanjutannya. Jangan memaki keadaan dan kondisi yang ada apabila kita tidak merasa nyaman. Atau, kita bisa mencoba untuk berpindah ke bumi di bagian yang lain jika memungkinkan. Yah, begitulah perasaan dan berjuta dramanya. 


Terkadang, aku menangis bukan berarti sedang bersedih. Mungkin, tanpa disadari air mata  mengalir begitu saja membasahi pipi ini. Memang bisa seperti itu? Entahlah, aku sekadar menyelami lautan dalam dan seolah dipenuhi pertanyaan "sebenarnya aku sedang apa di sini, mengapa aku belum dapat menemukan apapun?". Kosong melompong. Wah, sepertinya aku kurang berdzikir. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah. 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sebuah Goresan Kenangan

 



Aku tidak tahu mengapa sebuah titik yang ditarik menjadi garis dan garis-garis itu memencar ke segala arah, menciptakan berbagai goresan dan bentuk pola yang beragam. 


Yah, apapun keberagaman yang ada di hadapan kita, semuanya indah bila kita memandangnya seperti itu, begitu pula sebaliknya. 


Lalu, apa yang ada di benakmu sekarang?

Entahlah. 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Berikan Bintang

 


Terima kasih. Sebelumnya aku tidak tahu apa itu oksitosin, bagaimana cara kerjanya. Tapi, ketika aku membaca artikel tentang itu, semuanya mulai masuk akal. 


Aku beri bintang pesanmu yang ini. Itu sangat membantuku:

"Ini mah aku mau coba kasi input ya barangkali bisa manfaat. Jadi, sebelum merem sudah pasti baca do'anya dan bisa ditambah Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas."


"Langkah selanjutnya yakinkan diri sendiri boleh dengan berbicara secara verbal maupun non-verbal bersuyukur atas apapun yg terjadi hari itu (dijabarin tuh satu² apa aja). Setelahnya katakan juga pada diri sendiri apapun kegiatan esok hari biarlah besok (entah ada kerjaan untuk buat laporan Excel atau apapun)."


"Yang terakhir, tarik nafas 2 detik, tahan nafas 2 detik, keluarin nafas 2 detik, tahan dulu 2 detik, lanjut lagi ulangi tarik nafas 2 detik, blablabla diulang boleh sampai berapa kali pun."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Finding Strength in Faith

Happy Sunday!  Just catching up this morning with conversation and sunlight. 🌞

🌬


╭(′▽‵)╭(′▽‵)╭(′▽‵)╯ •°•°• o (^‿^✿)o


[1/12 07.10] ISTJ: When the why gets stronger, the how gets easier.

 

[1/12 08.25] INFJ: Yeayy, find ways to overcome obstacles and make things happen. 🪄🧀🧀🌈

 

[1/12 09.25] ISTJ: A flower doesn't think of competing with the flower next to it. It just blooms ✨🌸🌸💐

 

[1/12 09.46] INFJ: Blossoming with blessings.

 

[1/12 10.03] ISTJ: As you did, sweetie. 😊


A Thousand Miles 🛤🛫🌄🌅🎇🎆🌌

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Catatan dari Ayah

 


Percaya, kalau pengalaman itu adalah guru yang paling berharga? Hehe, tergantung keyakinan masing-masing sih, bagaimana seseorang bisa menyikapi, merespon, juga menilai sesuatu yang ada di hadapannya maupun yang pernah ia alami. 


Ya, kepercayaan itu juga seperti debu, sebelum ia menumpuk, itu bukanlah apa-apa. 


Awalnya, ketika pertama kali mondok aku diajarkan ayah untuk membuat list pengeluaran harian di buku tulis. Sederhana, cukup menuliskan tanggal, barang atau keperluan apa, dan menyantumkan harganya. Waktu itu rasanya biasa saja. Nggak kesal ataupun senang karena diminta ayah untuk membuat itu. 


Aku beli lauk, gorengan, air kemasan, bahkan aku beli kertas nasi seharga Rp. 100 pun aku tuliskan. Nah, pada laporan sederhana tersebut, aku tuliskan semua sesuai pengeluaranku selama dua minggu. Aku dijenguk dua minggu sekali, sudah kesepakatan ayah denganku kala itu. Setiap aku dijenguk, selain dibawakan jajan dari rumah dan keperluan sehari-hari seperti sabun dan lainnya, aku juga menyerahkan laporan pengeluaran. 


Ayah membaca dengan detail apa yang aku tuliskan, beliau tidak komentar, “kok jajannya banyak banget, ya,” atau “dikit ya, pengeluarannya.” Ayah tersenyum dan memintaku meneruskan kegiatan itu. Oke deh, aku mah, siap. 


Setiap kali dijenguk, ayah selalu menanyakan kabar dan jika ada yang perlu diutarakan, ceritakan saja, nanti ayah coba bantu berikan pencerahan atau motivasi, tentunya menyesuaikan dengan kondisiku saat itu. 



Pernah, ketika ke pondok, ayah melihatku dalam keadaan lemas, dan mungkin nampak agak pucat. Ayah bertanya perihal kondisiku, lalu aku jawab jika aku sedang mencoba melakukan ibadah puasa sunnah Senin-Kamis, karena sebentar lagi akan ada ijazah puasa tersebut dan kami wajib puasa selama setahun. 


Dengan lembut dan gayanya yang santai, ayah bilang kalau aku tidak kuat puasa ya tidak apa-apa, masih ada ibadah lainnya yang bisa dilakukan seperti berzikir. Kata ayah, jangan sampai yang sunnah itu mengalahkan yang wajib. 


“Nggak apa-apa kok, Yah. Rasanya lemes, tapi Anis masih bisa ikutin kegiatan yang ada,” kataku kemudian aku menyunggingkan sebuah senyuman yang, aduh bibirku yang kering agak pecah-pecah itu…. 


“Tuh kan, bibirnya aja retak gitu,” balas ayahku tanpa dosa. Astagfirullah auto ngakak dalam hati, deh. 


Kemudian, aku memberikan laporan keuanganku. Ayah melihatnya sebentar lalu memintaku membandingkan pengeluaranku dari minggu yang satu dengan minggu lainnya. 


“Pengeluarannya nggak beda jauh, Yah,” aku mengerjap. 


“Berarti pengeluarannya stabil. Nanti ada kalanya kalau lagi banyak kebutuhan, Anis bisa ngabisin lebih dari pengeluaran yang biasanya. Begitu pula sebaliknya.”


Aku diam sejenak, berpikir. Ih, ayahku sedang mengajarkan manajemen keuangan ya, tapi pakai metode santai mode on. Jadi nggak kerasa lagi diajarin, kan. Waah, keren juga. 


Kebetulan banget, di sekolah aku juga sudah belajar Tikom (Teknologi Informasi dan Komunikasi) bab Excel. Hehe, isinya rumus-rumus, ya. Emang boleh jadi sengitung itu. Ihhieww, ayah gak tahu kalau ujian semesteran kemarin aku juara pertama seangkatan, di mata pelajaran itu doang tapi. 


Jadi bernostalgia. Setelah nilai ujian keluar, datanya ditempel di depan kantor SMP. Tidak dituliskan nama peserta ujian, hanya menyantumkan nomor peserta UAS, deretan jawaban dan peringkat. Waktu itu aku iseng, siapa tuh yang dapat peringkat satu di mata pelajaran Tikom, eh, itu nomor ujianku. Alhamdulillah aku senang tapi posisinya aku masih mematung. Diam sambil mikir, kalau diingat-ingat, soal ujiannya juga sama persisis kayak soal latihan di buku paket. Untung sudah aku isi semua latihannya. Ustaz Java, memang boleh aku seberuntung ini? Hmm, but at all, terima kasih banyak ya Allah. Terima kasih Ustaz Java, yang sudah mengajarkanku ilmu dan memberikan soal yang sama persis dengan latihan di buku. 


•°••°•


Sesuatu yang tidak masuk akal terkadang bisa saja terjadi. Aku sudah menerima kiriman uang dari ayahku untuk kebutuhanku selama dua bulan kedepan, tapi di sisi lain, tanpa sengaja aku mematahkan gagang kacamata temanku. 


Aku nggak tahu, padahal cuma pegang gagangnya, mau coba pakai, eh, malah patah, aku pegang gagang yang satunya lagi, patah lagi. Aku bengong. Beneran cuma pegang doang, tapi dia patah begitu saja. Pelan kok, aku pegangnya. 


Karena masih jam istirahat, jadi aku langsung meminta maaf ke temanku dan lari ke luar pondok untuk pergi ke optik terdekat. Sebenarnya tindakanku itu termasuk kabur, karena keluar pondok tanpa izin. Ya sudahlah, maafkan aku yang melanggar, habisnya kepepet. Aslinya temanku biasa saja, tapi perasaanku yang tidak biasa, bawaannya kalau aku merusak barang milik seseorang meskipun itu tanpa sengaja, maunya langsung diperbaiki atau diganti saat itu juga.


Angin pegunungan berembus dengan sejuknya, setidaknya memberikan sedikit kenyamanan meskipun aku sedang galau. Duduk di samping jendela kelas memang favorit banget, deh. 


“Yah, anak Ayah sudah sekolah di Aliyah, tapi rasanya masih pengin curhat aja. Aku nggak sengaja matahin gagang kacamata Dina, uang kiriman Ayah tinggal setengah, deh.” Aku berbisik seolah sedang berbicara dengan angin yang lewat. 


Semenjak melanjutkan sekolah ke daerah pegunungan di Jawa Tengah, aku jadi tidak bisa dijenguk seperti ketika aku mondok waktu SMP dulu. 


Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Matahari semakin tinggi, tapi aku masih terpaku di tepi jendela kelas, menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dina tadi sudah bilang kalau dia nggak apa-apa, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Perasaan itu nggak kunjung hilang meskipun aku sudah berusaha memperbaiki kacamata Dina di optik. 


“Aku nggak marah kok, Nis,” ucapnya dengan senyuman yang menenangkan. 


Tapi tetap, pikiranku nggak bisa berhenti memikirkan bagaimana aku akan bertahan dengan uang yang tinggal setengah. Aku harus pintar-pintar mengatur pengeluaran sekarang. Di dalam hati, aku tahu ayah pasti akan memintaku untuk belajar dari kejadian ini.


Setiap kali aku mengingat pesan-pesan ayah, ada rasa hangat yang mengalir di dalam dada. Bukan hanya tentang uang, tapi tentang bagaimana menghadapi setiap masalah dengan tenang dan bijaksana. Terkadang, tanpa disadari, ayahku sudah mengajarkanku banyak hal. Seperti saat aku mulai terbiasa membuat laporan keuangan. Awalnya, terasa biasa saja, tapi perlahan aku mulai paham, ini bukan sekadar mencatat angka. Ayah sedang mengajarkanku disiplin, kesabaran, dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang nggak langsung terlihat, tapi terpatri dalam setiap tindakan kecil.


Dan kini, duduk di bangku Aliyah dengan pemandangan pegunungan yang indah, aku menyadari bahwa semua pelajaran itu datang dari pengalaman. Pengalaman yang mungkin dulu aku anggap sepele, ternyata adalah pelajaran penting.


Aku tersenyum kecil, di balik semua kekhawatiranku, ada keyakinan bahwa aku akan selalu bisa melewati segala tantangan. Karena, seperti kata ayah, “pengeluaran stabil itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana Anis menghadapinya dengan hati yang tenang.”


Angin pegunungan terus berembus, seolah membawa pesan dari kejauhan. Mungkin ayah benar, pengalaman adalah guru yang paling berharga.


Dan hari ini, aku kembali belajar.


•°••°•

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Warna Kehidupan, Warisan Kita


Katanya, kalau mau tahu seseorang itu lihatlah tulisannya, bukan sekadar menjustifikasi dari apa yang dikatakannya. Perkataan bisa saja tidak sengaja terucap, tanpa filter, keceplosan. Tapi tulisan, tentu ia melewati beberapa tahapan. 

Proses menulis itu melibatkan tahapan yang matang, mulai dari merencanakan ide, menuangkannya menjadi sebuah konten, kemudian dilanjutkan dengan proses editing untuk memperbaiki dan menyempurnakan tulisan. Melalui proses ini, seseorang dapat mengungkapkan pemikiran dan pandangannya secara lebih terstruktur dan terperinci. Dengan demikian, membaca tulisan seseorang dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang kepribadian, nilai, dan cara berpikir yang dimilikinya.

Oh ya, kamu tahu, jika aku menuliskan sesuatu dan mengabadikannya di sini, proses editingnya itu berlaku selamanya. Kenapa? 



Aku sering membaca ulang apa yang aku tuangkan di sini, kemudian merasakan ada kejanggalan diksi, maksud, maupun kekhilafan lainnya. 

Lalu, bagaimana nasib Daun Keberkahan ini? Di dalamnya random sekali. Ya, betul-betul beraneka ragam. Gaya bahasanya pun terkadang berbeda-beda. Dan, apakah tulisan-tulisan ini memiliki aura tertentu? Entahlah, bisa jadi mereka hanya menyesuaikan dengan kondisi ketika aku menuliskannya. 

Awalnya, Blessed Life adalah sebuah keisengan yang terencana. 

Iseng karena sekadar bermain-main, menganggur, tapi di lain sisi pun sudah ada rencana akan memberikan bumbu apa saja di dalamnya. Ya, di masakan Blessed Life ini. 

Lalu, sebenarnya cara berpikir yang seperti apa yang dimiliki oleh penulisnya? Pemikiran yang beragam, yang masih butuh untuk terus diperbaiki, diberikan pembaharuan. Out of the box, karena terkadang kehidupan adalah sesuatu yang di luar dari apa yang direncanakan.

Mungkinkah jutaan kata yang tersimpan di sini dapat mendorong seseorang untuk melihat masalah dari sudut pandang baru dan mempertimbangkan pendekatan yang tidak biasa atau tidak diharapkan? 

Bagaimana dengan gagasan-gagasan atau solusi yang ditawarkan di sini? Hmm, mereka melibatkan metode atau cara berpikir yang tidak lazim atau biasa saja? 

Yah, se-random itu. Terkadang menggunakan analogi yang tidak biasa, menggabungkan disiplin ilmu yang berbeda, atau memecahkan masalah dengan cara yang tidak terduga. Semua memiliki sejarahnya masing-masing. 

Yuk, abadikan sejarah kita, apapun bentuknya, bagaimanapun caranya. Kita wariskan yang baik-baik saja. 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Eksistensi Yang Bermakna

 


Di tengah hamparan hijau perbukitan yang megah, terletak sebuah desa kecil yang dikenal sebagai Desa Surya. Di desa itu, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Rama adalah seorang yang sehat secara fisik, tetapi di dalam dirinya terdapat kekosongan yang sulit untuk dijelaskan.

Setiap pagi, Rama bangun dengan pikiran yang kacau. Meskipun dia memiliki pekerjaan yang stabil dan keluarga yang menyayanginya, tetapi ada sesuatu yang terasa kosong dalam hidupnya. Dia merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas.

Suatu hari, Rama bertemu dengan seorang tetua bijak yang mengajarkan kepadanya tentang pentingnya mencari makna hidup yang sesuai dengan dirinya. Tetua itu menjelaskan bahwa manusia yang sehat bukan hanya yang fisiknya kuat, tetapi juga yang memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan.

Tetua menyapa Rama dengan suaranya yang sedikit parau, "Hai, anak muda. Apa yang sedang kamu pikirkan dengan serius?"

Kening Rama masih terkerut, "Pak Tetua, saya sedang memikirkan makna hidup saya. Saya merasa seperti hidup hanya berputar-putar tanpa arah yang jelas."

"Sepertinya saya memahami perasaanmu, meskipun saya tidak tahu persisnya seperti apa,karena hal itu hanya dirimu yang bisa merasakannya." Pak Tetua menghela napas, "Penting bagi kita untuk memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan. Apa yang kamu cari dalam hidupmu, Rama?"

Rama menatap kosong, "Saya tidak yakin, Pak Tetua. Selama ini saya hanya hidup menuruti apa yang diharapkan orang lain."

"Hidup bukan hanya tentang mengejar ekspektasi orang lain, Rama, tetapi juga tentang menetapkan cita-cita yang ingin kita kejar."

Dengan tekad yang kuat, Rama mulai memproyeksikan dirinya ke arah yang ingin dia capai. 

***


Lagi-lagi Rama duduk di bawah pohon tua yang rindang, merenungkan langkah-langkah selanjutnya dalam perjalanan hidupnya. Maya, sahabatnya yang melihat Rama dalam keadaan yang serius itu menghampirinya. 

"Hai, Rama. Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Sore itu begitu hangat, angin sepoi-sepoi menerbangkan dedaunan yang gugur, "Aku sedang merenungkan tentang makna hidupku. Beberapa hari yang lalu aku sudah mendapatkan pencerahan dari Pak Tetua dan menjalani kehidupanku dengan baik, tapi sepertinya perasaan aneh akhir-akhir ini muncul lagi."

"Ah, begitu. Sebelumnya aku pernah mengalami hal serupa, Rama. Tapi kemudian aku menyadari bahwa kita harus menciptakan makna hidup kita sendiri, sesuai dengan apa yang kita percayai dan kita inginkan."

"Ya, kamu benar, Maya. Aku merasa seperti sekarang ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengambil kendali atas hidupku sendiri. Aku ingin memiliki tujuan yang jelas dan melakukan segala sesuatu dengan maksud yang bermakna."

Tak lama kemudian, datanglah seorang tetua bijak yang tempo hari Rama temui sebelumnya, menghampiri mereka dengan senyuman yang ramah. Entah takdir apa yang telah digariskan semesta, tapi mungkin seperti itu lah jalannya. 

"Hai, anak-anak muda. Apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Kami sedang berbicara tentang mencari makna hidup, Pak Tetua. Rama baru saja menyadari pentingnya memiliki tujuan hidup yang memberikan arti dan kepuasan," kata Maya. 

Tetua duduk di samping Rama, "Mengetahui tujuan hidup adalah langkah pertama menuju eksistensi yang bermakna. Tetapi ingatlah, perjalanan mencari makna hidup itu sendiri adalah bagian dari keseluruhan proses."

"Terima kasih, Pak Tetua. Saya akan terus berjuang untuk menemukan makna hidup saya dan menjalani setiap langkah dalam perjalanan ini dengan penuh kesadaran."

Mereka bertiga duduk di bawah pohon tua itu, saling bertukar cerita dan pengalaman, serta memberikan dukungan satu sama lain dalam perjalanan mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan langit yang menorehkan cahaya jingga di atas mereka, mereka menyadari bahwa setiap langkah kecil dalam perjalanan itu adalah bagian dari kehidupan yang bermakna.

Di tengah perjalanan mereka untuk mencari makna hidup yang sesungguhnya, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu bertemu dengan berbagai macam karakter yang mengilhami mereka untuk lebih mendalam memahami esensi dari eksistensi yang bermakna.

Mereka berpapasan dengan Jendra, tetangga Maya, seorang pemuda muda beberapa hari ini yang tampak lesu dan kehilangan semangat dalam setiap langkahnya. Rama memperhatikan Jendra itu dengan keprihatinan yang mendalam. Seperti berkaca dengan diri sendiri. 

Rama mencoba membuka percakapan, "Maaf, tetapi saya tidak bisa tidak bertanya. Apakah ada yang mengganggumu, Jendra?"

Pemuda itu menggelengkan kepala, "Tidak ada yang bisa saya sebutkan. Rasanya kosong dan tanpa arah."

Maya menduga jika Jendra sedang merasakan apa yang disebut sebagai gangguan neurotik. Ah, apakah hal-hal semacam ini sedang viral, pikir Maya. 

Neurotik mengacu pada keadaan seseorang yang menghadapi tantangan psikologis. Gangguan neurotik bisa muncul tanpa penyebab fisik dan tidak memengaruhi persepsi.

Secara faktual, gangguan neurotik cenderung terkait dengan kecemasan atau pikiran berlebihan daripada gangguan mental. Namun, tanpa pengobatan medis, masalah ini bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan.

***

Kemudian, di perjalanan menuju warung lesehan, mereka bertemu dengan seorang pria keras kepala yang terus-menerus memaksakan pandangannya kepada orang lain tanpa memperhatikan perspektif mereka.

Pria itu berkata dengan nada suara tinggi dengan lawan bicara di hadapannya, "Saya tahu apa yang terbaik untuk semua orang. Saya hanya ingin membantu mereka melihat kebenaran."

Wanita di hadapan pria itu menjawab, "Tapi, apakah Anda pernah berpikir bahwa setiap orang memiliki pandangan dan pengalaman yang berbeda? Memaksakan pandangan Anda kepada orang lain bisa jadi tidak bijaksana."

Maya ingin sekali angkat bicara, tetapi ia khawatir tindakannya terlalu mencampuri urusan orang lain. 

Rama, Maya, dan Pak Tetua yang tak sengaja mendengar percakapan itu memantau dari kejauhan. Memastikan keadaan, jika terjadi hal yang tidak diinginkan baru mereka mengambil tindakan. 

Beberapa menit kemudian kondisinya nampak sudah aman. Pemuda keras kepala dan wanita tadi sepertinya sudah mendapatkan jalan keluar.

Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan makna hidup mereka sendiri. Memaksakan pandangan atau kepentingan kita kepada orang lain bisa membuat mereka merasa terkekang dan tidak dihargai.

Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang berbeda-beda. Memaksakan makna hidup kita kepada orang lain adalah tindakan yang melawan sunnatullah.

Entah mengapa seorang wanita paruh baya yang duduk di samping meja lesehan Rama malah berbagi kisahnya pada Rama, Maya, dan Pak Tetua, "Saya hanya ingin orang-orang di sekitar saya bahagia. Kebahagiaan mereka adalah segalanya bagiku." 

Ah, wanita yang tampaknya selalu menuruti kehendak orang lain, tanpa memperhatikan keinginan dan aspirasinya sendiri. "Mohon maaf sebelumnya, bagaimana dengan kebahagiaan dan aspirasi Anda sendiri? Apakah Anda tidak merasa penting untuk menghargai keinginan dan pemikiran Anda sendiri?" Rama menyeruput kopi hitam yang ia pesan dengan sedikit gula itu. 

Maya memandang wajah wanita itu dengan tatapan yang dalam, "Memperhatikan kebahagiaan orang lain adalah hal yang baik, tetapi tidak boleh mengorbankan kebahagiaan dan makna hidup kita sendiri. Setiap individu memiliki hak untuk mengejar impian dan tujuan mereka sendiri."

Wanita itu sangat terbuka, ia mencerna dan menerima apa yang Rama dan Maya katakan kepadanya. Berharap semua itu bisa menjadi salah satu jalan keluar dari apa yang ia alami. 

"Janganlah tunduk pada tekanan dan harapan orang lain jika itu bertentangan dengan apa yang Anda inginkan dan percayai. Jika Anda tidak menetapkan makna hidup Anda sendiri, Anda akan terombang-ambing dalam kehampaan dan kebingungan." Tetua menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. 

Wanita itu meneteskan air mata, menyadari bahwa dia juga harus memperhatikan keinginan dan kebahagiaannya sendiri.

***


Di bawah langit malam dan suara jangkrik yang menghiasi malam mereka, Rama, Maya, dan Tetua bijak itu belajar bahwa setiap individu memiliki perjuangan dan tantangan masing-masing dalam mencari makna hidup yang sesungguhnya. Dengan saling mendukung dan memahami, mereka berharap dapat mencapai eksistensi yang bermakna dan memperjuangkan kebahagiaan serta pemenuhan diri mereka sendiri.

Sembari duduk santai di warung lesehan mereka menikmati kudapan sederhana yang tersedia. 

Rama teringat akan kata-kata dari Montaigne, "Saya teringat kata-kata seorang filsuf yang pernah saya dengar. Dia berkata bahwa, aku takut mata kita lebih besar dari perut kita. Dan rasa ingin tahu kita lebih besar dari daya pemahaman kita. Segalanya kita pahami, tapi kita tidak mendapatkan apapun kecuali angin." 

Maya menghentakkan jemarinya dengan antusias di atas meja, matanya berbinar-binar.  "Ini mungkin menarik. Dewasa ini, kita ingin tahu segalanya, khususnya difasilitasi oleh media-media digital. Rasanya, kita telah mengetahui begitu banyak hal berkali-kali lipat, tapi seperti angin. Lalu, manfaatnya apa?"

"Kita tidak pernah menghitung, informasi ini gunanya untuk apa, bermanfaat atau tidak. Kalau dalam bahasa agama, maslahat atau tidak. Yang lebih tinggi lagi, berkah atau tidak. Itu lebih luas lagi. bahwa terlalu banyak pengetahuan tanpa kebijaksanaan akan membuat kita seperti angin, tidak memberikan manfaat yang nyata dalam hidup kita. Apakah Anda setuju dengan itu, Pak Tetua?"

Tetua tersenyum, "Itu adalah pelajaran yang dalam, Rama, Maya. Terlalu banyak informasi tanpa refleksi dan penghayatan akan membuat kita kehilangan arah. Kita harus bijak dalam memilih apa yang benar-benar bermanfaat bagi kita, dan tidak terlalu banyak membebani diri dengan pengetahuan yang tidak relevan."

Rama mengangguk, merenungkan kata-kata tersebut. "Memang, Pak Tetua. Saya harus lebih selektif lagi dalam memilih informasi yang terserap dan mencari pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi perkembangan diri saya."

"Betul sekali, Rama. Kita harus mengingat bahwa mata kita lebih besar dari perut, artinya tidak semua informasi yang kita serap dapat kita cerna dan manfaatkan dengan baik. Kita perlu memilih dengan bijak dan fokus pada hal-hal yang benar-benar relevan untuk meningkatkan kualitas hidup kita."

Rama tersenyum, merasa semakin yakin dengan langkah-langkahnya ke depan. Dengan bimbingan dari Tetua dan pelajaran yang ia dapat berbagai hal yang ditemui, dia siap untuk memilih dengan bijak dan mengejar makna hidup yang sesungguhnya.

Dari situlah, Rama mulai mengontrol hidupnya sendiri dengan lebih sadar. Dia menciptakan rencana-rencana dan cita-cita yang ingin dia wujudkan. Setiap langkah yang diambilnya sekarang memiliki tujuan yang jelas, dan dia tidak lagi terpenjara oleh masa lalu atau menerima situasi tanpa perlawanan.

Rama juga belajar untuk mengungkapkan nilai-nilai, pengalaman, dan sikapnya dengan lebih jelas kepada orang-orang di sekitarnya. Dia tidak lagi merasa terkekang oleh ekspektasi orang lain, tetapi lebih fokus pada apa yang dia percaya dan ingin capai dalam hidupnya.

Menjadi manusia yang sehat secara eksistensi bukan hanya tentang fisik yang prima, tetapi juga tentang memiliki tujuan hidup yang memberikan makna dan kepuasan. Sebuah eksistensi yang bermakna adalah hasil dari kesadaran, kontrol diri, dan kemauan untuk berjuang mewujudkan apa yang diinginkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bestie Emang Njajan

Hari sudah semakin sore, tapi aku tidak bisa melihat momen syahdu terbenamnya dedek mentari. Sepetinya dia terlalu besar untuk sebutan itu. Bagaimana kalau kakak mentari? Yah, bagaimanapun, aku menyukainya ketika dia mulai menampakkan dirinya maupun saat ia tenggelam di ufuk timur. 

Aku iseng mencuci beberapa pasang pakaian. Aku berharap bisa menyelesaikannya dengan cepat, tapi ternyata waktu terus berlalu tanpa ampun, dan akhirnya aku telat. Telat mengaji rutinan di hari Senin bakda maghrib. 

Riri membuka pintu kamarku, “Ra, mau ngaji enggak?”

Entah mengapa rasanya senang, “Ih, pas banget deh. Emang dasar bestie keterlambatan. Emang boleh kita sekompak ini?”

Riri mengangguk sambil tersenyum. Dia seperti matahari yang memberikan sinar kehangatan pada setiap momen., “Helleee. Udah buruan.” Gadis Blora itu mencangking kitabnya, “Aku tunggu di depan gerbang, ya.”

Sesampainya di depan rumah kiai, kami menunduk-nunduk dan jalan mengendap-endap lewat samping mobil kiai. Syukurlah, masih ada ruang untuk kami lewat dan masuk ke dalam, biasanya ramai. 

Setelah mengaji di kediaman kiai, aku dan Riri duduk bersama di angkringan pinggir jalan, masih dalam suasana khidmat setelah menyimak pelajaran tentang penyucian diri. Kami memesan beberapa jajanan favorit untuk merayakan kebersamaan dan nikmat yang telah diberikan Allah.




Sambil mencicipi aci tusuk, aku berkata, “Tau gak, Ri? Aku selalu merasa begitu tenang setelah mengaji. Rasanya hatiku jadi lebih lapang dan penuh dengan kebaikan.”

Riri tersenyum simpul, “Iya, betul banget, Ra. Mengaji itu seperti membersihkan hati dan pikiran kita dari kekhilafan-kekhilafan kecil yang pernah diperbuat. Sungguh nikmat yang tidak bisa diukur dengan apapun.”

Sambil menikmati sate mie, aku menambahkan, “Kita harus bersyukur atas kesempatan ini, Riri. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk belajar agama secara langsung dari seorang kiai.”

Riri mengangguk setuju, “Bener banget, Ra. Kita harus selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Baik itu kesempatan belajar agama, keberadaan sahabat seperti kita, atau pun jajanan enak seperti yang kita nikmati sekarang.”

Kami melanjutkan makan dengan penuh rasa syukur dalam hati, menikmati kebersamaan dan nikmat yang telah diberikan Allah. Setelah selesai makan, kami berjalan pulang sambil bercerita dan tertawa bersama, merasa penuh berkat atas setiap momen yang telah kami jalani bersama.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bagus

Bagus: Lah aku enggak dijajanin? 

Bela: Enggak. Kan kamu yang ngejajanin. 

Bagus: Jajanin pakai uang kamu, ya? 

Bela: Patungan. 

Bagus: Bawa jajan aja dari warung. 

Bela: Abis acara bawa bekal, dah. 

Bagus: Bekal yang banyak. 

Bela: Ngerampok. 

Bagus: Entar aku bawa plastik sampah yang besar. 

Bela: Mantaf, tafff. 

Bagus: Udah gak random lagi? 

Bela: Nggak. Aku mah cepet sembuhnya. 

Bagus: Kirain masih random. Takut aku. 

Bela: Takut kenapa? 

Bagus: Takut kena semprot. 

Bela: Ooh, aku yang nyemprot, gitu? 

Bagus: Hiyaahh. 

Bela: Asdfghjklqwertyuiop. Red Flower. Red Day. 

Bagus: Sunday, Minggu. Monday, Senin. Tuesday, Selasa. Wednesday,  Rabu. Thursday, Kamis. Friday, Jumat. Sabtu, Saturday. Sunday  Minggu (ia menyanyikan sebuah lagu yang tak sendu).

 


______ •°~

Saat suaramu memang tak begitu bagus, tapi kenyataannya itu adalah sesuatu yang bagus, karena membuatnya tak bisa mengehentikan gelak tawanya. 

Seolah ada yang menggelitik, tapi apa. Tunggu, mungkinkah suaramu itu yang berhasil menggeletar dan masuk ke ruangan di dalam sana? 

Tapi itu tidak mungkin, kan? Suara hanya gelombang bunyi yang tidak dapat bergerak sendiri ke dalam suatu ruangan. Mungkin saja itu hanya sensasi pikiran atau perasaan yang tidak terduga. 

Baiklah, jikalau itu memang bukan apa-apa, kenyataannya itu adalah sebuah "apa".

Terima kasih banyak ya, Bagus. 


Ya, Bagus. Bukan namanya yang bagus, bukan pula Bagus namanya. Baginya, itu seperti sebuah merek kapur. Mungkinkah itu kapur ajaib di film animasi Chalk Zone? 




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setangkai Bunga

 


Bunga purple sapphire sendiri sebenarnya bukan benda atau entitas dengan filosofi yang mapan seperti batu permata atau simbol tertentu. Namun, jika kita mengaitkannya dengan filosofi yang umumnya terkait dengan bunga dan batu permata, warna ungu sering kali dikaitkan dengan kemewahan, kebijaksanaan, dan spiritualitas.

Purple sapphire sebagai batu permata ungu mungkin dianggap sebagai simbol kekuatan spiritual dan ketenangan pikiran. Warna ungu dalam banyak budaya juga dikaitkan dengan kedalaman, kebijaksanaan, dan keanggunan.


Bunga, aku senang jika menyimbolkan seorang wanita sebagai setangkai bunga. Entah karena aku yang menyukainya atau karena terpikat dengan keindahannya. 

Wanita yang tangguh dan indah, mirip dengan bunga yang kukuh di hadapan tantangan dan memancarkan keindahan dalam kelembutan. Seperti bunga yang tetap tumbuh di tengah badai, wanita tangguh memiliki keteguhan hati dan semangat yang tak tergoyahkan di dalamnya. Keindahannya bukan hanya terletak pada penampilan fisik, tetapi juga dalam kelembutan sikap, kebijaksanaan, dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan. Sebagaimana bunga yang mempesona dengan warna-warna dan bentuknya, begitu pula wanita yang mampu menyinari dunia dengan kepribadian yang bersinar dan kekuatan yang mendalam.

Dia adalah wanita yang seperti bunga, mekar dengan kebaikan dan kelembutan. Dalam setiap langkahnya, dia membawa aroma kesabaran dan kepedulian. Seperti bunga yang merangkul sinar matahari, dia menyebar kehangatan kepada orang-orang di sekitarnya. Kecerdasannya bersinar seperti embun pagi, memberikan kejernihan dalam setiap situasi.

Tangguhnya tidak hanya terlihat dalam senyumannya yang tabah di tengah kesulitan, tetapi juga dalam tekadnya untuk terus tumbuh, belajar, dan berkembang. Seperti akar bunga yang mencari jalan di tanah untuk mencapai sumber nutrisi, dia tekun mengejar impian dan tujuannya.

Namun, keanggunannya tidak membuatnya rapuh. Sebagaimana bunga yang melambangkan keindahan yang tetap utuh meski diterpa badai, wanita ini memiliki ketahanan yang mempesona. Dia tahu bagaimana menjaga keunikan dan integritasnya, bahkan ketika dunia berusaha membentuknya.

Dia seperti kelopak bunga yang mengembang dengan keanggunan, menghadapi cobaan hidup sebagai batang bunga yang tegar. Ketangguhannya bukanlah bentuk kekerasan, melainkan kekuatan batin yang mampu menghadapi badai dengan ketenangan. Kelembutannya bukanlah kelemahan, tetapi keindahan dalam memberikan kasih sayang dan dukungan kepada orang-orang di sekitarnya.

Seperti bunga yang mekar di berbagai warna, dia membawa keberagaman dan keunikannya ke dalam dunia. Keindahan karakternya menciptakan harmoni, sebagaimana bunga yang menarik perhatian dan memancarkan aura positif. Keberaniannya untuk tumbuh di tengah tantangan mencerminkan tekadnya untuk mencapai potensi penuhnya.

Wanita ini adalah pembawa harapan, mirip dengan bunga yang mekar di musim semi setelah musim dingin yang membeku. Dia tidak hanya menghadapi masa-masa bahagia, tetapi juga melalui kesedihan dan tantangan dengan kepala yang berusaha ia tegakkan, namun bukan sebagai ajang kesombongannya. Keelokannya tidak hanya terlihat, tetapi juga terasa dalam sentuhan hatinya yang penuh empati dan kepedulian.

Wanita ini adalah karya seni alam yang hidup, mengingatkan kita bahwa kecantikan sejati terletak dalam perpaduan kekuatan dan kelembutan, dan bahwa melewati segala musim kehidupan dengan martabat adalah tanda dari kebesaran jiwa yang sesungguhnya.

Wanita yang seperti bunga ini adalah keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara ketangguhan dan keindahan. Dia adalah bukti bahwa kecantikan sejati tidak hanya ada di permukaan, melainkan juga dalam kebijaksanaan, kebaikan, dan kemampuan untuk melewati berbagai musim kehidupan dengan kemuliaan dan kelanggengan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Minggu

 بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


"Maah... Ba Anis mau pulang...."
"Balek ajaa balekkk," kata Wulan.

Sepulang mengajar sore, aku langsung siap-siap. Ambil charger, sedia payung sebelum hujan (meskipun nggak yakin juga bakalan turun hujan). Bawa air putih juga, barangkali tiba-tiba haus di jalan. Ok, siap. Berangkat.

Keluar gerbang asrama, aku memperhatikan kendaraan yang jalan sebelum menyebrang. Malas aku, kalau memutar jalan lewat jembatan transjakarta, lebih baik nyeberang lewat pintu bawah halte. 

Setelah sampai di halte, beberapa menit kemudian busnya tiba. Alhamdulillah tidak perlu menunggu lama, dapat tempat duduk pula. Nikmat mana lagi yang aku dustakan? Mau membatin "Alhamdulillah, rezeki anak shalehah," eh tapi nggak pede juga. Jarang soalnya, shalehah mode on tapi kerjaannya manjatin pager.

Pukul 18.22 WIB aku tiba di Halte Juanda. "Udah di Juanda," pesanku via chat di grup whatsapp keluarga. 

"Tunggu di Manggarai," balas Idan. 

Tidak lama kemudian kereta datang. Syukurlah dapat tempat duduk. Sepertinya kepalaku migrain lagi. Nggak begitu pusing, tapi cukup membuatku bengong sepanjang perjalanan. Tanpa sadar sudah di Cikini. Aku terperanjat, untung saja belum terlewat. Bisa gawat kalau kebablasan seperti sebelumnya.

"Kak, di sebelah mana? Yang gerbong awalan apa akhiran?" tanyaku via video call.

Aku berjalan seraya menatap layar handphone. "Pojok yang awal," kata Idan. 

Seseorang dengan hoodie hitam melambaikan tangannya, panggilan video kami pun berakhir.

"Assalamualaikum ya akhi...."

Ia meraih tanganku,  "Wa'alaikumussalam." Adik yang baik. Siapa sangka lelaki bongsor ini dulunya adalah adik kecil imut yang menggemaskan.

Aku dan Idan ndopok. Semilir angin bertiup, melambaikan jilbab abu-abu silver yang aku kenakan. Kami berbincang-bincang, aku menunggu kereta tujuan Bekasi sembari selonjoran. 

Ah, malam yang cukup melelahkan, kepalaku masih sedikit pening, tetapi sudah lebih baik dari yang tadi. Karena tidak dapat tempat duduk, kami berdiri sampai stasiun Bekasi. Setibanya di Bekasi, kami berjalan kaki ke tempat parkiran motor. 

"Mba Anis tunggu sini aja," kata Idan, kemudian ia masuk ke tempat parkiran motor di sebelah stasiun. Aku berdiri di luar memperhatikan ibu-ibu penjual masker. Karena tidak sadar akan keberadaan adikku, Idan melambaikan tangannya tepat di hadapan wajahku. 

"Eh, ojeknya udah ready," jawabku seolah tanpa dosa. 

"Huh, dari tadi kek. Ayo naik." Aku membonceng di belakangnya deh. 

Ya, malam minggu di jalanan naik motor dan sepertinya akan turun hujan. 

"Dan, di rumah udah ujan belom, sih? Aku mencondongkan kepalaku dan berbicara di dekat telinganya. 

"Ah, Asri mah kaga ujan."

"Tapi waktu itu di medsos Bekasi sudah turun hujan, kok."

"Iya itu Bekasi, bukan Wisma Asri."

"Lah, kok bisa?"

"Hujannya cuma di Bekasi, tapi pas bagian Wisma Asri air hujannya udah abis." Bisa gitu. Ada-ada saja. 

Tiba-tiba tetesan air langit membasahi telapak tanganku. "Bang, hujan tauk. Nih gerimis tipis-tipis." Suka random memang, kadang dia kupanggil kakak, di lain waktu abang. Sekeluarnya kata yang keluar dari mulutku saja. Iya, begitu. 

"Iya hujan, tapi ini kan Summarecon. Sampe Asri airnya udah abis, dah."

"Bang, ada kaga ye, orang kehujanan di motor pake payung? Abang bawa jas hujan nggak?"

"Ada. Tanggung, udah terobos aja." Ah, aku keluarkan saja payung yang ada di dalam tas. 

"Eh iya, susah kebukanya ya, pakai payung," Karena kecepatan laju motor, anginnya semakin kencang, jadi susah membuka payungnya. 

"Nggak enak tauk, air hujannya ngenain kepala. Jadi bletak-bletak." Tetesan air hujan semakin deras. Aku hanya menutupi kepala dengan payung yang tidak terbuka lebar. Nggak mau mekar payungnya. Suek bener, dah. 

Sesampainya di Duta Harapan air hujannya mulai menghilang. "Kan, ini aja udah di Duta, sampe Asri air hujannya udah abis bakalan." Aku malah ikutan setuju dengan asumsi si Idan. Kok bisa seperti itu? 

Lah, tiba-tiba langitnya nggak terima atau bagaimana, ya. Hujannya semakin deras, mau menunjukkan jati dirinya, kalau dia punya kekuatan dan tidak selemah itu. "Dan, jalannya jangan kenceng-kenceng. Ba Anis mau pake payung nih, kalau kecepetan dia kuncup, susah kebukanya." Alhasil, beneran dong, kita naik motor di bawah payung yang menyangga air hujan. Eh, tapi kok rasanya jadi seneng gitu, ya. Beneran deh, kayak ada sensasi yang membahagiakan, gitu

"Kak, nggak usah dipegangin payungnya. Nyetirnya dua tangan aja."

"Lah, payungnya nutupin mata." Seketika itu kami tertawa. 

Payungnya agak aku naikkan sedikit posisinya dan aku memegangi erat kerangka besinya agar tidak terbang. 

Sesampainya di depan rumah aku cekikikan, "Maah, ini anaknya pulang naik motor pakai payung." Ibuku hanya tersenyum. 

"Assalamualaikum Mamah...," aku meraih tangannya yang agak keriput itu. "Di rumah sebelumnya sudah hujan belum, Mah?" tanyaku. 

"Wa'alaikumussalam. Tadi siang hujan kok, pas Mamah ngaji." Ibuku biasa mengikuti pengajian mingguan di hari Sabtu. "Lumayan deras kok, Mamah lihat dari masjid, hujan."

"Assalamualaikum." Aku masuk ke dalam rumah, di kursi kasir warung aku menyalami tangan ayahku. "Papah... ini anaknya pulang kehujanan naik motor, tapi pakai payung."

"Wa'alaikumussalam. Anis sehat?" Alhamdulillah sudah hilang migrainnya. Ayahku pun sehat. Senangnya keluargaku dikaruniai rezeki kesehatan. 

Niat awal mau beli mie tek-tek, karena hujan,  tidak jadi, deh. "Mah, masih ada nasi, Mah?" Laper euy, tadi sore sebelum perjalanan baru makan roti gulung keju Aoka. 

Nasi masih ada, hanya saja lauknya yang tinggal sedikit. Sayur asemnya tinggal kuah beberapa sendok doang paligan, tuh. 

"Kak, Ba Anis mau goreng nugget, mau juga?" ia yang sedang sibuk membuka bungkus paketan manggut-manggut saja. 

"Mau bikin nasi goreng nih, sekalian nggak?" aku menyodorkan senampan kecil nasi putih yang akan kumasak, "Makannya banyak nggak, mau digoreng semua nih, nasinya?"

"Iya, gak papa." ia sedang memasang keran air di kamar mandi. 

Dengan bumbu seadanya, dan dua buah cabai saja (aku tidak begitu suka pedas) aku buat nasi goreng, dan di kompor satunya aku menggoreng nugget. 

Karena sibuk mengaduk-aduk nasi, aku lupa mengangkat gorengan dari minyak panas. Yah, nuggetnya gosong deh. 

"Kak, nasgornya dah ready, tapi nuggetnya sebagian gosong, nih."

"Nggak apa-apa. Dipotong-potong aja nuggetnya terus campurin ke nasgor, biar nggak keliatan banget gosongnya."

"Mau makan barengan nggak?" tanyaku seraya menyiapkan piring yang agak besar. 

"Iya."

Syukurlah, setelah kehujanan di perjalanan, lalu makan malam bersama, rasanya nikmat sekali. Entah karena memang sedang lapar, atau memang karena keberkahan dari kudapan yang disantap bersama. Yang jelas, setiap harinya pasti akan ada kenikmatan yang Allah berikan kepada setiap hambanya selama ia mensyukurinya. Alhamdulillah 'ala kulli hal

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Alunan Melodi-Melodi Kesederhanaan

 


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Katanya, dengan kesederhanaan hidup kita akan dapat menemukan jati diri. Ada yang suka minum teh, ada yang suka kopi, walaupun berbeda tetapi tetap satu meja. 

Meskipun memiliki preferensi yang berbeda, kebersamaan di atas meja yang sama menunjukkan keragaman sebagai kekayaan hidup. 

Dari cangkir-cangkir itu, kita berbagi cerita, tawa, dan kehangatan, mengikat ikatan yang menguatkan makna hidup ini. Ya, bagaimana memberikan arti pada hidup yang singkat ini. 

Dalam kesederhanaan, kita menemukan jati diri yang sesungguhnya, yang tidak sekadar terikat pada minuman pilihan yang terhidang di hadapan mata, tetapi ini juga tentang ikatan batin yang kita jalin dengan sesama.

Jati diri yang timbul dari kesederhanaan bukan berarti tak berkualitas, banyak dari mereka yang tumbuh menjadi produk hebat dan unggul dari kesederhanaan. 

Di balik tirai kesederhanaan, tersembunyi keajaiban yang tak terperikan. Seperti halnya air yang mengalir di lembah yang tenang, jati diri yang muncul dari kesederhanaan itu menyerupai kejernihan yang memikat hati. 

Mereka yang tumbuh dari keadaan yang terbatas, dengan cermat mengukir karya-karya yang abadi, menandai jejak keberadaan mereka di kancah kehidupan ini. 

Dalam setiap langkah yang mereka pilih, terpampang bukti-bukti gemilang tentang ketekunan dan ketulusan hati yang menjadi landasan dari pengejawantahan mereka.

Kesederhanaan bukanlah pangkal rendah, melainkan panggung yang menjunjung tinggi kemurnian jiwa dan daya cipta yang tiada tara.

Semakin sederhana seseorang, semakin sederhana pula ekspektasinya pada kebahagiaan. 

Sederhana bukan berarti minim, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang membebaskan jiwa dari belenggu ambisi tak terbatas.

Dengan ekspektasi yang lebih sederhana, mereka mampu menemukan kebahagiaan dalam keadaan apapun, terhubung dengan inti kehidupan yang sejati.

Dalam kesederhanaan, terdapat kebebasan untuk menikmati kehidupan tanpa beban, merangkul setiap momen dengan kedamaian batin yang tak ternilai. 

Dari sana, muncul kebijaksanaan untuk mengenali keindahan yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan kesederhanaan, menghadirkan kedamaian yang tak tergoyahkan di dalam jiwa.


#alhamdulillah 

#liveourlife

#dinein 

#drink 

#blessedlife



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perihal Waktu dan Penggulirannya

 


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Katanya, yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detiknya. 

Kawan, apakah engkau juga merasakan bahwa, banyak yang mengatakan perihal waktu yang akan mengubah segalanya? 

Percayalah, tidak ada yang akan berubah jika hal tersebut tidak berangkat dari dirimu sendiri, engkau sendiri yang tidak mengubahnya. 

Ya, sebagaimana waktu yang tidak bisa senantiasa menyembuhkan, karena rasa sakit atau kepedihan itu terkadang muncul kembali seiring bergulirnya waktu. 

Adakalanya ia harus dipaksa untuk dapat sembuh. 

Maka, lakukanlah hal-hal  baru yang dapat mengalihkan duniamu, bukan berharap kepada sang waktu yang engkau percaya akan dapat menghapuskan jejak-jejak kepiluanmu. 

Kawan, apakah enggkau menyadari bahwa kita sebenarnya sekadar menunggu waktu dan penggulirannya? 

Perihal siapa yang mendapatkan atau merasakan momen kebahagiannya terlebih dahulu, bergulat dengan penderitaannya dan berjuang akan hal itu lebih dulu, dipersatukan dengan pasangan hidupnya, sukses lebih dulu, maupun bertemu dengan Sang Pencipta lebih dulu. 

Memang, tidak perlu membandingkan, tidak perlu resah maupun menjadikannya ajang berbangga. Sebab, semua hanya menunggu waktu habis usianya. Nikmati saja apa yang ada, apa yang dititipkan oleh-Nya kepada kita sekarang.

Maksimalkan apa yang ada dan senantiasa bersyukur atas segala. Sebab, semua yang ada tidak akan lepas dari genggaman-Nya, takdir-Nya yang agung, yang tidak selayaknya kita pertanyakan mengapa dan bagaimana.

Tetaplah semangat, karena setiap rintikan hujan yang jernih dan syahdu, berawal dari mendung yang gelap, legam, dan penuh lara. 

Maka, bersandarlah dan memohonlah kepada Tuhanmu.

Percayalah, semua yang ada sesungguhnya adalah kebaikan, tergantung bagaimana kita mencerna hikmah dan merasakan keberkahannya.

Wallahua'lam


__ Inspired by various sources °•°


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Online dan Offlinenya Permainan Dunia

 


Tenang, tenang, nillee belum keluar...🤓 Seminggu bisa 2x sendiri maenan beginian. Berasa holidey sih, kalau offline mah, sembari mampir-mampir ke Candi Plaosan, Heha Sky View, Heha Ocean View, Malioboro, Studio Gamplong, or puncak sungai Mudal. Hmm, Obelix Hill di waktu malam juga serunya nggak kaleng-kaleng, apalagi sekarang ada pembangunan baru di sana. Jogja ngangeninnya emang nggak ada obat.😮‍💨

Oh iya, 1x ambil prediction test di Makasar juga. Please lah, 3x dalam seminggu itu maenannya jauh-jauh semua. 

Eh, jadi traveling pikiranku ini. Spending holiday di ...

Hehe, malah bikin list tempat wisata. Ya, terserah aku kan, ya? Lagian, oomku kan orang Palopo, barangkali kalau ke sana, ada keluarganya yang bersedia nampung aku, nebengin aku, gitu (wkwk tepok jidat bolak-balik). 😁

Well, back to reality. Tetapi ini online, siap-siap saja sih, berhadapan dengan jaringan internet yang trouble, tiba-tiba laptop mati, eh ternyata baterainya habis. Ngulang lagi aktivasi or setting ini itu, waktu tinggal sedikit, alhasil tang-ting-tung kelabang kuncup. 😂 

Hidup memang seperti itu, la'ibun wa lahwun. Hujan panas permainan hari, senang susah permainan hidup. 

Tapi, apa benar seperti itu, kah? 

Intinya, manusia hanya berdoa, berusaha, selebihnya serahkan kepada Yang Maha Kuasa. 

Oh iya, kamu percaya nggak, kalau terkadang, bisa saja rencana terbaik adalah tanpa rencana? 😙😃


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS